Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
“Perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berbahaya, selama diiringi dengan sikap toleran, wawasan yang luas, serta bebas dari fanatisme atau kepicikan pandangan,” Dr. Yusuf al-Qardhawi
Tak jarang, hanya karena perbedaan masalah khilafiyah banyak di antara umat Islam ini berpecah belah. Satu sama lain saling baku hantam. Bermusuhan, tak mau berdamai dan merasa kelompok dan amalannyalah yang paling benar. Sejatinya, Islam akan terasa rahmatnya bila setiap kelompok atau golongan punya prinsif “membesarkan persamaan dan mengecilkan perbedaan.”
Namun, tidak setiap kelompok dari umat Islam ini bisa bersikap bijak dan dewasa. Nyatanya, hanya karena berbeda siapa calon presidennya saja bisa saling caci, bahkan baku hantam. Yang lebih nyeleneh lagi, hanya karena beda supporter (penonton) saja bisa saling dendam, saling ancam yang puncaknya melukai satu sama lain. Adakah seperti itu cermin akhlak mulia dari masyarakat muslim terbesar di dunia?
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Dalam menyikapi aneka ragam perbedaan yang ada, setidaknya seorang muslim bisa kembali kepada al Quran dan as Sunnah agar perbedaan yang ada itu tidak menimbulkan perpecahan, tapi sebaliknya menjadi rahmat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sudah menyontohkan bagaimana seharusnya menyikapi setiap perbedaan yang ada.
Jangankan di jaman ini. Pada jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun perbedaan itu sudah sering kali terjadi. Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, perbedaan pendapat sudah sering terjadi. Namun, karena masih ada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka para sahabat langsung bisa menuntaskannya melalui kebijakan dan keputusan Nabi berdasarkan bimbingan Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memprediksi, sepeninggalnya hingga akhir zaman, akan terjadi perbedaan pendapat. Nabi juga menegaskan, menyikapi perbedaan itu adalah dengan merujuk pada sunah.
Dalam sebuah hadis disabdakan, “Siapa yang masih hidup di antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Selepas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat kembali dari Perang Khandaq, Malaikat Jibril datang menemuinya dan menyampaikan perintah Allah Ta’ala agar Nabi dan pasukannya menuju perkampungan Bani Quraidhah. Nabi pun berangkat ke sana.
Sebelum keberangkatan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk tidak melaksanakan Shalat Ashar sebelum sampai di perkampungan tersebut. “Janganlah ada seorang pun melakukan Shalat Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah” (laa yushallianna ahadun al-‘ashra illa fi bani quraidhah).
Di tengah perjalanan, tibalah waktu Shalat Ashar. Para sahabat berbeda pendapat atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Sebagian dari mereka mengabaikan perintah tersebut dengan melakukan Shalat Ashar.
Menurut mereka, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menghendaki kita mempercepat perjalanan, dan bukannya mengundurkan waktu shalat.” Sebagian yang lain tetap berpegang pada nash (teks) yang terucap oleh Nabi (memahaminya secara harfiyah). Mereka tidak melakukan shalat. “Kami tidak akan shalat sehingga kami sampai di sana,” kata mereka.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Terjadinya perbedaan pendapat tersebut kemudian disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendiamkan hal itu, tidak mengecam ataupun menegur salah seorang di antara mereka.
Kisah yang dikutip dari Fiqhu ‘s-Sirrah karya DR. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy tersebut, mengajarkan kepada kita, perbedaan pendapat (khilafiyah, ikhtilaf) di kalangan umat Islam, tidak saja terjadi pada masa sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau masa kini.
Bahkan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hadir di tengah-tengah umat pun, perbedaan itu sudah terjadi. Lebih penting lagi, perbedaan pendapat itu ditolerir oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (Sunnah Taqririyah).
Menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi (1995:151), sikap diam Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah di atas menunjukkan pada umat, bahwa suatu perbuatan jika disempurnakan atas dasar ijtihad, tidaklah layak untuk dikafirkan atau dianggap dosa.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Mengutip pendapat Ibnu Qayim, Qardhawi menyatakan, kelompok pertama (yang melakukan shalat) atau berpegang pada kandungan ucapan Nabi, adalah para pendahulu ahli qias serta mementingkan arti (maksud). Sedangkan kelompok kedua (yang tidak shalat) atau memahami secara tekstual ucapan Nabi adalah pendahulu ahli zhahir (bepegang pada susunan kalimat secara harfiyah).
Perhatikan Adab
Jangan mudah menuduh orang atau kelompok lain lebih buruk dari kelompoknya. Sebab bila merasa diri dan kelompoknya yang paling benar, itu artinya sifat sombong sudah melekat. Padahal, tak pantas sedikitpun kita menyombongkan diri di dunia ini. Tak pantas juga seorang yang memiliki banyak ilmu, tapi digunakan untuk mendebat para ulama demi menguatkan pandangan kelompoknya semata.
Ka’ab bin Malik, dari ayahnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menuntut ilmu karena hendak mendebat para ‘ulama, atau berbangga-bangga di hadapan orang-orang bodoh, atau ingin perhatian orang tertuju pada dirinya, maka Allah akan masukkannya ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi no. 2654. Hasan menurut Syaikh Al Albani)
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Ibnu Qayyim dalam menyikapi setiap perbedaan pernah mengatakan, “Adapun jika dalam suatu permasalahan tidak ditunjukkan dalil yang tegas, juga tidak ada ijma’, maka berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak perlu orang yang berijtihad dan yang mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam masalah ijtihad ini selama tidak ada dalil yang tegas tidak perlu sampai mencela para mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam permasalahan yang masih diselisihi para salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 9: 112-113).
Semoga sebagai muslim, kita bisa lebih bijak menyikapi aneka ragam perbedaan yang ada. Perbedaan itu akan menjadi indah, ketika kita bisa menyikapinya dengan keikhlasan. Sebab hanya orang-orang yang penuh keikhlasan saja yang bisa menerima situasi dan kondisi yang ia hadapi saat ini, wallahua’lam. (ARS3/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)