Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bismillah, Kami Menuju Gaza

Arina Islami - Jumat, 19 April 2024 - 16:17 WIB

Jumat, 19 April 2024 - 16:17 WIB

4 Views

Oleh: Arina Islami, Humas Aqsa Working Group (AWG)

21 April 2024, tiga relawan dari lembaga kepalestinaan Aqsa Working Group (AWG) akan menembus blokade Gaza dalam aksi kemanusiaan Freedom Flotilla Coalition (FFC). Ketiganya ialah Nur Ikhwan Abadi, Jafar Shidqi Al Mubarok, dan Rijal Abdul Latif. Mereka akan berlayar dari Turkiye menggunakan kapal Akdeniz dan Anadolu.

Misi perdamaian dunia melalui armada FFC ini merupakan program lanjutan Mavi Marmara dari Turkiye yang berlayar pada 2010 dan kemudian diserang Zionis Israel di Laut Mediterania, mengakibatkan sedikitnya 10 orang syahid. Nur Ikhwan Abadi menjadi salah satu aktivis yang selamat dari serangan tentara Zionis dalam misi tersebut.

Kilas Balik Mavi Marmara

Baca Juga: Palestina Pasca “Deklarasi Beijing”

Di tengah perjalanan, tepatnya saat memasuki waktu subuh, Jumat 31 Mei 2010, angkatan laut Israel menghentikan kapal Mavi Marmara, padahal posisi kapal saat itu masih berada di perairan internasional. Tentara Israel lalu masuk ke kapal dan menembaki para relawan, sembilan orang gugur di tempat, sementara 189 lainnya terluka.

“Kita sudah masuk saat itu tinggal beberapa mil lagi menuju Gaza, kita dicegat oleh tentara Israel dan posisinya masih di perairan internasional. Jadi sebenarnya Israel enggak ada hak menyerang kami karena kami posisinya masih di Internasional,” kata Nur Ikhwan dalam Podcast Serambi Spotlight yang ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Serambinews.com, Kamis (26/10/2023).

Saat diadang oleh tentara Israel, kapal Mavi Marmara yang mereka tumpangi kemudian berbalik arah menuju Antalya, hal ini dilakukan agar tidak memakan korban jiwa.

Namun pilihan tersebut tidak membuahkan hasil. Tentara Israel masih mengejar kapal Mavi Marmara menggunakan speed boat, mereka juga mencoba masuk ke kapal. Para relawan yang saat itu tengah melaksanakan ibadah shalat subuh kemudian berjibaku menggagalkan aksi tentara Israel yang ingin naik ke atas kapal.

Baca Juga: Nobar Film Hayya, Solidaritas dari Ponpes Al-Fatah Lampung untuk Palestina

“Israel datang menggunakan speed boat, mereka coba masuk dari bawah tapi enggak bisa, kami coba siram dengan air agar mereka tidak bisa naik,” ujar Nur Ikhwan.

Meski gagal naik ke kapal Mavi Marmara, tentara Israel tak kehabisan cara. Pihaknya justru menggunakan helikopter untuk bisa masuk ke kapal tersebut. Tentara Israel satu per satu turun dari helikopter menggunakan tali tambang.

Zionis Israel kemudian melepaskan tembakan dengan membabi buta kepada relawan. “Sembilan orang meninggal di tempat, ada satu relawan yang ditembak menggunakan peluru yang memang dilarang memakai dumdum bullet, ditembak di kepala pas dikening mengakibatkan luka kecil tapi pas masuk ke dalam dia (pelurunya) meledak. Kemudian salah satu relawan MER-C memegang kepalanya yang penuh dengan otak sampai meninggal, ada juga anak yang baru SMA namanya Furqan ditembak empat bagian di dada dan di leher dari jarak dekat,” tutur Nur Ikhwan.

Apa yang dicantumkan di atas hanya sebagian kecil dari kejahatan Zionis kepada para relawan Mavi Marmara 2010. Meski demikian, tantangan maut yang dihadapi, tidak menyurutkan niat Nur Ikhwan.

Baca Juga: Selamat atas Rekonsilisasi Antar Faksi Palestina

Tahun ini, ia dengan gagah berani kembali mengikuti misi kemanusiaan serupa, menembus blokade Gaza guna menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina bersama 1.500 relawan lainnya dari berbagai negara.

Perjalanan Perdana Dua Relawan AWG ke Gaza

Selain Nur Ikhwan, Aqsa Working Group (AWG) pun mengirimkan dua personel muda yakni Jafar Shidqi Al Mubarok (23) dan Rijal Abdul Latif (28). Keduanya baru pertama kali menuju Gaza. Ini menjadi perjalanan yang menegangkan sekaligus membanggakan bagi keduanya. Rijal dan Jafar terbang ke Turkiye pada Senin (15/4/2024), menyusul Nur Ikhwan yang sudah lebih dulu tiba di sana.

Rijal meninggalkan anak pertamanya yang baru saja lahir 15 hari lalu. Tentu, ini bukanlah pilihan yang mudah. Secara logika awam, ayah “baik” mana yang “tega” meninggalkan anaknya yang masih merah bersama sang Istri yang masih berada dalam masa nifas? Rijal mengaku sedih dan berat hati meninggalkan keluarganya. Sebab berangkat ke Gaza seolah-olah sedang menuju “gerbang kematian.” Kita tidak tahu, bisa kembali dengan raga utuh atau sekadar nama.

