DEMAM drama Korea atau Drakor kini telah menjelma menjadi fenomena global. Dari Asia hingga Amerika, layar kaca dan gawai penuh dengan wajah aktor-aktor Korea yang dianggap ideal, romantis, dan penuh pesona. Namun, di balik warna-warni kisah cinta dan intrik dramatis, ada agenda gelap yang jarang disadari penonton. Sebuah agenda yang perlahan mengikis budaya lokal, nilai-nilai moral, bahkan kesadaran kolektif masyarakat.
Drakor tidak hanya sekadar hiburan, ia adalah produk budaya yang lahir dari strategi soft power Korea Selatan. Pemerintah dan industri hiburan bekerja sama mengemasnya menjadi senjata diplomasi budaya. Sayangnya, di balik layar, terselip pula misi untuk mengubah cara berpikir penonton: mulai dari standar kecantikan, gaya hidup konsumtif, hingga pola relasi romantis yang tidak sesuai dengan nilai ketimuran, apalagi nilai Islam.
Mirisnya, banyak remaja kita yang lebih hafal nama tokoh Drakor ketimbang nama pahlawan bangsanya sendiri. Mereka hafal kisah cinta buatan penulis naskah Korea, tetapi asing dengan perjuangan para ulama yang mempertahankan tanah air. Ini bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk penjajahan gaya baru yang menyusup lembut ke ruang keluarga.
Lebih menyedihkan lagi, standar tubuh langsing, kulit putih, wajah tirus, dan fashion ala Korea kini menjadi patokan kecantikan. Padahal, realitas tubuh manusia sangat beragam, namun Drakor menghadirkan standar tunggal yang menekan psikologi banyak remaja, terutama perempuan. Banyak yang merasa tidak cukup cantik, tidak cukup layak, hanya karena tidak mirip artis Korea.
Baca Juga: Jejak Awal Kelahiran Drakor, Industri Hiburan atau Propaganda?
Fenomena ini bukan tanpa dampak. Tingginya angka operasi plastik di Asia, meningkatnya gangguan makan, hingga rendahnya kepercayaan diri remaja adalah bukti bahwa Drakor menyisakan luka psikis yang dalam. Ironisnya, mereka mengejar ilusi yang tak pernah nyata: wajah sempurna yang hanya ada di balik layar kamera dan editing digital.
Agenda tersembunyi lainnya adalah normalisasi hubungan bebas. Banyak Drakor yang menggambarkan ciuman, pelukan, bahkan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan seolah hal wajar. Padahal, tontonan itu secara tidak sadar membentuk pola pikir generasi muda bahwa semua itu “lumrah” dilakukan. Inilah bentuk dekonstruksi nilai moral yang paling halus namun paling mematikan.
Lebih jauh, narasi kapitalisme juga tertanam dalam setiap episode. Dari kosmetik, makanan, fashion, hingga gaya hidup, semua dikemas sebagai iklan terselubung. Penonton tanpa sadar ikut membeli produk yang ditampilkan karena “idola mereka juga memakainya”. Inilah jebakan ekonomi yang membuat masyarakat konsumtif dan jauh dari pola hidup sederhana.
Agenda ini makin menyedihkan ketika melihat bagaimana Drakor perlahan menggantikan budaya asli bangsa. Anak muda lebih bangga memakai hanbok daripada batik, lebih suka makanan Korea daripada makanan tradisional daerahnya, lebih hafal lagu OST Drakor daripada lagu perjuangan bangsanya. Ini adalah erosi identitas yang sangat berbahaya.
Baca Juga: Tata Cara Shalat Gerhana
Dalam konteks keislaman, Drakor seringkali menampilkan gaya hidup yang bertolak belakang dengan syariat. Aurat dipamerkan tanpa malu, minuman keras menjadi bagian biasa dalam cerita, dan relasi lawan jenis bebas ditampilkan sebagai romantisme. Semua ini adalah serangan terhadap akhlak, meski dibungkus dengan hiburan manis.
Lebih pilu lagi, banyak muslimah kini menjadikan aktor Korea sebagai standar calon pasangan ideal. Mereka terbuai dengan tokoh fiksi yang penuh perhatian, tampan, dan romantis. Padahal itu hanyalah lakon yang ditulis skenario, bukan realita. Efeknya, banyak yang kecewa dengan kehidupan nyata karena terlalu tinggi membandingkan suami atau calon pasangan dengan sosok fiksi Drakor.
Tak berhenti di situ, Drakor juga menyusupkan nilai sekulerisme. Perjuangan hidup digambarkan cukup dengan usaha keras, cinta, dan keberuntungan. Jarang sekali nilai spiritual, doa, atau iman mendapat ruang. Penonton pun lambat laun dididik untuk percaya pada manusia semata, bukan pada Allah sebagai sumber segala solusi.
Lebih tragis lagi, sebagian Drakor sengaja menyelipkan narasi liberalisme dan feminisme ekstrem. Tokoh perempuan sering digambarkan menolak institusi pernikahan, memilih hidup bebas, bahkan melawan peran keluarga. Semua ini, tanpa disadari, menjadi inspirasi bagi sebagian muslimah untuk ikut menolak kodrat yang mulia dalam Islam.
Baca Juga: Demi Gaza, Warga Tunisia Rela Sumbangkan Kapal Langka Miliknya untuk Global Sumud Flotilla
Black Agenda Drakor ini begitu halus, begitu manis, sehingga sulit disadari. Kita tersenyum, menangis, dan terbawa suasana, tetapi saat itu pula pikiran kita sedang dicuci, nilai kita sedang diretas, dan identitas kita sedang dicuri. Kita lupa bahwa musuh tidak selalu datang dengan senjata, kadang mereka datang dengan senyum dan drama romantis.
Kini saatnya kita membuka mata. Drakor bukan sekadar hiburan polos, melainkan proyek besar dengan misi tersembunyi. Generasi yang lemah, konsumtif, kehilangan identitas, dan jauh dari agama adalah target yang mereka bidik. Jika kita tidak waspada, kita akan menjadi bangsa yang terjajah tanpa peperangan, tersenyum dalam kehancuran, dan terlena dalam drama buatan layar.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bebaskan Penjajahan Pikiran Menuju Pembebasan Al-Aqsa