BNPB Sosialisasikan Metode Evakuasi Mandiri di Kepulauan Aru

Kep. Aru, Maluku, MINA – Badan Nasional Penanggulangan () menyosialisasikan kepada masyarakat, khususnya di wilayah rawan bencana, tentang metode evakuasi mandiri. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan bernyanyi.

“Kalau ada lindungi kepala. Kalau ada gempa ingat BBMK. Jangan berlari (panik). Jangan berisik. Jangan mendorong. Dan jangan kembali. Kira-kira seperti itu liriknya,” kata Kapusdatin dan Humas BNPB saat memandu metode tersebut di Kepulauan Aru, Maluku, Ahad (17/11).

Dalam kesempatan tersebut, sedikitnya ada 109 orang warga Desa Durjela dan 124 warga Desa Wangel turut serta mengikuti pembelajaran evakuasi mandiri yang dibidani oleh Direktorat Kesiapsiagaan BNPB.

Menurut Agus, dalam lirik tersebut, diperagakan beberapa gerakan mitigasi praktis, seperti menutup kepala dan leher belakang, merunduk dan melindungi diri dengan kursi sembari bersiap untuk segera keluar dari ruangan.

Ia menambahkan, metode pembelajaran sosialisasi evakuasi mandiri dengan lagu yang dibawakan dengan suasana riang bisa membangkitkan perasaan yang senang dan gembira, sehingga apa yang diberikan dapat dengan mudah untuk dipahami dan diingat dalam memori.

“Hal ini juga akan mencegah ketakutan atau kecemasan berlebihan yang berujung pada kepanikan ketika bencana terjadi,” ujarnya.

Agus mengungkapkan, metode tersebut sudah diterapkan di Jepang dalam kegiatan evakuasi mandiri dan terbukti efektif untuk menghindari kepanikan yang mengakibatkan kekacauan ketika terjadi gempa dan tsunami.

“Sehingga hal itu bisa memudahkan seluruh komponen masyarakat untuk mengevakuasi secara mandiri dengan aman dan terkendali,” katanya.

Selain melakukan evakuasi mandiri dengan metode yang menyenangkan, masyarakat juga mengikuti penilaian kondisi psikologis masyarakat dalam evakuasi dengan konsep Stamp Rally Exercise.

Dalam konsep ini, masyarakat diminta untuk memberi respon dari pertanyaan yang dilampirkan dalam selembar kertas terkait respon ketika akan, sedang dan setelah evakuasi mandiri jika terjadi bencana di wilayahnya.

“Beberapa pertanyaan itu wajib dijawab dan dalam hal ini tidak ada jawaban mutlak salah atau benar. Semua tergantung dari masing-masing warga,” kata Agus.

Ia menjelaskan, dari hasil jawaban itu kemudian akan diberi cap stempel warna oleh tim penilai sesuai hasil dari pernyataan yang diberikan. Tiga warna tersebut lah yang menjadi indikator untuk menentukan pola pendampingan yang bagaimana yang dibutuhkan mayarakat.

“Apabila banyak warga yang mendapatkan stampel warna merah, maka yang bersangkutan dinilai sudah memiliki kapasitas dan inisiatif yang tinggi untuk melakukan evakuasi mandiri tanpa tergantung dari pemerintah atau masyarakat selitar. Stempel merah merupakan indikator Self Help yang mana warga tersebut sudah bisa menolong dirinya sendiri,” katanya.

Ia melanjutkan, tipe kedua ialah warga yang lebih banyak mengikuti mayoritas (followers), atau dia akan bergerak sesuai kecenderungan yang dilakukan masyarakat terbanyak, meski sebenarnya yang bersangkutan sudah tahu harus ke mana dan harus berbuat apa.

“Oleh karena itu, mereka yang masuk dalam tipe seperti ini masuk dalam kategori Mutual Help dengan kode stempel warna hijau,” ujarnya.

Selanjutnya ialah penerima stempel warna biru atau Official Help. Tipe ini ialah mereka yang benar-benar pasif meski sudah ada arahan atau informasi dari pihak berwenang dan akurat ditambah suara mayoritas yang sudah cukup untuk meyakinkan.

“Pada tipe inilah yang masih membutuhkan bantuan khusus dari pemerintah maupun aparat lainnya. Dari tiga jenis stempel tersebut maka dapat ditarik kesimpulan tentang bagaimana intervensi pemerintah dalam meningkatkan kesiapsiagaan sesuai dengan kriteria dan tipe masyarakatnya,” kata Agus. (T/R06/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.