Cara Israel Mengusir Warga Palestina dari Yerusalem

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Terletak di pinggiran perbukitan tenggara (Al-Quds), dengan jalan berlubang-lubang di Sur Baher, rumah Sarah Ali Dwayat sudah kosong.

Di teras depan rumah terbentang sebuah spanduk besar memuat foto lima remaja dari lingkungan itu yang saat ini dipenjarakan oleh . Salah satu adalah anaknya yang berusia 19 tahun bernama Abed.

Kelima anak ini dituduh melempari kendaraan warga Israel di jalan raya  yang diduga menyebabkan kematian seorang sopir setelah bentrokan antara polisi dan pemuda Palestina pada September tahun lalu. Tepatnya pada malam Tahun Baru Yahudi.

Sidang masih berlangsung, tapi sudah beberapa anggota keluarga mereka yang dipaksa meninggalkan rumahnya.

“Ketika kami mendapat pemberitahuan penyitaan, kami membawa semua perabotan ke luar. Sekarang kami tersebar tinggal di teman-teman dan tetangga,” kata Sarah (59).

Sarah mengatakan, ketika tentara datang untuk menutup rumahnya dua pekan yang lalu, seorang tentara mengatakan kepadanya dalam bahasa Arab bahwa itu untuk mengirim pesan kepada warga lain agar tidak melakukan “teror” kepada warga Israel.

Gagang pintu rumah Sarah telah patah dan pintu masuk disegel dengan pelat logam.

Sarah adalah seorang janda selama 15 tahun. Putrinya yang berusia 24 tahun telah pindah ke apartemen yang lebih kecil di daerah yang sama, yang disediakan oleh tetangganya.

Cepat atau lambat, mereka harus mulai membayar sewa. Sarah mengakui bahwa harga properti yang setinggi langit di Yerusalem membuatnya tidak mampu membelinya.

“Kami baru saja memulai pekerjaan renovasi. Abed telah mendapatkan pekerjaan dan telah mulai membantu. Kami masih membayar utang,” kata Sarah.

Sejak Oktober lalu, ketegangan telah memuncak menjadi kekerasan di wilayah Israel dan Palestina yang diduduki di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza yang diblokade.

Selama periode ini, tentara Israel telah menewaskan sedikitnya 206 , termasuk demonstran, karena dituding melakukan penyerangan terhadap tentara dan warga Israel. Sementara 33 orang Israel tewas dalam insiden penikaman dan penembakan.

Sarah Ali Dwayat (59). (Foto: Ylenia Gostoli/Al Jazeera)
Sarah Ali Dwayat (59). (Foto: Ylenia Gostoli/Al Jazeera)

Mengusir warga Palestina

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan serangkaian langkah-langkah yang menargetkan terduga penyerang dari warga Palestina dan keluarga mereka, termasuk pembongkaran atau penyegelan rumah penyerang dan pencabutan izin tinggal permanen bagi warga Palestina di Yerusalem Timur.

Munir Nusseibeh, seorang pengacara HAM dan Direktur Community Action Centre di Universitas Al-Quds, meyakini bahwa anak Sarah dan dua terdakwa lainnya, Muhammad Abu Kaf (17) dan Mustafa Atrash (18) adalah “uji kasus”.

“Mereka adalah yang pertama mengalami risiko pencabutan domisili karena telah melempar batu, dan yang pertama keluarganya telah mengungsi dari rumah mereka karena melempar batu,” kata Nusseibeh.

Ketika Israel menduduki dan mencaplok secara sepihak Yerusalem Timur pada 1967, warga Palestina ditunjuk sebagai “penduduk tetap”, bukan warga negara, statusnya mirip dengan migran di negara asing. Sejak itu, lebih dari 14.000 keluarga yang izin tinggalnya dicabut oleh otoritas Israel.

Selama bertahun-tahun, kriteria alasan untuk mencabut domisili warga Palestina telah diperbanyak. Dua dekade lalu, Kementerian Dalam Negeri Israel mencabut izin domisili warga Palestina yang tinggal di luar negeri selama tujuh tahun atau lebih, termasuk warga Palestina yang tinggal atau berstatus kewarganegaraan di negara lain.

Tapi setelah Kesepakatan Oslo, keputusan baru diperkenalkan, yaitu warga Palestina akan kehilangan hak tinggalnya jika mereka mendirikan tempat tinggal di luar wilayah Israel, seperti di Tepi Barat atau Gaza. Sekitar 11.000 dari 14.000 keluarga izin tinggalnya dicabut berdasarkan ketentuan  ini.

Pada 2006, tiga anggota terpilih dari Dewan Legislatif Palestina yang tinggal di Yerusalem dicabut izin tinggalnya dengan alasan baru, yaitu “pelanggaran kesetiaan kepada negara”. Kasus mereka masih tertunda pra Mahkamah Agung.

“Tidak ada yang menyatakan bahwa anggota parlemen tersebut merupakan ancaman keamanan khusus bagi Israel, melainkan itu karena politik mereka (Israel) yang memutuskan untuk membatalkan hak mereka (anggota parlemen) untuk tinggal di Yerusalem,” kata Nusseibeh.

Ia mencatat bahwa sudah ada 13 kasus pencabutan izin tinggal dengan kriteria “kesetiaan” yang diketahui.

“Jika Mahkamah Agung menyetujui pencabutan residensi dalam kasus 2006 berdasarkan pelanggaran kesetiaan, ini akan membuat preseden baru yang penting. Itu akan menjadi yang pertama kalinya bahwa Mahkamah Agung menyetujui mencabut residensi berdasarkan politik, bukan alasan keamanan,” kata Nusseibeh.

Menurutnya, semua warga Palestina di Yerusalem akan terkena risiko pencabutan izin tinggal berdasarkan kriteria “kesetiaan”, karena warga Palestina di Yerusalem Timur memandang pendudukan hal yang sementara dan Israel sebagai kekuatan penjajah asing.

Abu Walid, ayah dari Mustafa Atrash menyatakan kemarahannya dengan kebijakan ini.

“Kesetiaan, kesetiaan? Kami membayar pajak kepada pemerintah kota Israel, dan kami tidak mendapatkan apa-apa,” kata Walid.

“Apakah Yigal Amir kewarganegaraannya dicabut karena membunuh Perdana Menteri Israel?” katanya, merujuk pada pembunuhan Yitzhak Rabin oleh seorang ekstremis sayap kanan Israel pada 1995.

Abir Joubran-Dakwar, seorang pengacara untuk organisasi HAM Israel, Hamoked, yang menangani kasus Sur Baher, mencatat bahwa ada sejumlah kriteria tertentu di mana kewarganegaraan dapat dicabut, termasuk “pelanggaran kesetiaan”, tapi ini tidak berlaku untuk izin tinggal.

“Seseorang yang kewarganegaraannya dicabut menjadi tanpa kewarganegaraan, Kementerian Dalam Negeri masih harus memberinya status tinggal permanen,” kata Dakwar.

Kelompok HAM, termasuk B’Tselem berpendapat bahwa di masa lalu, penghancuran rumah, penolakan izin bangunan, pembatasan reunifikasi keluarga, dan pembangunan tembok pemisah, semua itu adalah berbagai metode yang digunakan oleh pemerintah Israel untuk secara paksa menggusur rakyat Palestina dan mempertahankan keberadaan mayoritas warga Yahudi di Yerusalem. Hal itu dianggap telah melanggar hukum internasional. (P001/P4)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.