Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukhori Yusuf: Perpanjangan Sertifikat Halal Tak Miliki Kontrol yang Jelas

Rana Setiawan - Rabu, 21 Oktober 2020 - 02:52 WIB

Rabu, 21 Oktober 2020 - 02:52 WIB

2 Views

Jakarta, MINA – Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf mengungkapkan UU Cipta Kerja yang pada satu sisi memberi kemudahan bagi Pelaku Usaha, tapi pada sisi yang lain juga berpotensi mengorbankan perlindungan konsumen produk halal.
Menurut analisisnya, perubahan pada Pasal 42 versi UU Cipta Kerja terkait dengan kewajiban perpanjangan sertifikat halal oleh pelaku usaha membuka peluang terjadinya praktik penyimpangan administratif oleh oknum pelaku usaha apabila kontrol pengawasan tidak diperketat.

“Perubahan klausul Pembaruan Sertifikat Halal menjadi Perpanjangan Sertifikat Halal mengakibatkan munculnya penambahan ayat baru, yakni ayat “self-declaration” di ayat tiga, sehingga membolehkan sertifikat halal diterbitkan tanpa melalui pemeriksaan ulang oleh LPH, sidang fatwa oleh MUI, dan verifikasi oleh BPJPH” ungkap Bukhori di Jakarta sebagaimana keterangan tertulis yang diterima MINA, Selasa (20/10).

Sebagai informasi, berikut sandingan antara UU No 33/2014 Jaminan Produk Halal (eksisting) dengan UU No 33/2014 Jaminan Produk Halal (Cipta Kerja).

Sebelumnya, dalam Pasal 42 eksisting berbunyi;

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.

(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Sedangkan di dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan klausul di ayat (2), yang sebelumnya tertulis “Pembaruan” kemudian menjadi “Perpanjangan”. Akibatnya, terdapat penambahan ayat baru, yakni ayat (3) pada Pasal 42 (versi UU Cipta Kerja) sehingga berbunyi:

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.

(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku

(3) Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perpanjangan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketua DPP PKS ini menegaskan, konsekuensi dari perubahan pasal 42 tersebut adalah memungkinkan semua pelaku usaha baik yang berskala besar, menengah, kecil, dan mikro maupun pelaku impor yang ingin memperpanjang sertifikat halalnya berhak melakukan “self-declaration” produknya dan berhak langsung mendapatkan perpanjangan sertifikat halal.

Lantas, jika pembaruan menjadi perpanjangan hanya cukup dengan mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, maka siapa yang bisa menjamin bahwa produk tersebut memang tidak mengalami perubahan?

Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?

“Pasalnya, dalam hal kontrol yang ketat saja masih ada sejumlah penyelundupan produk haram yang diklaim halal,” sambungnya.

Lebih lanjut, Anggota Baleg Fraksi PKS ini meminta pemerintah lebih berhati-hati dalam menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).

Ia mendesak agar dalam penyusunan RPP tersebut pemerintah mampu menutup celah bagi pelaku usaha nakal yang mencoba mengambil jalan pintas dalam perpanjangan sertifikat halal.

Dengan demikian, lanjutnya, mekanisme pengawasan produk halal harus dirancang secara cermat dan memadai agar perlindungan terhadap konsumen produk halal tidak terabaikan.

Karena itu, pemerintah tidak boleh tergesa-gesa dalam menyusun aturan turunannya.
“Pasalnya, bagi umat Islam, secara khusus, mengkonsumsi produk halal bukan semata tentang gaya hidup, akan tetapi tentang kemerdekaan untuk menjalankan ketaatan sesuai ajaran agamanya sebagaimana hal ini telah dilindungi dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,” pungkasnya.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
MINA Preneur
Indonesia
Kolom