BERULAT" width="300" height="154" />Oleh: Bahron Ansori, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Ramadhan tak lama lagi akan berakhir. Hanya menunggu hari. Rasanya, sedih sekali akan berpisah dengan bulan yang penuh rahmat dan maghfirah itu. Butuh waktu 11 bulan lagi untuk bisa berjumpa dengan bulan Suci dan Mulia itu. Tapi, mungkinkah di bulan Ramadhan yang akan datang Allah Ta’ala masih memberikan kesempatan untuk menikmatinya? Siapakah yang bisa menjamin usia ini masih tersisa hingga bulan Ramadhan yang akan datang? Wallahua’lam, semua tergantung Allah Sang Pemilik Segala Kehidupan.
Ya Allah, Ramadhan benar-benar akan berakhir. Selama menjalankan Ramadhan, sudahkah menjalankan selayak Ramadhannya Rasulullah SAW dan para sahabat? Bagaimana dengan shalat malam kita? Bagaimana dengan tadarus Al Qur’an kita? Bagaimana dengan infaq dan sodaqoh kita? Bagaimana dengan prilaku anggota badan kita? Sudahkah semuanya mencerminkan amaliyah seorang Muslim dalam menikmati dan mengisi hari-hari di bulan Ramadhan?
Saudaraku, jangan sampai kita merasa bangga karena sudah menjalankan dan mengisi hari-hari di bulan Ramadhan ini dengan amal ibadah yang banyak. Jangan merasa kita sudah lebih baik dari yang lain. Bisa jadi, banyak orang memuji kita karena tekunnya beribadah, gemar sedekah dan beramal, rajin membaca Al Qur’an dan sederet ibadah lainnya. Kita merasa puas dan bangga dengan pujian-pujian itu.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Tapi, coba tanyakan kepada pribadi kita masing-masing. Lihatlah di relung-relung hati kita, apakah benar pujian teman-teman dan orang-orang dekat sekitar kita itu telah membuat kita bangga? Kalau itu yang terjadi (merasa bangga dengan segala pujian), artinya kita belumlah disebut menjalankan ibadah karena Allah semata. Sebab di lubuk hati ini masih terselip niatan untuk disebut sebagai orang yang alim bagi orang yang berilmu. Disebut dermawan bagi orang yang berharta. Disebut ahlul Qur’an bagi yang sudah fasih dan hafal Al Qur’an, dll.
Apa artinya semua amal ibadah yang kita lakukan jika tujuan dan motivnya hanya untuk mencari sedikit pujian dari manusia. Apalah artinya pujian dari manusia jika akhirnya murka Allah Ta’ala yang diraih. Beramallah untuk Allah, demi meraih ridha dan ampunan-Nya. Bukan sebaliknya beramal karena ingin dipuji manusia.
Falsafah Buah
Belajarlah dari buah. Lihat dan amatilah ia. Jauh sebelum menjadi buah, ia adalah bunga atau kembang. Tak mudah proses dari kembang atau bunga untuk menjadi buah. Tak sedikit bunga-bunga itu berguguran sebelum menjadi buah. Bunga-bunga itu begitu rentan dengan terpaan angina dan hujan yang datang. Jika saja tak kuat bunga-bunga itu menempel kepada pohon, maka tentu saja ia akan jatuh bergelimpangan. Itulah ujian yang harus dihadapi oleh bunga-bunga sebelum ia menjadi buah. Membutuhkan proses panjang dan tentu saja tidak mudah.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Setelah menjadi buah, ternyata ujian tak berhenti disitu. Buah yang terlihat indah, terasa manis, segar, harum, dan ranum sekali itu rupanya belum menjadi akhir dari perjalanannya. Dalam proses menunggu kematangannya, buah pun mendapat ujian yang cukup berat, sama seperti saat ia masih menjadi bunga. Tak sedikit buah yang terlihat indah itu terkadang harus jatuh di usianya yang masih muda. Jatuh karena terpaan angin yang kencang. Atau jatuh karena benturan bendar keras lain.
Tapi, setelah buah-buah itu matang (ranum), ujian pun tak berhenti disitu. Sebab, tak sedikit buah yang terlihat ranum dan indah itu saat dipetik dan hendak dimakan, ternyata di dalamnya terdapat banyak ulat. Kecewa melihatnya, dari luar buah itu indah dan begitu memukau setiap yang melihat. Tapi, ketika buah itu hendak dimakan, innalillahi… ternyata buah yang terlihat mengagumkan itu berulat. Lalu, siapakah yang hendak memakan buah yang berulat? Tentu saja tak satupun manusia yang mau menikmati buah berulat meski dari luar terlihat indah, manis rasanya itu.
Kembali kepada diri kita sebagai hamba Allah. Siapa pun kita, betapa pun tinggi kedudukan kita, apa pun skill yang kita miliki dan seberapa banyak amal kebaikan serta ibadah yang kita lakukan hingga kita disebut orang alim bagi para ulama, dermawan bagi para hartawan, mujahid bagi para pejuang agama Islam, semua itu akan sia-sia bila yang dicari hanyalah pujian dari manusia. Amal ibadah itu tidak pernah bernilai sedikit pun jika sejak awal niatnya sudah menyimpang mencari ridha manusia dan bukan ridha Allah.
Ingat sebuah kisah tentang tiga orang yang masuk neraka karena digelincirkan oleh niatnya yang salah? Berikut adalah kisah singkat tersebut. Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.‘ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya).
Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (HR. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya’ was Sum’ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905). An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari’, Sunan Nasa-i (VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan Baihaqi (IX/168).)
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Begitu pentingnya bagi setiap Muslim untuk menata hatinya sebelum melakukan satu tindakan. Semoga saja di penghujung Ramadhan ini, Allah Ta’ala senantiasa menjaga hati dan amal ibadah kita agar tetap lurus, tulus dan ikhlas semata menghiba pahala dan ridha dari-Nya. Wallahua’lam. (R02/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim