Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Pagi itu, sekitar tahun 570 M, matahari memancarkan cahayanya di langit Arab tanpa ada halangan, suasana di salah satu kota kecil nan ramai terlihat sibuk seperti biasanya. Kota itu adalah kota Makkah Al-Mukarramah dimana Ka’bah berdiri kokoh.
Masyarakat di sana kebanyakan berprofesi sebagai pedagang dan penggembala kambing, sebagian lain sebagai pemahat patung. Suatu waktu, tanpa diduga datanglah pasukan bergajah dari negeri Yaman yang dipimpin oleh Raja Abrahah, yang berniat untuk menghancurkan Ka’bah dan memindahkannya ke Yaman. Akan tetapi usahanya gagal.
Pada tahun itu, selain terkenal dengan peristiwa tersebut, juga ada peristiwa lain, yakni lahirnya seorang yang akan menerangi dunia hingga Hari Qiamat, dialah Muhammad putra dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthallib dan Siti Aminah. Tak heran, jika tahun kelahirannya disebut dengan tahun gajah. Tiada yang menduga, Muhammad yang lahir di tengah masyarakat penyembah berhala, menjadi salah satu dari sekian banyak utusan Allah, salah satu cahaya paling terang ketika dunia dalam keadaan yang amat gelap gulita.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Di hari-hari pertama melihat indahnya dunia, Muhammad kecil mengisi waktunya tanpa seorang ayah. Ayahnya meninggal tiga bulan sebelum kelahirannya, ketika sedang melaksanakan tugas di Madinah. Sehingga Muhammad kecil kini praktis diasuh oleh ibundanya, siti Aminah. Namun, hal itu juga hanya berlangsung sekitar tiga tahun, setelah itu, ibundanya menyusul ayahnya. Ia meninggal dunia di desa Abwa ketika usai menziarahi makam ayahnya.
Munculnya Cahaya Islam
Pada usianya yang terbilang masih seumur jagung, Muhammad muda sudah mengikuti pamannya untuk berdagang ke negeri Syam. Hal itu berlangsung hingga usia 12 tahun. Muhammad muda juga sempat menjajakan barang dagangan dari Khadijah, seorang saudagar kaya. Wanita inilah yang kelak menjadi istrinya.
Siapa sangka, Muhammad yang sejak kecil hidup tanpa didampingi kedua orang tuanya, berubah menjadi seorang manusia yang paling berpengaruh di dunia ini. Bahkan, pengaruh Muhammad melebihi orang-orang sekaliber Plato, Qaisra, hingga Rostchild.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul ketika berusia 40 tahun. Ketika itu, beliau sedang bertahannus (menyendiri) di Gua Hira. Pada saat itulah, Malaikat Jibril yang diutus oleh Allah mendatangi Rasulullah untuk menyampaikan wahyu. Wahyu pertama yang turun ialah 5 ayat pertama dari Surat Al-‘Alaq.
Pasca peristiwa itu, Rasulullah gencar mendakwahkan Islam kepada kerabat dekatnya. Namun sedikit saja yang mengikuti dakwah Rasulullah. Tercatat, hanya beberapa orang saja yang kemudian dikenal dengan Assabiquunal Awwaluun. Dalam berbagai buku sejarah disebutkan bahwa, kaum Muslimin di Mekkah tidak bisa leluasa untuk mengamalkan dan menjalankan keyakinannya.
Diantara yang paling getol dalam memusuhi Islam hingga akhir hayatnya adalah, Abu Jahl, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf, Utbah bin Rabiah dan selainnya.
Menurut Ahmad Syalabi, seorang pakar sejarah Islam dalam bukunya, Perkembangan dan Peradaban Islam, menyebutkan setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi suku Quraisy menentang seruan Islam, yaitu;
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
- Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
- Nabi Muhammad SAW menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Atau disebut dengan tidak adanya perbudakan.
- Para penmimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
- Patuh kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berakar pada bangsa Arab.
- Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang dilakukan para pemimpin suku Quraisy untuk mencegah dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu;
- Bujuk rayu
- Ancaman pembunuhan
- Fitnah
- Penyiksaan terhadap penduduk yang beragama Islam
Halangan seperti itu, tidak pernah bisa menyurutkan langkah Rasulullah dalam menyampaikan ajarannya, beliau tetap tegar di atas keyakinannya. Karena keteguhan Rasulullah inilah yang kemudian menyulutkan berbagai macam kedengkian dari pemuka-pemuka Quraisy yang pada akhirnya menimbulkan berbagai peperangan hebat.
