Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional
Sudah satu abad lebih, tepatnya 107 tahun berlalu, tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Britania Raya (Inggris) Arthur James Balfour, menulis secarik kertas kontroversial, yang kemudian dijadikan dalih bagi orang-orang Yahudi-Diaspora untuk menyerbu dan kemudian menduduki tanah Palestina dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.
Surat itu memang sudah diatur sebelumnya oleh Chaim Azriel Weizmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia (World Zionist Organization), agar surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.
Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat yang kemudian dilanggar sendiri, yaitu bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.
Baca Juga: Memaknai Iqra
Isi surat yang hanya dengan 67 kata ditandatangani oleh Balfour, sebagai berikut isisnya, dikutip dari sumber Wikipedia.
Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.
Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina, tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.”
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis. Salam, Arthur James Balfour.
Berdasar secarik surat itu, Inggris di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby, Panglima Tertinggi Pasukan Inggris, kemudian masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangkaian serangan.
Baca Juga: Mengembangkan Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas
Ribuan sukarelawan Yahudipun membonceng, bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian menduduki Palestina pada Desember 1917. Jadi, hakikat pendudukan sudah dimulai sejak 1917 ini.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1919, Kota Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.
Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionis Internasional yang didirikan oleh Theodor Herzl tahun 1897, mulai mendorong migrasi kaum Yahudi dari berbagai negara untuk pindah ke Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.
Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya PBB), justru ikut menyetujui Mandat Britania atas Palestina itu sebagai “negara orang Yahudi”.
Baca Juga: Mengislamkan Pikiran, Hati, Dan Perilaku
PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 181 tanggal 29 November 1947 tentang pembagian Palestina untuk negara Arab (Palestina) dan Yahudi (the partition of Palestine into Arab and Jewish states).
Inilah tanggal tragedi yang diformalkan ketika Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 181, yang menyerukan pembagian wilayah Mandat Palestina menjadi tiga, untuk Yahudi, Arab Palestina dan internasional, setelah berakhirnya Mandat Britania atas Palestina.
Resolusi itu disebut ‘United Nations Partition Plan for Palestine’ yang berisi rekomendasi pembagian Palestina setelah Inggris menarik kekuasaannya. Secara kasar pihak Yahudi mendapat sekitar 55% dari area total tanah sementara pihak Arab mendapatkan 45%.
Hingga akhirnya pada 14 Mei 1948, merasa mendapatkan angin dari PBB, Zionis Israel memproklamasikan kemerdekaan ‘Negara Israel’ secara sepihak, dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian tersebut. Namun Israel sudah mempersiapkan segala sesuatunya dibantu Barat, yang kemudian memenangkan perang dan mengukuhkan ‘kemerdekaannya’.
Baca Juga: Sejarah, Makna, dan Relevansi Sumpah Pemuda Bagi Bangsa
Pendudukan Pun Dimulai
Rentang masa 107 tahun surat kontroversial Balfour itu (2 November 1917) dan kini 2 November 2024, disebut sebagai era pendudukan, penjajahan dan pembersihan etnis Palestina dari negerinya sendiri.
Zena Al-Tahhan, jurnalis dan produser online Al-Jazeera menyatakan, Deklarasi Balfour telah mengubah tujuan Zionis untuk membangun sebuah negara Yahudi di Palestina menjadi sebuah kenyataan ketika Inggris berjanji untuk mendirikan sebuah “rumah nasional untuk orang-orang Yahudi” di sana.
Menurutnya, ini dianggap sebagai salah satu dokumen paling kontroversial dan diperebutkan dalam sejarah modern dunia Arab.
Baca Juga: Setelah Sinwar Syahid, Perlawan Melemah?
“Kasus Palestina, bagaimanapun, adalah unik. Tidak seperti mandat pascaperang lainnya, tujuan utama Mandat Inggris adalah untuk menciptakan kondisi untuk pembentukan rumah nasional Yahudi. Padahal komunitas Yahudi saat itu kurang dari 10 persen populasi,” lanjutnya.
Nyatanya, setelah pemberian mandat itu, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi besar-besaran Yahudi Eropa ke Palestina. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.
Kini, 107 tahun berlalu, penindasan penjajahan itu masih saja berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, AS, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga HAM dunia.
Deklarasi Balfour telah memberi dampak terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern.
Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil
Namun kini, seiring dengan perkembangan jaman, pakar hukum mulai meyakini bahwa Deklarasi Balfour tidak sah secara hukum. Karena itu, segala sesuatu yang dihasilkannya, dan segala sesuatu yang mendasarinya, adalah salah.
