Bukhori Yusuf Usul Pembentukan Forum Haji Internasional 

Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf.(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Anggota Komisi VIII Bukhori Yusuf mengusulkan pembentukan forum internasional.

Bukhori mengatakan forum tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mewujudkan kebijakan penyelenggaraan haji yang adil, transparan, serta dibangun atas kepentingan kolektif.

“Berkaca dari polemik Masyair, di mana secara sepihak telah menetapkan harga baru di luar kontrak yang sudah diteken, maka kami memandang perlu ada forum yang beranggotakan negara-negara di dunia, khususnya negara dengan penyumbang jamaah haji terbesar seperti Indonesia, Turki, Iran, dan Pakistan, agar dapat berdiri setara dalam mengimbangi kebijakan domestik Arab Saudi yang dituangkan dalam bentuk taklimat di mana selama ini tidak tersentuh oleh logika publik,” jelasnya di Jakarta, Rabu (9/11).

Anggota DPR Dapil Jateng 1 ini mengatakan, intervensi terhadap kebijakan haji Arab Saudi akan berat bila dilakukan hanya oleh satu negara. Untuk itu, dia mendorong agar pemerintah dapat menginisiasi pembentukan forum global tersebut berkaca pada kesuksesan R20.

“Indonesia terbukti punya kapital untuk merealisasikan itu. Sebagai contoh, awal November ini, Indonesia yang diwakili oleh PBNU menjadi inisiator perhelatan Religion of Twenty (R20) atau Forum Agama G20 untuk pertama kalinya dan berhasil terselenggara dengan sukses. Begitupun halnya dengan gagasan yang sangat mungkin terwujud bila pemerintah punya keinginan kuat atas hal itu,” kata Bukhori.

Dia berharap forum haji ini dapat dijadikan Pemerintah Indonesia sebagai modal untuk membangun komunikasi yang setara antar pemerintah di dunia untuk bernegosiasi dengan Arab Saudi.

Sementara pembentukan forum ini tidak hanya untuk eksekutif atau pemerintahnya saja, tetapi ini juga akan diikuti dengan dengan pembentukan forum haji antar parlemen dunia.

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini menjelaskan, usulan pembentukan forum haji internasional adalah respons atas pola penyelenggaraan haji di Arab Saudi yang semakin dinamis. Menurutnya, paradigma penyelenggaraan haji di era modern lebih didominasi kepentingan bisnis.

“Pola penyelenggaraan haji di Arab Saudi sudah sangat dinamis dan mengalami satu perubahan paradigma. Penyelenggaraan haji terdahulu betul-betul merupakan khidmat kepada umat, yaitu itu pelayanan sepenuhnya kepada umat, tetapi ke depan kita melihat sudah bergeser pada suatu industri haji,” ungkapnya.

Industri haji ini, lanjut Bukhori, membuat seluruh proses penyelenggaraan haji diserahkan kepada pihak swasta (swastanisasi) secara murni. Walaupun sebenarnya sudah ada sejak dulu, di mana saat itu disebut dengan Muassasah karena bentuknya sosial, namun sekarang namanya berubah menjadi Syarikat.

“Artinya, nuansa bisnisnya jauh lebih kuat saat ini meskipun tetap saja bingkai besarnya adalah ibadah. Sebab itu, dinamika tersebut perlu diantisipasi oleh pemerintah,” ujarnya.

Masih terkait dengan pola penyelenggaraan haji yang sarat dengan orientasi bisnis, Anggota Badan Legislasi ini juga menyinggung sikap fraksinya yang menolak upaya liberalisasi penyelenggaraan haji sebagaimana pernah tersirat dalam salah satu klausul di RUU Cipta Kerja yang mengubah UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).

“Ketika kami membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, di mana salah satu yang turut dibahas adalah perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 2019 tentang PIHU. Kala itu terdapat proposal dari pihak pemerintah yang mengusulkan perubahan terhadap syarat Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang semula mensyaratkan pemiliknya beragama Islam agar itu dihapus. Karena usulan tersebut kami nilai berwatak liberal dan berbahaya bagi proses ibadah umat Islam, maka kami menolak tegas usulan tersebut sehingga akhirnya klausul tersebut batal masuk dalam UU Cipta Kerja,” pungkasnya.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.