Jakarta, MINA – Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Dr. Mastuki, M.Ag mengatakan bahwa sertifikasi halal penting untuk memperkuat nilai tambah dan daya saing produk.
“Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) bertujuan untuk mendorong para pelaku usaha menambah daya saing dan nilai tambah produknya,” kata Mastuki dalam virtual workshop bertema “Pentingnya Setifikasi Halal untuk Ekspor dalam Peningkatan Daya Saing Produk Ekspor Indonesia” demikian keterangan tertulis diterima MINA, Rabu (28/4).
“Seiring dengan semakin besarnya kesadaran masyarakat muslim dunia untuk terus menerapkan gaya hidup halal, tentu potensi ini menjadi hal yang perlu diupayakan secara optimal,” ujarnya.
Ia mengatakan, jika bicara tentang kondisi eksisting pelaku usaha di Indonesia, data Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menunjukkan bahwa usaha mikro mengambil kontribusi terbesar dalam perekonomian masyarakat, yakni sebanyak 98,74%. Kemudian dilanjutkan dengan usaha kecil sebanyak 1,15%, usaha menengah sebesar 0,10%, dan usaha besar 0,01%.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Melihat dari angka tersebut, maka untuk meningkatkan jumlah angka ekspor dengan membantu UMK naik kelas menjadi pilihan yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat nilai tambah dan daya saing produk, salah satunya melakukan sertifikasi halal.
“Meski begitu, memang ada beberapa kendala yang umum dihadapi produk UMK. Salah satunya yang paling sering terjadi terkait dengan bahan baku halal. Ketersediaan bahan baku halal menjadi sangat penting untuk pelaku UMK bisa memastikan produknya halal,” ujar Mastuki.
Lanjut katanya, proses sertifikasi halal berada di antara halal value chain dan proses memasukkan produk bersertifikasi halal ke pasar global. Ini merupakan satu pola kerja tersendiri. Perlu ada upaya kolaborasi antara proses sertifikasi halal infrastruktur dengan regulasi yang memperkuat dan memudahkan perjalanan produk dari hulu hingga hilir.
Untuk mencapai sistem terintegrasi yang menciptakan halal value chain, maka suatu produk harus terjamin kehalalannya. Dalam hal ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) selalu menerapkan tiga prinsip utama dalam menentukan kehalalan produk, yakni: otentifikasi (autentification), ketertelusuran (traceability), dan jaminan halal (halal assurance).
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
“Terkait otentifikasi, semua bahan perlu dipastikan secara otentik kehalalannya melalui uji laboratorium. Dalam ketertelusuran, suatu produk harus bisa dipastikan berasal dari bahan yang halal dan proses yang bebas dari najis atau haram,” katanya.
Hal ini dibuktikan dengan dokumen-dokumen yang dapat menunjukkan sumber bahan dan prosesnya. Sementara jaminan halal, para pelaku usaha harus mampu menjaga konsistensi dan kontinuitas dari produk halalnya dari awal produksi hingga sampai konsumen. (R/R4/P1))
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal