Jakarta, MINA – Hasil kajian yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama ilmuwan Universitas Gadjah Mada (UGM )menunjukkan, cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung COVID-19 berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi, tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke-dua.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur.
“Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-dua COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia,” kata Dwikorita dalam laporannya, Sabtu (4/4).
Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70 – 95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Laporan tim kemudian merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
Selain itu ia juga mengatakan, perlu diwaspadai pula memasuki bulan April sampai Mei, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim, yang sering ditandai dengan merebaknya wabah Demam Berdarah.
“Jadi secara umum hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga sangat merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28 derajat Celcius hingga 32 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 60% s/d 80%,” katanya. (R/R7/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa