Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bosnia Perdebatkan Larangan ‘Simbol Agama’ Jilbab

Ali Farkhan Tsani - Selasa, 1 Maret 2016 - 13:36 WIB

Selasa, 1 Maret 2016 - 13:36 WIB

847 Views

bosnia-deviantart-2-300x149.jpg" alt="muslimah bosnia deviantart" width="513" height="255" /> Muslimah Bosnia-Herzegovina. (Foto: deviantart)

Sarajevo, 22 Jumadil Awwal 1437/1 Maret 2016 (MINA) – Pihak berwenang di Bosnia-Herzegovina mulai memperdebatkan pelarangan ‘Simbol Agama’ di tempat kerja, persidangan, dan ruang publik lainnya.

Aldina Suljagic-Piro, seorang praktisi hukum yang telah mengenakan jilbab selama 20 tahun, dan tinggal di Tuzla, Bosnia Timur, secara terbuka memperjuangkan hak wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab mereka di ruang sidang dalam menghadapi potensi larangan.

Pada Oktober 2015 lalu, Dewan Peradilan Tertinggi Bosnia-Herzegovina memutuskan untuk melarang “simbol agama” di pengadilan dan lembaga hukum lainnya.

Ini sebuah tantangan bagi Suljagic-Piro dan rekan-rekan lainnya yang berjilbab, terutama karena tidak adanya dialog tentang masalah itu.

Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Bahagia: Kunci Kesuksesan Muslimah di Rumah

“Saya minta maaf bahwa dewan tidak menganggap perlu sebelum membuat keputusan untuk kemungkinan berdialog dengan orang-orang yang mengenakan jilbab, dan untuk meyakinkan bahwa tidak ada alasan atau penyebab tindakan merendahkan seperti itu,” ujar Suljagic-Piro kepada Deutsche Welle.

Meskipun larangan mencakup semua simbol-simbol agama, termasuk lintas agama seperti Kristen, namun umat Muslim tampaknya paling terkena oleh putusan itu.

Suljagic-Piro mengatakan jilbab tidak hanya “simbol”, tetapi “identitas seorang Muslimah dan kewajiban Islam”, ujarnya.

Dzevada Susko, Direktur Institut untuk Tradisi Islam Bosnia, mengatakan ada kekhawatiran bahwa wanita yang memakai jilbab bisa kehilangan pekerjaan mereka.

Baca Juga: Peran Muslimah di Akhir Zaman: Ibadah, Dakwah, dan Keluarga

Susko, seorang sejarawan dan ilmuwan politik, menyebutkan, setidaknya ada puluhan wanita berjilbab yang pekerjaannya akan terancam oleh larangan tersebut. Namun, dia bilang dia senang bahwa diskusi tentang jilbab telah dimulai.

“Jika kita hidup di negara demokratis, maka penting untuk menyelenggarakan debat publik tentang masalah yang jelas berkaitan dengan status komunitas agama di ruang publik,” kata Susko.

Dia mengatakan perdebatan jilbab di negara pluralitas-Muslim seperti Bosnia-Herzegovina itu berbeda dari diskusi tersebut di tempat-tempat seperti Jerman, di mana banyak yang menganggap Islam sebagai suatu fenomena yang baru atau bahkan.

Perdebatan di Bosnia-Herzegovina memiliki konteks historis karena selama beberapa dekade negara ini adalah bagian dari sosialis Yugoslavia. “Di Bosnia-Herzegovina, ada pemahaman bahwa agama tidak harus terlihat di ruang publik,” katanya.

Baca Juga: Kesabaran Seorang Istri

Pandangan sekuler peran agama dalam masyarakat umum dipetakan oleh Jasna Samic, spesialis studi Timur Tengah yang telah hidup antara Sarajevo dan Paris selama beberapa dekade. Dia mendukung pelarangan simbol-simbol agama dari kantor publik dan, khususnya lembaga hukum.

“Agama akhirnya terbatas pada ruang pribadi,” kata samic.

Dia merasa bahwa jilbab kontemporer di Bosnia-Herzegovina berasal dari mode Arab Saudi, berhubungan erat dengan kelompok tertentu dan akan mengajak  “kembali ke sistem yang menghalangi orang kebebasan mereka attau kembali zaman kegelapan,” katanya.

Menghambat Kesetaraan

Baca Juga: Muslimat dan Dakwah, Menyebarkan Kebaikan Lewat Akhlak

Sementara itu, Armina Omerika, seorang sarjana Muslim Jerman, mengatakan larangan simbol-simbol agama tidak akan menciptakan kesetaraan di Bosnia-Herzegovina dan justru mengarah pada sekularisasi.

“Perempuan akan memiliki tempat yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan,” kata Omerika.

“Jika sekelompok wanita yang berkualitas terpinggirkan secara eksplisit gara-gara penampilan luar mereka, maka kondisi ketidaksetaraan menjadi terhambat,” lanjutnya.

Omerika mencatat bahwa perdebatan serupa di Jerman menunjukkan bahwa larangan seperti itu sebenarnya justru hanya akan menghambat upaya kesetaraan gender.

Baca Juga: Belajar dari Ibunda Khadijah RA, Teladan untuk Muslimah Akhir Zaman

“Perempuan muda memperoleh kualifikasi, mereka memiliki pendidikan, tapi sekarang mereka ditolak akses ke pasar kerja,” paparnya.

Pengacara Suljagic-Piro sendiri menolak untuk melepas jilbabnya dalam ruang persidangan.

“Saya pribadi tidak akan mundur karena keputusan yang dibuat oleh dewan peradilan tinggi, saya juga tidak akan meninggalkan rencana saya untuk beraktivitas di bidang hukum,” katanya.

“Sebenarnya ini peristiwa yang tidak menyenangkan, tapi justru ini memberikan tambahan motivasi bagi saya untuk membenarkan jilbab, dan membuat profesi saya lebih baik dan lebih profesional dengan tetap mengenakan jilbab,” pungkasnya. (T/P4/R05)

Baca Juga: Muslimah: Kekuatan Lembut Penggerak Perubahan

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta

Rekomendasi untuk Anda

Timur Tengah
Khadijah
Eropa
Eropa
Dunia Islam