Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bintu Al-Syathi’ Mufassirah Hebat dari Mesir

Redaksi Editor : Arif R - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

7 Views

Prof Bintusy Syathi' (Egyresmag)

BINTU  al-Syathi’ atau dikenal juga sebagai Bintusy Syathi’, merupakan nama pena dari seorang tokoh muslimah terkemuka bernama asli Aisyah Abdurrahman.

Ia lahir pada 6 November 1913 di Dumyat, sebuah kota di tepi barat Delta Sungai Nil, Mesir, dari pasangan Syaikh Muhammad Ali Abd Ar-Rahman dan Faridah Abd As-Salam Muntasir.

Bintu al-Syathi’ dikenal luas di kalangan akademisi dan pelajar Ilmu Al-Qur’an sebagai perempuan pelopor dalam bidang tafsir (mufasirah), berkat kontribusi ilmiahnya yang mendalam serta karya-karyanya yang berpengaruh.

Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Tafsir al-Qur’an lil-Bayan, sebuah karya tafsir yang menonjolkan pendekatan sastra dan kepekaan linguistik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Baca Juga: Mahathir Mohamad Genap Berusia 100 Tahun

Masa Kecil

Dalam banyak literatur dikisahkan bahwa Bintusy Syathi’ kecil sering mengikuti kegiatan ayahnya dalam mengajar. Ayahnya seorang guru di Sekolah Teologi di Dumyat, dan dosen di Universitas Al-Bahr Mesir.

Saat ia mengikuti ayahnya mengaji di kampus, Bintusy Syathi’ sering mendengar bacaan Al-Quran yang dilantunkan ayahnya dan teman-teman satu pengajiannya. Berkat kemampuan intelektualnya dan tingkat ingatannya yang tinggi, Bintusy Syathi’ dengan mudah dapat mengikuti dan menghafal ayat-ayat yang ia dengar dengan baik. Banyak surat-surat pendek yang ia hafal sejak kecil.

Di usia sangat belia, 5 tahun, di musim panas tahun 1918 ia mulai belajar membaca dan menulis di bawah bimbingan Syaikh Murs di Shuba Bakhum, sebuah desa tempat kelahiran ayahnya.

Baca Juga: Zohran Mamdani, New York dan Suara Dukungan untuk Palestina

Saat inilah ia mulai menghafal Al-Quran secara sistematis dan keseluruhan. Ia juga mulai mempelajari ilmu-ilmu Al-Quran.

Sedangkan di musim dingin, ia kembali ke orang tuanya di Dumyat, dan belajar bersama ayahnya tentang ilmu-ilmu Teologi dan Tata Bahasa Arab serta bimbingan hafalannya.

Memasuki usia 8 tahun, tepatnya di tahun 1920, Bintusy Syathi’ menyatakan keinginannya kepada kedua orang tuanya untuk masuk ke sekolah formal. Namun, keinginanya belum mendapat dukungan dari sang ayah, karena ayahnya menginginkan ia belajar secara langsung kepada masyaikh dan bimbingan ayah dan ibunya.

Dalam pandangan ayahnya, seorang perempuan baiknya belajar di rumah saja. Ayahnya mendasarkan pendiriannya  pada Surat Al-Ahzab ayat 32-34, di mana ayat tersebut mengindikasi agar perempuan lebih baik berada di rumah dan larangan  berhias layaknya orang jahiliyah.

Baca Juga: Muazzuhrani dan Kisah ”Tol Cileungsi 1980”

Bintusy Syathi’ sebagai anak kecil merasa sedih karena keiginannya untuk sekolah formal tidak dapat terwujud.

Berbeda dengan ibunya, Faridah Abdussalam Muntasir, yang merasa kasihan terhadap putri kecilnya yang tidak mendapat restu dari ayahnya untuk belajar di sekolah formal.

Lantas, ibunya menyampaikan hal itu kepada ayahnya, atau kakeknya Bintusy Syathi’, Syaikh Ibrahim Damhuji. Setelah didahului pembicaraan khusus dengan kakek Bintusy Syathi’, sang kakek kemudian menyetujui keinginan cucunya untuk belajar pada level formal, tapi dengan syarat-syarat tertentu. Syaikh Ibrahim meyakinkan kepada ayahnya Bintu Syati untuk mengiznkan putrinya sekolah formal dengan persyaratan dan jaminan dari sang kakek. Ayahnya pun setuju.