Tersebar dari Madinah
Ketika dakwah di Makkah, orang-orang Quraisy gencar menyiksa dan membunuh kaum Muslimin. Hal itu kontras kondisinya ketika umat Islam hijrah ke Yastrib. Yastrib menjadi titik tolak perkembangan Islam yang kemudian dijadikan sebagai tempat untuk menyebarkan Islam hingga ke seluruh dunia. Rasulullah bersama sahabatnya membentuk komunitas (jamaah) yang kokoh dan kuat.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Yastrib dikenal sebagai daerah pusat perdagangan pada sebelum Islam. Kota ini diganti namanya menjadi Madinah Al-Munnawwarah (Kota yang bercahaya) sebagai pusat perkembangan Islam sampai Rasulullah wafat dan dimakamkan di sana. Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhilafahan sebagai penerus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada tahun 11 H, sekitar 40 hari selepas haji Wada’, jiwa Rasulullah yang suci itu kembali kepada pangkuan Rabbnya.
Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Al-Khattab, danUtsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abu Thalaib, pemerintahan dipindahkan ke Kuffah di Irak karena terjadi gejolak internal akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak.
Di kota Madinah ini juga pertama kalinya terbentuk masyarakat Islam sebagai kekuatan utama, Rasulullah tidak hanya berkedudukan sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat. Di Madinah inilah Rasulullah membangun sebuah masjid yang hingga saat ini terus menjadi pusat ziarah Kaum Muslimin, inilah Masjid Nabawi. Berkenaan dengan hal itu, Rasulullah pernah bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ – صلى الله عليه وسلم – وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Artinya: “Tidaklah pelana itu diikat –yaitu tidak boleh bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah ke suatu tempat)- kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, masjid Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan masjidil Aqsho.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika masuk masjid Nabawi, maka hendaklah mengucapkan do’a masuk masjid sebagaimana do’a yang dibaca ketika masuk masjid lainnya, di antara do’anya: “Bismillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah, allahummaghfirliy dzunuubi waftahlii abwaaba rohmatik”. Kemudian melaksanakan shalat tahiyyatul masjid dan boleh memilih melaksanakannya di Roudhoh, jika memungkinkan.
Kemudian setelah itu mengunjungi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam pada beliau: “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rahmatullah wa barakatuh.” Kemudian memberi salam setelah itu kepada Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar bin Khottob. Dan tidak boleh berhenti lalu berdo’a menghadap kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun berdo’a hendaklah tetap menghadap kiblat.
Ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam khusus bagi pria. Lalu setelah itu menziarahi pemakaman Baqi’ yang dekat dengan Masjid Nabawi dimana mayoritas shahabat dikubur di sana. Lalu disunnahkan pula untuk berkunjung ke Masjid Quba untuk melaksanakan shalat dua raka’at di sana.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Cahaya itu adalah kemuliaan Islam. Islam yang kita kenal saat ini, sejatinya muncul pertama kali di Makkah pada 13 SH. Namun demikian, Islam mulai berkembang pesat pada saat Rasulullah dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, bahkan hingga Rasulullah wafat. Rantai kejayaan itu kemudian diteruskan oleh Khulafa Ar-Rasyidah, Daulah Bani Umayyah, Daulah Bani Abbasiyyah, Kekaisaran Turki Ustmani sampai nikmatnya hidup berjamaah dalam bingkai Jamaah Muslimin (Hizbullah) yang kita rasakan saat ini.
Sampai saat ini, Islam tetap jaya dan terus memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan dunia. Bermula dari Madinah, cahaya Islam menyebar ke seluruh pelosok dunia hingga sampai di masa kita sekarang.
Hikmah
Dari kisah singkat tentang perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di atas, banyak sekali hikmah yang patut kita contoh, diantaranya;
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Pertama: sifat pantang menyerah. Sejak awal, Rasulullah mengisi harinya tanpa kedua orang tuanya, hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai pendapat para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa, itu adalah cara Allah untuk mendidik langsung hamba-Nya. Kemudian dengan peristiwa itu pula, Rasulullah akan lebih siap ketika akan mendidik dan membina kaumnya. Dan hasilnya, sifat pantang menyerah dari Rasulullah ini yang kemudian mengantarkannya bisa menelurkan generasi umat terbaik, bahkan generasi manusia terbaik.
Kedua: metode berjamaah. Tidak bisa kita pungkiri lagi, ketika Islam masih berada di Makkah, kaum Quraisy dengan segala cara menyiksa dan membunuh masyarakat yang telah memeluk Islam. Hal itu karena umat Islam belum bersatu, mereka belum kuat dan kebanyakan masih di bawah bayang-bayang majikannya.
Namun apa yang terjadi setelah hijrah ke Madinah? Di tempat itu, Rasulullah membina para sahabatnya, membentuk komunitas dan masyarakat Islam yang pada akhirnya, dari komunitas kecil itu, menyebar hingga seluruh dunia dan bahkan bisa kita rasakan cahaya kemuliaan Islam di masa sekarang, padahal sudah sangat jauh sekali dari masa Rasulullah. Wallahul Musta’an. (P011/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara