Jakarta, MINA – Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (PSKK Aspasaf) Kemlu RI melakukan kunjungan ke PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) di Cikarang Selatan, Kamis, (15/6).
Dalam keterangan tertulis yang diterima MINA, visitasi bertujuan mengumpulkan data untuk penyusunan Reviu Kebijakan Mandiri dengan tema “Membangun Resiliensi Bahan Baku Obat (BBO) Paracetamol Indonesia”.
PSKK Aspasaf berkesempatan berdiskusi bersama Direktur Utama KSF beserta tim dan melakukan observasi ke pabrik produksi BBO.
Ketua Tim Kajian BSKLN Kemlu Ahmad Syofian mengungkapkan, resiliensi farmasi menjadi isu yang semakin mendesak, terutama sejak pandemi COVID-19 menyebabkan disrupsi Global Value Chains (GVCs).
Baca Juga: Pesantren Al-Fatah Lampung dan AWG Kembangkan Literasi Kepalestinaan
“Pada kondisi krisis global, negara yang mendominasi industri farmasi cenderung mengurangi suplai ekspor dan menaikkan harga untuk mengamankan kebutuhan dalam negerinya,” kata Ahmad.
Menurutnya, dependensi terhadap impor farmasi pun menjadi ancaman bagi kesehatan dan ekonomi nasional Indonesia.
Industri farmasi Indonesia telah mampu memproduksi obat-obatan di dalam negeri. Namun, 90% bahan baku obat (BBO) masih harus diimpor dari RRT dan India.
Seiring meningkatnya ketidakpastian global, Indonesia perlu menggenjot pengembangan industri BBO dalam negeri demi membangun ketahanan farmasinya. BBO Paracetamol pun dipilih sebagai role model proyek pengembangan produksi BBO di dalam negeri.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Senin Ini Beragam, Mulai dari Berawan Hingga Hujan Ringan
KFSP telah ditugaskan oleh Pemri untuk mengembangkan produksi BBO Paracetamol dalam negeri. Dijelaskan bahwa potensi dugaan predatory pricing dari produsen BBO yang sudah mapan industrinya menjadi tantangan utama pengembangan BBO dalam negeri.
Produsen farmasi Indonesia yang 90%-nya berasal dari swasta tentu lebih memilih impor BBO karena harga yang lebih murah. Namun, KFSP tetap optimis terhadap prospek pembangunan industri BBO nasional.
“Sepanjang perspektif bisnis yang dikedepankan, maka impossible produksi BBO dalam negeri,” ungkap Pamian Siregar, Dirut KFSP.
Pamian menambahkan pentingnya menggunakan pendekatan ketahanan nasional. Berbagai intervensi dari Pemerintah pun diperlukan agar industri BBO dalam negeri memiliki daya saing.
Baca Juga: AWG Tasikmalaya Gelar Long March Gerak Jalan Cinta Al-Aqsa
Dalam hal ini, Kemlu akan mendukung setiap proses resiliensi BBO ini. Kemlu akan memberi asistensi benchmarking dengan negara-negara lain yang juga mengembangkan industri BBO.
Diplomasi juga akan digencarkan untuk mengamankan pasokan bahan dasar dan intermediate BBO, sebelum industri farmasi dalam negeri dapat sepenuhnya berdikari.(R/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pendaki AWG Kibarkan Bendera Indonesia-Palestina di Puncak Rinjani