Bintusy Syathi’ pun kemudian belajar di pendidikan formal setingkat SD, dengan mendapat nilai-nilai yang istimewa di setiap ujiannya.

Baca Juga: Rima Hassan, Suara Perlawanan dari Kapal Madleen Menuju Gaza

Sesudah tuntas masa studi setingkat SD, ia meminta bantuan kembali kepada kakeknya untuk meminta izin kepada ayahnya melanjutkan studinya di tingkat SMP, begitu pula kemudian jenjang SMA. Dan dukungan kakaeknya disetujui ayah Bintusy Syathi’.

Kesempatan izin itu terus berulang sampai Bintusy Syathi’ kuliah di perguruan tinggi.

Masa Remaja hingga Dewasa

Pada usia sangat muda, 13 tahun, dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, Bintusy Syathi’ ingin melanjutkan studi setingkat perguran tinggi.

Baca Juga: Safiya Saeed, Imigran Somalia yang jadi Walikota Sheffield

Namun pada saat bersamaan, kakeknya yang selama ini mendukung dan menjamin jaminan sekolahnya, wafat. Ia merasakan kesedihan yang luar biasa, karena kakeknya yang sangat mendukung cita-cita dan keinginannya telah tiada.

Di saat Bintusy Syathi’ tidak mendapat izin sang ayah untuk melanjutkan kuliah, ia memanfaatkan waktunya dengan mengkaji buku-buku bergenre sastra dan buku-buku yang kelak dapat mendukung untuk masuk ke perguruan tinggi.

Di saat kesedihannya yang menggelayut, Bintusy Syathi’  mendapat kabar gembira berupa beasiswa dan jaminan atas nilai istimewanya semasa sekolah tingkat SMA, yaitu dari atasan ayahnya, Syaikh Mansur Ubayy Haykal al-Sharqaw untuk melanjut studinya pada Sekolah Keguruan di Tanta selama satu tahun.

Ia pun melanjutkan studinya di pergurian tinggi tersebut. Ia pun tak menyia-nyiakan kuliahnya, hingga kemudian berhasil lulus sebagai rangking pertama dari 230 mahasiswa.

Baca Juga: Rukhsana Ismail: Walikota Berjilbab Pertama di Rotherham

Setelah itu, Bintusy Syathi’  menjadi guru muda di Perguruan al-Manshurah. Di samping aktif mengajar, ia menghabiskan waktunya menelaah berbagai buku sebagai persiapan tes masuk perguruan tinggi untuk meraih gelar sarjana.

Selanjutnya, iapun lanjut kuliah dua dan memperoleh gelar BA. Hingga pada tahun 1939 ia mendapatkan gelar sarjana dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab dari Universitas Fuad I di Kairo.

Kemudian pada tahun 1941 ia menyelesaikan program masternya dalam bidang studi yang sama. Ia pun lanjut S3 dan dianugerahi Doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab pada tahun 1950 pada perguruan tinggi yang sama.

Aktif Menulis

Baca Juga: Madleen Kullab, Nelayan Perempuan Gaza sebagai Nama Kapal Kemanusiaan

‘Aisyah Abdurrahman yang dikenal luas dengan Bintusy Syathi’, pada era modern telah mengukuhkan dirinya, karena studinya mengenai Sastra dan Tafsir Al-Quran.

Ketenarannya di dunia Ilmu Al-Quran dimulai dari kariernya sebagai guru pada Madrasah Ibtidaiyah di al-Mansurah, sekitar tahun 1929.

Kemudian pada tahun 1932, ia berpindah tugas ke suatu perguruan tinggi oleh penyedia pengajaran Kementerian Pendidikan untuk mengelola Laboratorium Bahasa Inggris dan Prancis.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1934, ia dipromosikan menjadi sekretaris pada perguruan tinggi tersebut.

Baca Juga: Imam Syafi’i: Ulama Besar yang Lahir di Gaza

Selain menekuni dunia pendidikan, Bintusy Syathi’ juga aktif menulis pada berbagai media massa. bahkan ia pernah menjadi editor surat kabar. Ketertarikannya pada jurnalistiknya sebenarnya sudah tumbuh ketika ia masih belajar di jenjang SMP.

Pada tahun 1933, ia dinobatkan sebagai editor utama Majalah al-Nahdhah al-Nisaiyah. Di samping itu, ia aktif pula menulis di surat kabar terkemuka Mesir, al-Ahram dengan nama pena Bintu Syathi yang berarti “putri pesisir”.

