Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan Soal Harga, Tapi Barakah, Mengapa Mahar Tak Perlu Mahal

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 21 detik yang lalu

21 detik yang lalu

0 Views

Mahar menikah itu tak harus mahal yang penting berkahnya (foto: ig)

FENOMENA mahar tinggi masih menjadi tantangan nyata di banyak daerah di Indonesia. Di sejumlah wilayah, mahar ditetapkan bukan hanya sebagai simbol keseriusan, melainkan seolah menjadi ukuran gengsi dan martabat keluarga. Bahkan, ada yang menuntut mahar ratusan juta hingga rumah dan kendaraan. Padahal, semangat Islam dalam memandang mahar sangat jauh dari prinsip tersebut.

Dalam Islam, mahar adalah hadiah dari suami kepada istri sebagai bentuk penghormatan dan cinta, bukan beban atau syarat berlebihan. Allah Ta’ala berfirman, “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan…” (Qs. An-Nisa: 4). Ayat ini menekankan keikhlasan dan kesederhanaan, bukan kemewahan.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah memberi contoh yang sangat indah. Salah satu pernikahan yang terkenal adalah pernikahan beliau dengan Sayyidah Aisyah RA, di mana maharnya hanya 500 dirham. Bahkan, Ali bin Abi Thalib RA menikahi Fatimah RA hanya dengan mahar berupa baju besi. Nilainya sangat sederhana, tapi berkahnya luar biasa.

Tingginya mahar kerap menjadi penghalang bagi pemuda-pemudi yang ingin menikah. Banyak yang akhirnya menunda pernikahan karena belum mampu memenuhi tuntutan keluarga calon pasangan. Hal ini membuka celah pada pergaulan bebas dan pacaran yang dilarang dalam Islam, padahal menikah itu justru solusi untuk menjaga kehormatan.

Baca Juga: Menikah di Bulan Syawal: Tradisi, Sejarah dan Maknanya dalam Islam

Mahar tinggi juga kerap melahirkan beban psikologis bagi laki-laki. Setelah menikah, ia harus menanggung cicilan mahar, utang, bahkan beban sosial karena dianggap belum mampu secara ekonomi. Akhirnya, rumah tangga dimulai dengan tekanan, bukan ketenangan, padahal tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Banyak keluarga yang merasa malu jika mahar anaknya dianggap rendah. Mereka lebih memikirkan “apa kata tetangga” daripada apa kata Allah. Ini adalah bentuk ketidaksadaran terhadap nilai-nilai Islam yang menekankan pada keimanan dan ketakwaan, bukan kemewahan duniawi.

Realitas membuktikan bahwa banyak rumah tangga justru hancur meskipun dimulai dengan mahar yang sangat mahal. Sebaliknya, banyak keluarga sederhana yang berangkat dari mahar yang ringan, namun bertahan dalam cinta, sabar, dan keberkahan. Ini membuktikan bahwa nilai kebahagiaan tidak terletak pada angka mahar.

Islam memuliakan kesederhanaan, apalagi dalam urusan pernikahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan).” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menjadi landasan bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menyukai sikap mempersulit pernikahan.

Baca Juga: Hancurnya Ukhuwah Akibat Meninggalkan Jama’ah

Mahar ringan tidak berarti menyepelekan perempuan. Justru, perempuan dimuliakan bukan karena nilai material, tapi karena akhlaknya, keimanannya, dan perannya dalam mendidik generasi. Mahar hanyalah simbol cinta, bukan alat ukur nilai perempuan.

Saat ini mulai muncul gerakan mahar murah di sejumlah komunitas Islam. Mereka menyadari bahwa pernikahan harus dimudahkan agar generasi muda bisa menjaga kehormatan mereka. Banyak pula ustaz dan tokoh masyarakat yang mulai mensosialisasikan kesadaran ini demi melawan budaya mahar tinggi.

Pernikahan bukan transaksi dagang. Jika mahar dijadikan alat tawar-menawar atau pamer kekayaan, maka nilai ibadah dalam pernikahan itu akan pudar. Padahal, pernikahan adalah ibadah sepanjang hayat, bukan sekadar acara seremonial satu hari.

Keluarga besar memiliki peran penting dalam menyadarkan masyarakat. Mereka harus mendidik putra-putrinya agar tidak menjadikan mahar sebagai sumber gengsi, tapi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Orang tua harus melihat kelayakan calon suami dari agama dan akhlaknya, bukan dari mahar dan hartanya.

Baca Juga: Mengapa Islam Mewajibkan Umatnya untuk Berjamaah?

Kesederhanaan mahar juga menjadi simbol tawadhu dan keikhlasan. Pasangan yang memulai rumah tangga dengan rendah hati akan lebih mudah menghadapi ujian hidup, karena mereka tidak terikat pada simbol-simbol duniawi, melainkan pada cinta karena Allah.

Mari kita ubah paradigma bahwa mahar harus tinggi. Yang harus tinggi adalah iman, bukan harga. Yang harus banyak adalah berkah, bukan angka. Dengan cara ini, insya Allah, lebih banyak pemuda dan pemudi bisa membangun rumah tangga yang sakinah.

Akhirnya, kita harus kembali pada prinsip dasar Islam: memudahkan, bukan mempersulit. Jika ingin rumah tangga diberkahi, mulailah dengan niat yang lurus dan cara yang benar. Mahar bukan soal harga, tapi soal barakah. Dan barakah hanya akan hadir jika pernikahan dilandasi oleh keikhlasan dan ketakwaan, bukan gengsi dan duniawi.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kehidupan Tanpa Jama’ah, Sebuah Jalan Menuju Kehancuran

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Khadijah