Baca Juga: Pengaruh Amal Saleh 

“Perasaan saya ketika diamanahkan berangkat ke Gaza, campur aduk antara iya atau tidak karena istri saya baru saja melahirkan beberapa hari lalu, tapi ketika ketemu dengan ustaz Amin Nuroni beliau memberi nasehat, ‘ajal manusia sudah tertulis di Lauhul Mahfuz, di Gaza atau pun di Indonesia, waktunya tidak berubah. Dan kita yakin sebagai muslim, bahwa kita sesama muslim seperti satu tubuh yang bila satu sakit yang lainnya juga ikut merasakan.’ Mudah-mudahan ini menjadi salah satu penghibur untuk saudara kita di Palestina,” tutur Rijal.

Itulah perjuangan, tidak mudah dan tidak akan pernah mudah. Rasa takut dan khawatir harus dikalahkan dengan niat yang kuat dan keyakinan bahwa Allah akan menjaga anak dan istrinya dengan penjagaan yang sempurna.

“Ini anak pertama, sebenarnya kalau istri dari awal menikah saya tanyakan, karena saya ada niatan akan berangkat ke Gaza, istri bilang insya Allah siap jika memang harus seperti itu,” sambungnya. Selain perjuangan Rijal untuk Palestina, keikhlasan sang Istri pun layak diapresiasi.

Meski istrinya legowo melepaskan Rijal, tidak demikian dengan sang Mertua. Berbagai keraguan dilontarkan. “Bagaimana nasib keluargamu? Coba dipikirkan ulang,” kata Rijal mencontohkan pertanyaan mertuanya. Tentu saja ini pertanyaan manusiawi dari orang tua yang melihat buah hatinya baru saja melahirkan. Akal orang awam seperti kita memang sulit menerima jawaban bahwa ini adalah panggilan jihad, perjuangan untuk kemanusiaan dan Al-Aqsa, perjuangan untuk agama Allah.

Baca Juga: Deklarasi Beijing Untuk Rekonsiliasi Nasional Palestina

“Yang pertama saya siapkan adalah niat, karena kalau salah niat pastinya akan sia-sia. Kalau rasa takut manusiawi, pasti ada, tapi saya percaya walaupun kami dari Indonesia tidak banyak tapi kami yakin ada jutaan doa yang akan membersamai kami dalam perjalanan,” kata Rijal.

Tak jauh berbeda dengan Rijal, Jafar Shidqi Al Mubarok pun mengaku cemas dan takut saat ditugaskan menuju Gaza. Apalagi situasi Palestina dan Timur Tengah pada umumnya sedang memanas. Ia pun mengkhawatirkan soal bahasa dan medan yang akan dilalui di sana. Namun, lagi-lagi berbagai ketakutan itu hanyalah riak-riak kecil yang dengan mudah dihalau. Segala “overthinking” itu tak mampu memadamkan semangat jihad dalam dirinya.

“Saat berangkat menuju Turkiye, ya ada senang dan bahagia, ada tegang juga pastinya. Senang kita diberikan kesempatan untuk berangkat karena tidak semua mempunyai kesempatan itu. Kemudian tegang karena ini penerbangan perdana kami keluar negeri jadi banyak yang kita khawatirkan dari mulai bahasa, tempat, dan medan-medan yang akan dilalui. Manusiawinya saya jelas merasakan takut dan khawatir karena keberangkatan kali ini Timur Tengah sedang memanas khususnya di bumi Palestina itu sendiri,” kata Jafar.

Ia berujar, bahwa orang tuanya memberikan restu untuk berangkat dalam misi kemanusiaan FFC ini. “Untuk orang tua memperbolehkan dan mengizinkan, hanya saja namanya orang tua pasti ada pesan dan nasehat yang disampaikan kepada anaknya untuk menjaga tutur kata dan sikap selama di negeri orang, pun di negeri sendiri, karena kita tidak tahu sifat seseorang itu bagaimana dan tetap hati-hati dan semoga selamat, sehat sampai tujuan. Itu yang disampaikan oleh orang tua kepada saya saat meminta izin kepada beliau,” ujar Jafar.

Baca Juga: Memahami Konsep Hijrah Zaman Now

Menjadi aktivis kemanusiaan, khususnya untuk menembus Gaza bukanlah perjuangan yang gampang, apalagi di usia muda. Di saat pemuda lainnya sibuk merakit impian duniawi, dua lelaki ini memilih mengabdi untuk Palestina.

Mereka membawa nama Indonesia, mengharumkan Tanah Air di kancah internasional. Tidak ada yang patut kita berikan selain dukungan tanpa henti, lewat apa pun, dengan cara apa saja; doa, donasi, menyebarluaskan berita-berita tentang misi FFC, melakukan aksi damai, meramaikan media sosial dengan unggahan tentang aksi ini, dan sebagainya.

Mari menengadahkan tangan, merapalkan doa panjang untuk seluruh aktivis FFC agar misi kemanusiaan yang dibawa untuk Gaza bisa berhasil dan semuanya dapat kembali ke Indonesia dengan keadaan selamat, sehat wal afiat, lengkap, tidak kurang apa pun jua.

Bismillah, Indonesia menembus Gaza!

Baca Juga: Perlindungan Anak dalam Perspektif Agama Islam

(A/Ai/R1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Islam Mengatur Peperangan, Membangun Perdamaian

Rekomendasi untuk Anda