Ia kemudian menikah dengan dosennya sendiri di kampus, bernama Amin Al Khuli pemilik Al Shalun Al-Adabi wa Al-Fikri yang dikenal dengan sekolah Al Amna’. Dari hasil pernikahannya dikaruniai tiga orang anak.

Pada tahun 1939 Bintusy Syathi’  menjadi asisten dosen di Universitas Kairo. Tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1942, dia menjadi inspektur Bahasa dan Sastra Arab pada Kementerian Pendidikan. Pada tahun yang sama dia dipercaya menjadi editor pada majalah terkemuka di Mesir, al-Ahram.

Baca Juga: Yahya Waloni, Dari Gereja ke Mimbar Dakwah Islam

Sejak tahun 1950-1957, ia bekerja sebagai dosen bahasa Arab di Universitas Ain Syams.

Pada tahun 1957-1962, ia menjadi asisten guru besar sastra Arab pada universitas yang sama, dan pada tahun 1962 ia menjadi guru besar. Hingga pada tahun 1967 Bintu Syathi dikukuhkan menjadi Profesor dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Ain Syams.

Sejak itulah Prof. Dr. Aisyah Abdurraahman alias Bintusy Syathi’  menjabat Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas Ain Syams Mesir. Ia juga menjadi Guru Besar Tamu pada Universitas Islam Umm Durman, Sudan.

Di samping itu Prof. Bintusy Syathi’  adalah salah seorang Guru Besar Tamu Pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Beberapa kesempatan beliau memberikan kuliah dan konferensi pada tahun 60-an, di hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Bagadd, Kuwait, Yerussalam, Rabat, Fez, Khartoum, dan lain-lain.

Baca Juga: Leila Khaled: Pejuang Perempuan Palestina yang Ikonik dan Abadi dalam Sejarah Perlawanan

Bintusy Syathi’  beberapa kali dinobatkan sebagai pakar ilmu sastra oleh beberapa institusi, seperti dari pemerintah Mesir (1978), pemerintah Kuwait (1988) dan Raja Faishal (1994).

Ide-ide briliannya menarik perhatian beberapa penerbit dan media untuk menerbitkan karya-karyanya. Tema-tema yang diangkat lebih banyak berkisar tentang sastra, sejarah dan tafsir Al-Quran.

Tidak terbatas sampai di situ, beliau juga menulis tentang isu-isu yang banyak berkembang di dunia, seperti tentang posisi wanita yang telah mengalami perubahan, perjuangan orang-orang Arab memerangi imperialisme Barat dan Zionisme.

Karya Prof. Bintusy Syathi’ sangat banyak, seluruh karya yang dilahirkannya menjadi saksi kepakarannya.

Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang dirasah islamiyyah, fikih, tafsir, sastra, dan lainya, yang telah diterbitkan di Mesir dan beberapa negara Arab. Selain itu masih banyak lagi karya-karya yang dilahirkannya dalam berbagai macam bidang. Di antara karya karyanya yang berbentuk non fiksi adalah al-Ghufran li Abi al-‘Ala’ al-Ma‘arri.

Adapun At-Tafsir al-Bayani lil Qur’anil Karīm merupakan magnum opus Bintusy Syathi, yang terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dicetak pada tahun 1966 M dan 1968 M. Sedangkan jilid kedua diterbitkan pada tahun 1969 M. Meskipun karya tafsir yang ditulisnya itu hanya terdiri dari empat belas surat pendek, namun publik sangat apresiatif dengan penerbitan karya ini.

Pada hari Selasa, 1 Desember 1998, Bintu Syathi menghembuskan nafas terakhirnya, dalam usia 85 tahun, karena serangan jantung mendadak.

Prof. Bintusy Syathi telah meninggal dunia, tapi namanya akan selalu hidup dan dikenang karena telah memberikan sumbangsih untuk kemajuan ilmu-ilmu Islam di bidang Tafsir dan menyuarakan hak-hak perempuan. Prof. Bintu al-Syathi’ teah menjadi mufassirah pertama Abad ke-20.

Perjalanan kisah perempuan ulama yang mengispirasi kaum muda terkhusus perempuan bahwa kaum perempuan pun bisa menjadi seorang mufassir (ahli tafsir) dan guru besar ilmu agama. [Urfa Kaida Sukaman]

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda