Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Secara etimologi nasihat berasal dari kata nashaha, bermakna khalasa (murni). Menurut Abu Amr bin Salah, nasihat menghendaki suatu kebaikan untuk orang lain dengan cara ikhlas baik berupa tindakan atau kehendak. Dalam pandangan Islam, nasihat adalah pilar agama, sangat penting dan penyanggah kebenaran yang paling fundamental. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dari Tamim Ad Dary menegaskan, “Agama adalah Nasihat”. Kami bertanya: Untuk siapa? Beliau bersabda, “Untuk Allah, KitabNya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta seluruh Umat Islam.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i)
Nasihat terhadap pemimpin adalah permasalahan yang jarang mendapat penjelasan secara baik sesuai asas hukum Al Quran dan Sunnah Rasul. Sebagian orang terkadang kurang proporsional dan tidak terpuji dalam mengoreksi kekurangan sikap para pemimpin bahkan melanggar kaidah-kaidah dasar Islam dalam menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar terdapat para pemimpin. Di antara mereka menempuh cara demo, membuat makar politik sehingga tidak jarang menimbulkan kekacauan dan keresahan dan sebagian yang lainnya menempuh cara terorisme.
Menasihati pemimpin termasuk perkara paling diridhai Allah sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya Allah rela terhadap tiga perkara dan benci terhadap tiga perkara; Dia rela apabila kalian menyembah-Nya, berpegang teguh terhadap tali Allah dan menasehati para pemimpin. Dan Allah benci terhadap pembicaraan sia-sia, menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Pentingnya Menasihati Pemimpin
Pemimpin bukan seorang Nabi apalagi seorang malaikat. Pemimpin juga manusia–yang terkadang salah, kadang benar, kadang emosi kadang juga egois. Semua sifat-sifat baik dan buruk itu wajar dimiliki oleh manusia. Namun demikian, nasihat terhadap para pemimpin berarti membantu mereka dalam menegakkan kebenaran, mentaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan cara lembut dan sopan terhadap hak-hak rakyat dan tidak melakukan pemberontakan.
Imam Nawawi berkata, menasihati para pemimpin berarti menolong mereka untuk menjalankan kebenaran, mentaati mereka dalam kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut terhadap kesalahan yang mereka berbuat, memperingatkan kelalaian mereka terhadap hak-hak kaum muslimin, tidak melakukan pemberontakan dan membantu untuk menciptakan stabilitas negara.
Imam Al Khattaby berkata bahwa termasuk nasihat terhadap pemimpin adalah shalat berjamaah di belakang mereka, jihad bersama mereka, membayar zakat kepada mereka, tidak keluar dari mentaati mereka tatkala terjadi penyelewengan dan kedhaliman, tidak memuji secara dusta dan selalu mendo’akan kebaikan untuk mereka.
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi
Dan nasihat yang paling penting adalah mendatangi mereka dalam rangka menyampaikan kekurangan dan kebutuhan umat serta menjelaskan kelemahan para pejabat khususnya hal-hal yang berdampak negatif bagi umat. Mengingatkan agar takut kepada Allah dan hari akherat, mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan melarang tentang kemungkaran serta mendorong mereka agar hidup sederhana dan wara’.
Para pemimpin kaum muslimin terbagi dua. Pertama, pemimpin fajir (jahat). Ia hanya berambisi terhadap kekuasaan belaka, perbuatan mereka tidak pernah sepi dari penganiayaan dan kedhaliman dan tidak segan-segan melibas siapa saja yang mencoba untuk menggoyang kekuasaannya meskipun dia melanggar syari’at. Tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta boros terhadap harta negara.
Rusaknya para pemimpin antara lain karena; lemahnya pengamalan prinsip agama, senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia belaka, sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan, teman dan penasihat kepercayaan yang tidak baik atau menjadikan orang-orang kafir sebagai pembantu kepercayaan, menyerahkan kekuasaan dan jabatan kepada orang-orang yang tidak berjiwa patriot dan ihklas, diktator dalam mengendalikan kekuasaan, terpengaruh dengan sistim negara-negara kafir dan meninggalkan sistim Islam.
Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah
Kedua, pemimpin yang adil lagi bijaksana. Artinya selalu mendahulukan kebenaran dan kepentingan umum, sungguh-sungguh dalam menerapkan syariat Islam dan sangat adil lagi bijaksana dalam memberikan hak-hak umat serta hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam membelanjakan harta negara.
Cara Menasihati
Islam memiliki etika tersendiri yang tidak boleh dilecehkan sebab pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin secara umum perlu memakai kaedah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaedah dan etikanya. Dari Hisyam Ibnu Hakam meriwayat-kan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan dilakukan secara terang-terangan. Akan tetapi nasihatilah dia di tempat yang sepi, jika menerima nasihat itu, maka sangat baik dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban Nasihat kepadanya.” (HR. Imam Ahmad).
Sangat tidak bijaksana mengoreksi kekeliruan para pemimpin lewat mimbar atau tempat-tempat umum sehingga menimbulkan banyak fitnah. Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin ‘Affan bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar. Imam Ibnu Hajar berkata bahwa Usamah telah menasihati ‘Ustman bin ‘Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu
Imam Syafi’i berkata bahwa barang-siapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka dia telah mena-sihati dan menghiasinya, tapi barang-siapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka dia telah mempermalukan dan merusaknya. Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata: Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.
Menasihati seorang pemimpin harus berangkat dari sebuah kepahaman tentang hal apa yang akan dinasihatinya. Karena itu, orang yang akan menasihati pemimpin hendaknya memiliki bekal antara lain; pertama, harus ikhlas dalam memberi nasihat. Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr, “Wahai Abdullah bin Amr jika kamu berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan membangkitkan kamu, sebagai orang yang sabar dan ikhlas dan jika kamu berperang karena riya’, maka Allah akan membangkitkan kamu sebagai orang riya dan ingin dipuji.” (HR. Abu Daud)
Mendahulukan sikap kejujuran dan keberanian. Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa hendaknya bersikap jujur dan pemberani sebagai-mana sabda Nabi, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang dhalim.” (HR Abu Daud). Wallahu’alam.(R02/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah