Jakarta, MINA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memantau, sejak Juli hingga pertengahan September, hampir tidak ditemukan tanda-tanda akan kemunculan awan hujan di langit Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang sekarang menjadi titik-titik panas.
“Sejak Juli hingga hari ini, langit di Indonesia itu bersih, hampir tidak ada awan, sehingga upaya yang sudah disiapkan BNPB sejak Juli untuk membuat hujan buatan bersama BPPT itu tidak mudah untuk berhasil, karena bibit awan yang akan disemai itu hampir tidak ada,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati kepada awak media di Graha BNPB, Jakarta Timur, Sabtu (14/9).
Ia menjelaskan, ketiadaan awan hujan itulah yang membuat lembaga-lembaga seperti Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) cukup kesulitan untuk membuat hujan buatan.
“Tapi alhamdulillah, akhir-akhir ini sudah mulai muncul bibit awan, dan terakhir kemarin pukul 22.00 WIB, BMKG mendeteksi pergerakan awan-awan hujan mulai muncul, sehingga BNPB dan BPPT segera bergerak di lapangan untuk menembak garam dan membuat hujan buatan,” ujarnya.
Baca Juga: Syeikh El-Awaisi: Cinta di Balik Nama Baitul Maqdis
Menurut Dwikorita, potensi pertumbuhan awan hujan saat ini terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua. Dari daerah-daerah tersebut yang memiliki lahan terbakar paling parah antara lain Riau.
“Dengan munculnya awan hujan ini, semoga penembakan awan yang sudah dilakukan BNPB bisa berhasil,” katanya.
Selain itu, BMKG juga menemukan Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan ekstrem, yang artinya sudah lebih 60 hari tidak ada hujan. Kemudian di daerah sebagian Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi juga mengalami kekeringan, tetapi tidak se-ekstrem di Jawa dan Nusa Tenggara.
“Nah di daerah-daerah ini yang patut diwaspadai adanya ancaman kebakaran. Hal ini sudah ditengarai sejak akhir Juni lalu, sehingga persiapan itu tidak hanya hari ini, tetapi sudah sejak tiga bulan lalu. Kondisi semacam ini diperkirakan akan terjadi sampai Oktober pertengahan,” ujarnya.
Baca Juga: Tinjau Program Bantuan di Herat, MER-C Kirim Tim ke Afghanistan
Jika melihat peta persebaran hujan, yang baru akan terjadi bulan depan, tidak memiliki warna yang seragam. Dwikorita menjelaskan, itu memiliki arti bahwa mulai musim hujannya pun tidak seragam. Peta yang memiliki warna hijau diprediksi akan memulai musim hujan lebih cepat, yakni Oktober.
“Jadi kelihatan. Di daerah yang terbakar saat ini, dalam skala musim, itu Oktober dimulai, tetapi dalam skala lokal, bisa tiba-tiba ada awan, meskipun musim hujannya Oktober, seperti di Riau. Kami terus memantau setiap menitnya kapan tiba-tiba muncul awan,” katanya. (L/R06/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)