Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Catatan 47 Tahun Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina

Ali Farkhan Tsani Editor : Zaenal Muttaqin - 17 detik yang lalu

17 detik yang lalu

0 Views

Daurah Kubra Internasional Baitul Maqdis di Masjid An-Nubuwwah Lampung, Jumat-Ahad, 22-24 November 2024. (Dok MINA)

Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan peringatan tahunan tanggal 29 November sebagai Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina (the International Day of Solidarity with the Palestinian People).

Peringatan ini tertuang dalam Resolusi MU PBB Nomor 32/40 B tahun 1977.

Menurut PBB, tanggal 29 November dipilih karena maknanya dan signifikansinya bagi rakyat Palestina.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-14] Tidak Halal Darah Seorang Muslim

Pada tanggal itu, 29 November 1947, Sidang Umum PBB menetapkan Resolusi 181 (II), yang kemudian dikenal sebagai Rencana Pembagian Palestina (Palestine Partition Plan).

Resolusi PBB itu menetapkan pembentukan “Negara Yahudi” dan “Negara Arab” di Palestina, dengan Yerusalem sebagai korpus separatum di bawah internasional khusus.

Corpus separatum adalah istilah dalam bahasa Latin yang artinya “tubuh yang terpisah”. Istilah ini merujuk pada wilayah atau kota yang memiliki status politik dan legal khusus, berbeda dengan wilayah di sekitarnya, namun bukan negara-kota yang independen.

Tentu saja mereka orang-orang Yahudi yang tak berhak atas tanah Palestina, sangat diuntungkan dengan resolusi tersebut. Bagaimana tidak? Pendudukan diberi hak atas sebagian tanah jajahannya? Bahkan kini terus melaksanakan program normalisasi dan aneksasi. Sementara warga Palestina penduduk setempat dan pemilik tanah Palestina, hanya kebagian 45%?

Baca Juga: Tahun 1930 Tiga Pelajar Indonesia Syahid di Palestina

Bahkan dari dua negara yang akan dibentuk berdasarkan resolusi ini, hanya satu yaitu Israel, yang sejauh ini telah terbentuk. Sementara Palestina? Masih terus dijajah dan diduduki secara terang-terangan.

Rakyat Palestina, yang kini berjumlah lebih dari delapan juta, hidup terutama di wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak tahun 1967, termasuk Yerusalem Timur, mengungsi di negara-negara tetangga Arab dan di kamp-kamp pengungsi di wilayah tersebut.

Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina memang bukan untuk memperingati Resolusi PBB 181, tapi sebenarnya justru untuk menggugatnya.

Walaupun secara umum tentu ada dampak posisif Hari yang ditetapkan PBB yang membagi sendiri tanah Palestina. Paling tidak itu daat memberikan kesempatan kepada komunitas internasional untuk memusatkan perhatiannya pada fakta bahwa masalah Palestina masih belum terselesaikan dan bahwa rakyat Palestina belum mendapatkan hak-hak yang tidak dapat dicabut sebagaimana didefinisikan oleh Majelis Umum PBB itu sendiri.

Baca Juga: Catatan Pilkada 2024, Masih Marak Politik Uang

Hak tersebut yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan eksternal, hak atas kemerdekaan dan kedaulatan nasional, dan hak untuk kembali ke rumah dan harta benda mereka.

Menyambut Hari Solidaritas Palestina ke-47 tahun ini,  Sekretaris Jenderal PBB mengakui bahwa peringatan tahun ini sangat menyakitkan karena tujuan-tujuan mendasar rakyat Palestina masih sangat jauh dari harapan.

Lebih dari setahun sejak 7 Oktober 2023, Gaza telah hancur, lebih dari 43.000 warga Palestina – kebanyakan wanita dan anak-anak – tewas, dan krisis kemanusiaan semakin memburuk dari hari ke hari.

“Ini mengerikan dan tidak dapat dimaafkan,” rilis Sekjen PBB menyebutkan, Rabu (28/11/2024).

Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda

Sementara itu, di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, operasi militer Israel, perluasan permukiman, penggusuran, pembongkaran, kekerasan pemukim, dan ancaman aneksasi menimbulkan penderitaan dan ketidakadilan lebih lanjut.

Sudah saatnya gencatan senjata segera dan pembebasan tanpa syarat semua sandera, diakhirinya pendudukan yang tidak sah di Wilayah Palestina, sebagaimana dikonfirmasi oleh Mahkamah Internasional dan Majelis Umum.

Mengomentari diksi Solidaritas, Syaikh Prof. Dr. Abd Al-Fattah El-Awaisi mengatakan, kalau dalam bahasa Arab solidaritas disebut dengan “Tadhamun” yang lebih bermakna secara umum sebagai kesetiakawanan atau kekompakan kemanusiaan.

Dalam terminologi perjuangan Islam, Prof El-Awaisi lebih memilih kata “Tanasharu”, atau Supporting, lebih ke tindakan nyata memberikan bantuan atau pertolongan dengan segala cara, termasuk bantuan fisik, peralatan dan militer.

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-13] Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri

Dia menyampaikan landasan ayat, “jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” Mengutip Surat Al-Anfal ayat 72.

Gerakan Literasi Al-Aqsa dan Palestina

Berlatar belakang Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina (the International Day of Solidarity with the Palestinian People) Organisasj Kemanusiaan Aqsa Working Group (AWG) menggelar Bulan Solidaritas Palestina (BSP) 2024 dengan tema “Urgensi Literasi dan Edukasi Untuk Pembebasan Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa.”

Ketua Presidium AWG, Nur Ikhwan Abadi mengatakan pada Pembukaan BSP di Aula Al-Hamra Institut Tazkia, Sentul, Bogor pada Senin 4 November 2024, “Tema BSP tahun ini yaitu tentang literasi dan edukasi. Ini tema sangat mendasar yang seharusnya disadari oleh umat Islam. Mengapa setelah setahun lebih genosida, rakyat Palestina dibantai oleh Zionis, terhitung sejak 7 Oktober 2023, umat Islam seolah tidak punya daya dan upaya untuk membantu rakyat Palestina.”

“Kalau kita bicara bantuan kemanusiaan, bantuan makanan, bantuan yang lainnya mungkin sudah banyak yang melakukan itu semua. Tapi selama setahun ini, tidak ada yang bisa menghentikan serangan terhadap Gaza. Sehingga kita berpikir, ini pasti ada masalah mendasar di tubuh umat Islam. Melihat secara langsung saudara-saudara dibantai di depan mata tapi tidak bisa menghentikan pembantaian tersebut,” tambahnya.

Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam

Menurutnya, ketidakmampuan umat Islam ini disebabkan oleh kurangnya literasi pengetahuan tentang Baitul Maqdis, Masjidil Aqsa dan Palestina.

“Setelah kita analisis, pengetahuan umat Islam tentang Palestina, rasa memiliki umat Islam terhadap Masjid Al-Aqsa, Baitul Maqdis, terhadap saudara-saudara kita di Gaza itu memang tidak sampai masuk ke dalam hati. Sehingga pembelaan yang dilakukan hanya sebatas bantuan kemanusiaan, demonstrasi, dan sebagainya. Memang diperlukan pengetahuan yang mendalam agar umat Islam bukan hanya memberikan bantuan kemanusiaan tapi mampu melakukan perlawanan dan juga menghentikan pembantaian di Tanah Palestina,” ujarnya.

Karena itu, Site Manager Pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara itu menyampaikan, tema yang diusung dalam BSP 2024 diharapkan mampu mengingatkan umat Islam bahwa pembelaan terhadap Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsa adalah perintah akidah.

“Tema ini untuk mengingatkan kaum Muslimin, bahwa kewajiban kita terhadap Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsa itu adalah kewajiban akidah, bukan sebatas kemanusiaan. Kita berharap, umat Islam bisa menyadari, menghayati, bahwa perjuangan di Palestina bersifat akidah. Tagline tahun ini adalah Liberation of Mind before Liberation of Land,” ujar Nur Ikhwan.

Baca Juga: Saat Dua Syaikh Palestina Ziarah ke Makam Imaam Muhyiddin Hamidy

Tentang pentingnya literasi keilmuan tentang Baitul Maqdis dan yang terkait dengannya, guru besar Baitul Maqdis, Prof. Dr. Abd Al Fattah Al-Awaisi menekankan bahwa kecintaan dan perjuangan pembebasan yang dilakukan umat Islam terhadap Masjidil Aqsa, Baitul Maqdis dan Palestina, harus didasari keilmuan yang kuat bukan hanya sekedar belas kasihan.

“Semua warga Indonesia cinta terhadap Masjidil Aqsa, pertanyaannya apakah sudah didasari dengan ilmu?” tanyanya. Demikian ia sampaikan pada Daurah Akbar Internasional Baitul Maqdis di Masjid An-Nubuwwah Komplek Pondok Pesantren Al-Fatah Al-Muhajirun, Negararatu, Natar, Lampung Selatan, Jumat (22/11/2024).

Syaikh Prof El-Awaisi kemudian bertanya kepada peserta daurah, “Berapa banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mempelajari tentang Baitul Maqdis? Dari ribuan madrasah di Indonesia, berapa banyak yang mempelajari tentang Masjidil Aqsa?,” tanya Guru Besar yang mengajar ilmu Baitul Maqdis di Turkiye, Inggris, Malaysia dan kini termasuk Indonesia.

Karenanya, dia mengajak umat Islam untuk membuktikan cintanya terhadap Masjidil Aqsa dengan memulai mempelajari dan mengajarkan tentang Masjidil Aqsa walaupun satu ayat atau satu hadits.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-12] Tinggalkan yang Tidak Bermanfaat

“Ayo kita mulai dari madrasah-madrasah walaupun hanya satu ayat atau satu hadits harus sampaikan. Para guru silakan ajarkan tentang Masjidil Aqsa di sekolah-sekolah,“ katanya.

“Kenapa Al-Aqsa masih terjajah? karena pikiran kita umat Islam masih terjajah. Penyebab sakitnya Muslimin karena malasnya belajar, sakit pikirannya atau intelektualnya. Karena itu, bebaskan pikirannya dulu sebelum membebaskan negeri penuh berkah. Liberation of mind before liberation of mind”.

Berkaitan dengan pentingnya literasi ilmu tersebut, Imaam Yakhsyallah Mansur menekankan pentingnya ilmu sebagai senjata utama dalam upaya membebaskan Masjidil Aqsa dan Palestina.

“Siapapun yang ingin memiliki arah yang benar untuk membebaskan Masjidil Aqsa, maka tidak lain kecuali harus punya ilmu, karena ilmu merupakan senjata yang paling kuat,” tegasnya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!

Imaam Yakhsyallah menjelaskan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ketika diperintahkan untuk berjihad memerangi orang kafir, yang pertama diperintahkan oleh Allah adalah memerangi mereka dengan Al-Quran, tidak dengan senjata.

“Jihad dengan Al-Quran, tidak dengan senjata adalah jihad yang besar, oleh karenanya Ibnu Jarrir menafsirkan bahwa jihad dengan Al-Quran adalah jihad yang besar, maka kegiatan keilmuan seperti Dauroh Baitul Maqdis yang memang berdasarkan Al-Quran, juga disebut Dauroh yang besar,” jelasnya.

“Kenapa disebut jihad besar? karena dengan Al-Qur’an ini diharapkan mereka (orang kafir) tunduk dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan mereka mengikuti ajaran Al-Qur’an dengan mengamalkan segala isinya,” lanjut Imaam Yakhsyallah.

Maka lanjutnya, “Belajarlah, sebelum ilmu dicabut oleh Allah, sebelum para ulama dimatikan oleh Allah, sungguh orang-orang yang syahid di jalan Allah mereka lebih senang dibangitkan nantinya sebagai ulama.”

Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”

“Para syuhada itu lebih senang nanti dibangkitkan sebagai seorang ulama, karena melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama, itu kata Abdullah bin Mas’ud,” jelasnya.

Ia menuturkan, siapa yang melalui suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memberikan mata air yang tidak akan kering, kering dari hikmah, kebaikan dan juga cahaya, karena orang-orang yang mencari ilmu akan dekat dengan Allah.

Semoga peringatan Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina (the International Day of Solidarity with the Palestinian People), bukan sekedar peringatan. Namun penyadaran, betapa rasa cinta, kasihan dan empati terhadap kondisi Masjidil Aqsa, Baitul Maqdis dan saudara-saudara kita di Palestina, harus diperkuat dengan ilmu pengetahuan yang memadai. Al-Aqsa Haqquna !!!

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda