Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buya Hamka, Ulama Produktif Penulis Lebih dari 100 Buku

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - Senin, 19 Agustus 2024 - 06:29 WIB

Senin, 19 Agustus 2024 - 06:29 WIB

62 Views

Buya HAMKA (foto: ig)

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat. Ia merupakan anak dari seorang ulama terkenal, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, yang juga dikenal sebagai Haji Rasul.

Masa kecil Hamka dihabiskan di kampung halamannya di Maninjau. Ia mulai belajar membaca Al-Quran pada usia 6 tahun dan sering mengikuti ayahnya dalam kegiatan keagamaan. Meskipun demikian, pendidikan formalnya terbatas, hanya sampai kelas dua sekolah dasar.

Pada usia 16 tahun, Hamka meninggalkan Sumatera Barat untuk pergi ke Jawa. Di sana, ia belajar dari tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Fakhruddin. Pengalaman ini memperluas wawasannya tentang Islam dan pergerakan nasional.

Setelah kembali ke Sumatera Barat pada tahun 1925, Hamka mulai aktif dalam gerakan Muhammadiyah. Ia menjadi juru dakwah yang handal dan mulai menulis artikel-artikel keagamaan untuk berbagai majalah.

Baca Juga: Nelson Mandela, Pejuang Kemanusiaan dan Pembela Palestina

Pada tahun 1927, Hamka melakukan perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selama di sana, ia juga memperdalam pengetahuan agamanya dan bekerja di sebuah percetakan selama beberapa bulan.

Sekembalinya dari Mekah, Hamka semakin aktif dalam kegiatan dakwah dan penulisan. Ia mulai menulis novel, cerpen, dan artikel-artikel tentang sejarah dan agama. Karya fiksinya yang terkenal, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, terbit pada tahun 1938.

Selama pendudukan Jepang (1942-1945), Hamka bekerja di Kantor Agama di Sumatera Barat. Meskipun situasi politik saat itu sulit, ia tetap aktif menulis dan berdakwah.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Hamka pindah ke Jakarta dan terlibat dalam politik. Ia menjadi anggota partai Masyumi dan terpilih sebagai anggota Konstituante hasil Pemilu 1955.

Baca Juga: Kisah Muchdir, Rela tak Kuliah Demi Merintis Kampung Muhajirun

Pada tahun 1959, Hamka mulai menulis tafsir Al-Quran yang kemudian dikenal sebagai “Tafsir Al-Azhar”. Pekerjaan ini dilanjutkannya selama ia dipenjara oleh rezim Soekarno dari 1964 hingga 1966.

Setelah dibebaskan, Hamka kembali aktif dalam kegiatan keagamaan dan penulisan. Ia menjadi imam besar di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta, dan menerbitkan majalah “Panji Masyarakat”.

Pada tahun 1975, Hamka dipilih sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Dalam posisi ini, ia berperan penting dalam menjembatani hubungan antara pemerintah dan umat Islam di Indonesia.

Sebagai seorang penulis produktif, Hamka menghasilkan lebih dari 100 karya tulis, meliputi berbagai bidang seperti agama, filsafat, sastra, sejarah, dan politik. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dan “Falsafah Hidup”.

Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad

Hamka dikenal sebagai ulama yang moderat dan berwawasan luas. Ia mampu memadukan pemikiran Islam tradisional dengan gagasan-gagasan modern, sehingga pemikirannya dapat diterima oleh berbagai kalangan.

Dalam bidang pendidikan, Hamka mendirikan Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Al-Azhar Indonesia. Ia juga aktif memberikan ceramah dan kuliah di berbagai institusi pendidikan.

Sebagai tokoh nasional, Hamka sering diminta pendapatnya mengenai berbagai isu sosial dan politik. Ia dikenal sebagai kritikus yang berani terhadap kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Pada tahun 1980, Hamka mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI karena perbedaan pendapat dengan pemerintah mengenai fatwa tentang perayaan Natal bersama.

Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina

Kehidupan pribadi Hamka juga menarik perhatian. Ia menikah dengan Siti Raham pada tahun 1929 dan dikaruniai 10 anak. Setelah istrinya meninggal pada tahun 1971, ia menikah lagi dengan Siti Khadijah.

Hamka dikenal sebagai orang yang sederhana dan rendah hati meskipun memiliki pengaruh besar. Ia tetap dekat dengan masyarakat dan selalu terbuka untuk berdiskusi dengan siapa saja.

Pengaruh Hamka tidak hanya terbatas di Indonesia. Karyanya juga dikenal di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Ia sering diundang untuk memberikan ceramah di luar negeri.

Buya Hamka wafat pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta pada usia 73 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi umat Islam Indonesia dan dunia intelektual pada umumnya.

Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham

Warisan intelektual dan spiritual Buya Hamka terus hidup hingga saat ini. Pemikirannya masih relevan dan sering dijadikan rujukan dalam berbagai diskusi tentang Islam dan kehidupan modern di Indonesia.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Kolom
MINA Preneur
Sosok