BWI: Dana Infaq dan Zakat Lebih Fleksibel untuk Pemberdayaan Ekonomi Umat

Jakarta, MINA – Potensi dana infaq, maupun sedekah lebih fleksibel jika disalurkan melalui lembaga pembiayaan syariah untuk pemberdayaan ekonomi umat dibandingkan , sebab, pengelolaan wakaf berbeda dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LMKS).

Demikian disampaikan Ketua Divisi Pembinaan dan Pemberdayaan Nazhir Badan Wakaf Indonesia () dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk “Bank Wakaf Mikro untuk Masyarakat”, di Jakarta, Selasa (27/03).

“Bank Wakaf Mikro (BWM) ini bukan lembaga wakaf. Ini adalah LKMS. Itu ada badan hukumnya. Kalau Bank Wakaf belum ada. LKMS itu ada. Ini LKMS bermerek BWM. Kalau kita misalnya, nanti bicara wakaf banyak sekali perbedaan dalam hal istilah dan sejumlah hal yang harus dipenuhi,” ujar Hendri.

Hendri menerangkan, ketika berbicara lembaga wakaf maka lembaga itu harus dikelola oleh Nazhir. Lembaga Nazhir itu apa? Peran Nazhir di dalam UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1.

“Nazhir itu bisa berupa perorangan, organisasi, badan hukum yang menerima harta wakaf lalu mengelolanya serta mengembangkannya. Jadi hartanya adalah harta wakaf,” jelas Hendri.

Menurut Henri, konsep Bank Wakaf Mikro ini mirip dengan Bank Infaq Mikro karena sangat fleksibel di dalam penggunaannya. Sebenarnya, untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, bisa saja memakai model lembaga wakaf di Turki. Mereka sudah berdiri kurang lebih 600 tahun lalu.

“Misalnya di Turki ada seseorang berwakaf 10 miliar untuk membangun sekolah, maka oleh Nazhir itu akan menerima uang 10 miliar tapi tidak semunya dibangun gedung sekolah. Yang dibangun gedung 5 miliar. Lalu 5 miliar sisanya untuk usaha seperti membuka toko dan lain-lain,” jelasnya,

Dikatakan, hasil dari usaha ini digunakan untuk gaji guru, gaji pengelola, dan muridnya pun bisa digratiskan.

“Jadi kalau ktia galakkan lembaga wakaf ini ekonomi jadi murah, sekolah jadi murah bila perlu gratis, rumah sakit juga begitu. Lembaga wakaf paling hebat di dunia saat ini adalah Al-Azhar di Kairo,” imbuhnya.

Satu hal, menurut dia, wakaf itu harus dikelola oleh Nazhir yang diakui oleh hukum di Indonesia dan mendapatkan izin kelola wakaf dari BWI. Nazhir tersebut mengajukan diri sebagai penglola harta wakaf. Lalu dari BWI memanggil mereka untuk memaparkan program-programnya. Kemudian diberi izin oleh BWI. Para Nazhir pun harus ada auditnya.

“Di Indonesia, wakaf lebih banyak dalam bentuk harta tak bergerak atau tunai dalam benti emas atau perak, seperti di era Islam. Untuk wakaf tunai masih kecil. Prosesnya juga harus melalui akad,” katanya.

Namun demikian, penerapan dari Bank Wakaf Mikro walaupun sama dengan LKMS amat sangat luar biasa kalau ini bisa dipraktekkan kepada masyarakat kecil. Apalagi mereka mendapatkan pembiayaan tanpa agunan. (L/R06/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)