DALAM kehidupan sehari-hari, tak jarang kita merasa bangga atas pencapaian diri. Saat lulus ujian, diterima kerja, sembuh dari penyakit, atau berhasil meraih cita-cita, mulut kita mengucap, “Aku bisa karena aku berusaha.” Tak salah memang. Islam menganjurkan umatnya untuk giat dan tidak malas. Namun, ada satu hal penting yang sering terlupa: semua keberhasilan itu terjadi bukan semata-mata karena kita mampu, tetapi karena Allah mengizinkan.
Akidah Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini berjalan atas kehendak Allah. Bahkan daun yang jatuh dari pohon, hembusan angin yang menyentuh kulit, hingga gerak hati manusia—semuanya berada dalam genggaman izin Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29).
Ayat ini menegaskan bahwa kehendak manusia berada di bawah kehendak Allah. Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, tetapi tanpa izin Allah, hasil itu takkan pernah terjadi. Kita bukan makhluk yang mandiri sepenuhnya. Kita sangat bergantung pada rahmat dan pertolongan-Nya.
Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam, yang dengan izin Allah membelah laut. Apakah Musa memiliki kekuatan fisik luar biasa? Tidak. Ia hanya diperintahkan untuk memukulkan tongkatnya ke laut, dan atas izin Allah, laut terbelah. Demikian juga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yang selamat dari api membara karena Allah memerintahkan api menjadi dingin. Semua terjadi bukan karena kehebatan para nabi secara pribadi, melainkan karena Allah menghendakinya.
Baca Juga: Saatnya Bangkit, Bergerak dan Berjuang untuk Perubahan
Dalam kehidupan modern, manusia semakin percaya pada kemampuan dirinya. Kepercayaan diri dan pengembangan potensi menjadi tren positif. Namun, akidah Islam mengajarkan bahwa keyakinan tertinggi adalah pada Allah, bukan pada kemampuan diri. Kita diajarkan untuk bertawakal setelah berikhtiar. Artinya, berusaha sekuat tenaga, namun sepenuhnya menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Jika kita merasa berhasil karena kepintaran, maka bagaimana dengan orang yang sama pintarnya tapi gagal? Jika kita merasa sembuh karena obat, lalu mengapa ada orang yang meminum obat yang sama tapi tetap sakit? Di sinilah letak pentingnya akidah: mengakui bahwa semua sebab hanya berfungsi jika Allah mengizinkan. Sebab itu, Islam sangat menekankan pentingnya mengucapkan “Insya Allah” saat berencana dan “Alhamdulillah” saat berhasil.
Mengakui bahwa segalanya karena izin Allah tidak membuat kita menjadi pasif. Justru sebaliknya, hal itu membuat hati menjadi rendah diri (tawadhu’), tidak sombong, dan semakin dekat kepada Allah. Kesadaran ini mendorong kita untuk terus berdoa, memohon petunjuk, dan menyandarkan seluruh hidup pada-Nya.
Kita boleh menjadi dokter terbaik, pengusaha sukses, guru teladan, atau penulis hebat. Tapi jangan pernah lupa, semua itu bukan semata-mata karena kita bisa, tapi karena Allah mengizinkan. Tanpa izin-Nya, pena tidak menulis, lidah tidak bicara, dan kaki tak mampu melangkah.
Baca Juga: Bangkit dari Keterpurukan, Jalan Terjal Menuju Kesuksesan
Maka, dalam setiap aktivitas hidup, marilah kita perkuat akidah kita. Niatkan segala perbuatan karena Allah, mohon pertolongan dari-Nya, dan jangan pernah mengandalkan diri sepenuhnya. Ingatlah bahwa sehebat apapun manusia, ia tetaplah makhluk yang lemah tanpa pertolongan Tuhannya.
Sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan dalam doa paginya, “Ya Allah, jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau sekejap mata.” (HR. Abu Dawud)
Satu detik saja kita berjalan tanpa izin dan pertolongan Allah, niscaya kita tersesat dan celaka. Maka, akidah kita harus kokoh: semua hanya mungkin terjadi karena izin Allah.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jurus Ampuh Mengubah Ide Kecil Menjadi Bisnis Besar