Para ahli hukum internasional percaya bahwa Deklarasi Balfour tidak mempunyai status mengikat secara hukum, karena bersifat pernyataan unilateral, tanpa kewajiban terkait, dan hanya diterbitkan dalam bentuk surat yang ditujukan oleh Menteri Luar Negeri Inggris kepada entitas lain. Pernyataan ini tidak berstatus perjanjian atau kontrak internasional , menurut Kantor Berita Wafa Palestina.
Kehadiran Inggris di Palestina hanyalah sebuah pendudukan, dan pendudukan atau mandat tersebut tidak mempunyai hak untuk menyerahkan atau membagikan tanah atau wilayah yang diduduki kepada entitas lain. Palestina pun bukan milik Inggris, jadi bagaimana Inggris memberikannya kepada pihak lain?
Pemerintah Inggris dalam banyak kesempatan mengumumkan bahwa tujuan pendudukannya adalah untuk membebaskan Palestina dari Kekuasaan Ottoman (Turki Utsmani) dan mendirikan pemerintahan nasional di sana.
Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina (BSP) November 2024
Thufanul Aqsha Hentikan Balfour
Menandai peringatan 107 tahun Deklarasi Balfour, yang merupakan awal dari kejahatan terhadap rakyat Palestina dan masyarakat di wilayah tersebut. Entitas pendudukan Israel telah merampas wilayah Palestina.
Ini semua adalah sebagai kejahatan pencurian dan perampokan terbesar dalam sejarah modern, mencuri tanah air dari pemiliknya yang sah.
Namun kini keadaan mulai berbalik 180 derajat, dengan adanya tanda-tanda kemenangan Thufanul Aqsa atau Badai Al-Aqsa sejak 7 Oktber 2023 yang telah memporak-porandakan segala hegemoni Zionis Israel, yang katanya terkenal hebat itu.
Baca Juga: Menjadi Hamba yang Dermawan, Bagaimana Caranya?
Kini setahun Badai Al-Aqsa terbukti telah berhasil meraih berbagai kemenangan nyata di lapangan bagi perjuangan Palestina.
Mampu bertahan selama satu tahun, bahkan masih mampu mengadakan serangan balik, padahal sudah dibombardir dengan 85 ribu ton bom, dengan korban lebih dari 42 ribu syuhada, itu tanda kemenangan pejuang Palestina.
Kemenangan lain, dari sisi intelejen, pemerintahan Zionis Israel telah kecolongan sampai serangan mendadak tidak terdeteksi oleh dinas intelejen dalam negeri Shi Bet dan Aman maupun intelejen luar negeri Mossad.
Sementara dari struktur politik dalam negeri, pemerintahan Netanyahu terus diguncang perpecahan kabinetnya dan protes dari warganya.
Baca Juga: Refleksi Hari Santri 2024, Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan
Dari sisi milter pun demikian, pasukan Zionis sejujurnya mengalami kekalahan telak. Bagaimana ratusan kendaraan tempur dapat dihancurkan oleh pejuang Palestnia, ribuan tentara tewas, dan puluhan ribu lainnya mengalami luka-luka dan cacat. Sebagian besar lainnya juga mengalami depresi perang.
Kekalahan lainnya, bagaimana ekonomi pemerintahan Zionis Israel yang mengalami kerugian senilai 900 triliun rupiah dalam waktu kurang lebih setahun sejak Tufanul Aqsa 7 Oktober 2023.
Belum lagi nilai hutang yang membengkak, tingkat pengangguran, runtuhnya kegiatan ekonomi, tutupnya penerbangan, itu semua menunjukkan kekalahan ekonomi pemerintahan dan warga Israel.
Di skala internasional, Israel semakin terpojokkan, lobi diplomasi yang dikenal hebat ternyata turun anjlok, banyak negara tidak lagi mengikuti seruan Israel.
Baca Juga: Genosida terhadap Pendidikan dan Kebudayaan di Gaza
Dari sisi media, Zionis juga boleh dikatakan tidak seperkasa dulu. Era internet memberikan peluang kepada siapa saja untuk membuat dan menguasai media. Terlebih media sosial yang lebih bebas, kekuatan netizen Indonesia diakui mampu men-downgrade hegemoni Zionis di dunia maya yang itu berampak ke dunia nyata.
Jatuhnya mental bertempur dari prajurit Israel semakin menunjukkan kelemahan mereka. Sebaliknya ketangguhan mental para pejuang dan rakyat Palestina menunjukkan tanda kemenangan Palestina, dan itu kemenangan umat Islam.
Kemenangan Palestina akan semakin kuat manakala seluruh faksi terus mewujudkan rekonsiliasi persatuan nasional, dan didukung persatuan umat Islam secara global, alias kehidupan terpimpin berjama’ah di kalangan kaum Muslimin. []
Mi’raj News Agency (MINA)