Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Reaksi terhadap pengeboman di masjid masyarakat Syiah di Qatif baru-baru ini sama antara kalangan orang tua dan para pemuda. Mereka menggambarkan serangan itu sebagai “kegilaan”.
Beberapa berkomentar mengatakan, suara ledakan membawa kembali warga Arab Saudi kepada kenangan bocah yang bernama Haider Al-Mqaili (6) yang meninggal oleh ledakan bom di Masjid Imam Ali di kota Al-Qadeeh tahun lalu.
Mahdi Al-Jeishi, seorang anak muda, pulang ke rumahnya sembari menangis setelah serangan terbaru di masjid di Qatif dua malam sebelum perayaan Idul Fitri. Al-Jeishi datang memeluk ibunya seraya mengatakan, “Saya tidak akan kembali untuk shalat di masjid itu.”
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Keluarga besar Al-Jeishi selalu salat di masjid itu dan sejak bayi Al-Jeishi telah mengenal masjid itu.
Ibu dari Al-Jeishi mengatakan bahwa dia takut kehilangan orang yang dicintainya, dan kenangan terhadap Haider Al-Mqaili dan korban lainnya di tahun lalu tidak bisa dilupakan.
Ayah Al-Jeishi mencoba untuk meyakinkan puteranya bahwa Tuhan akan mengurus para pelaku pengeboman yang mengatasnamakan agama.
Al-Jeishi diyakinkan oleh keberanian para imam yang melanjutkan salat dan doanya setelah mendengar suara ledakan pertama. Pintu masjid tetap tertutup sampai setelah salat selesai.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Ibu Mahdi mengatakan, mereka belum berhenti berbicara dengan anaknya tentang hal itu, tapi anaknya sekarang sudah kembali tenang dan kemudian kembali salat di masjid.
Ibu Al-Jeishi menambahkan bahwa suara ledakan belum bisa membuat warga merasa diteror. Ketika ledakan terjadi, anak-anak di rumah sekitar pergi keluar untuk melihat sumber ledakan.
Anak-anak terlihat berani, melihat darah dan potongan tubuh, itu tidak menyebabkan mereka bersembunyi ke dalam. Justeru kejadian itu mendorong mereka untuk bertanya-tanya tentang alasan di balik perbuatan tercela itu.
Mereka bertanya kepada orang tua mereka, “Siapakah Daesh (ISIS), dan mengapa mereka membunuh jamaah?”
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Langsung setelah ledakan, semua orang di luar masjid menunggu dan bekerja sama dengan polisi.
Haj Ahmad Al-Sanabeir, seorang pria tujuh puluhan yang dekat dengan ledakan dan anak-anaknya adalah yang pertama tahu tentang hal itu. Putrinya memeluknya, tapi ia mengatakan bahwa para jamaah baik-baik saja.
Kisah ledakan di salah satu masjid warga berpaham Syiah ini adalah sebagian cerita dari satu dari tiga ledakan di Arab Saudi pada Senin, 4 Juli 2016.
Ledakan yang membuat dunia Islam terkejut, marah dan gempar adalah aksi bunuh diri yang terjadi di sekitar Masjid Nabawi di Madinah. Memang tidak terjadi di dalam masjid, tapi jelas itu menjadi satu pertanda bahwa kelompok penyerang bisa saja berhasil meledakkan diri di dalam Masjid Nabi atau pun di Masjidil Haram suatu hari kelak dalam serangan berikutnya.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Ledakan ketiga terjadi di Jeddah, sekitar situs diplomatik Amerika Serikat.
Tiga lokasi yang menjadi target di hari itu, memberi pesan yang jelas. Kelompok pelaku bom bunuh diri secara tidak langsung menyatakan mereka memerangi komunitas yang berpaham Syiah, pemerintah Arab Saudi atau umat Islam pendukung negara itu, dan memerangi negara-negara Barat yang simbolkan Amerika Serikat sebagai pemimpinnya.
Pelaku Bom Memiliki Catatan Kriminal
Pada Jumat (8/7), pemerintah Arab Saudi merilis identitas pelaku serangan bom bunuh diri di dekat masjid Nabawi, Madinah. Pelaku diketahui bernama Naer Musllam Hammad al-Nijaidi berusia 26 tahun. Naer ternyata seorang pemuda yang memiliki catatan riwayat sebagai pengguna obat-obatan terlarang.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Di kesempatan yang sama, Kementerian Dalam Negeri mengatakan telah menangkap tiga orang yang diduga sebagai dalang serangan bom di Qatif. Salah seorang diantaranya yakni pria berusia 23 tahun bernama Abdulrahman Saleh Mohammed Al-Amer, yang merupakan incaran lama kepolisian Saudi.
“Saleh sempat ditahan dua tahun lalu karena telah terlibat dalam kelompok kriminal yang menyerukan pembebasan tahanan yang terkait dengan kegiatan teror,” kata Kementerian.
Sementara itu dua orang lainnya yang diduga berada dibalik bom Qatif, sama-sama berusia 20 tahun, keduanya tidak memiliki identitas Saudi.
Kementerian itu mengatakan penyelidikan telah menyebabkan penangkapan 19 tersangka, termasuk 12 warga negara Pakistan dan tujuh orang Saudi. Semuanya diduga terlibat dalam serangan di Madinah, Qatif dan Jeddah.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
“Strategi Adu Domba”
Ketua Majelis Ulama Insonesia (MUI) Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, KH Muhyiddin Junaidi menilai, bom Madinah merupakan salah satu strategi untuk mengadu domba sesama umat Islam. Kota Madinah dijadikan sebagai salah satu titik serangan untuk mendapat perhatian dunia internasional. Sebab, Madinah merupakan salah satu tempat suci umat Islam.
Menurutnya, proxy war sudah dimulai sejak lama, dimana negara kuat (Amerika Serikat) menjadikan mitranya sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan dan strategi yang ingin dilaksanakan tanpa menimbulkan kerugian di pihak negara kuat itu.
Sebaliknya, mereka mendapatkan keuntungan dari konflik yang berkepanjangan. Rivalitas Sunni dan Syiah dimainkan lagi atas nama sektarianisme.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Dengan menudingkan pelaku serangan bom kepada kelompok Islamic State (ISIS), maka Kerajaan Arab Saudi seolah memimpin negara-negara Muslim lainnya, terutama negara Teluk, untuk memerangi kelompok yang diikuti oleh ribuan kader-kader Muslim berjiwa pejuang dan militan.
Meski sebagian pengamat meyakini bahwa di balik ISIS adalah kekuatan Barat atau Yahudi yang memusuhi Islam, tapi hampir semua para anggotanya adalah Muslim. Hingga pada akhirnya, peperangan dua golongan yang sama-sama Muslim pada umumnya, terus terpelihara dan berkelanjutan. (P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI