Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Tanggal 5 Juni 2023 menandai 56 tahun Hari Naksah (Yaum an-Naksah / Naksa Day) yang berarti “hari kemunduran” bagi bangsa Palestina. Ini mengacu pada kekalahan kekalahan tentara gabungan Arab menghadapi pasukan pendudukan Israel.
Memperingati Hari Naksah 2023, Muhammad al-Madhoun, Kepala Departemen Pengungsi dan Komite Populer, Gerakan Perlawanan Islam Hamas, mengatakan, “Kemunduran dan perampasan dari apa yang tersisa dari Palestina adalah proyek pemukiman Barat, yang ujung tombaknya adalah proyek Zionis, yang bertujuan melindungi kepentingan Barat”.
“Kami tetap yakin, wilayah Arab Palestina memiliki unsur-unsur warisan dalam sejarah, geografi, bahasa dan agama. Kebangkitan dan kesatuan perlawanan kami akan menjadi ancaman strategis bagi pendudukan,” ujarnya, seperti disiarkan Quds Press, Ahad, 4 Juni 2023.
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir
Al-Madhoun menambahkan unsur kemunduran karena rakyat Palestina berpindah dari satu malapetaka ke malapetaka lainnya.
Dia menunjukkan ketidaktahuan akan keyakinan, literasi intelektual, dan politik selama ini, mengakibatkan kelemahan terhadap kekuasaan asing. Malah berjalan bersama musuh (normalisasi) dalam melawan saudara sendiri, “Ini sebuah kemunduran yang harus dihapus”.
Kelengahan Hari Naksah
Naksa Day dianggap lebih tragis setelah Nakba Day (Yaum An-Nakbah), tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah pengumuman sepihak Negara Israel, 14 Mei 1948.
Baca Juga: Hamas: Rakyat Palestina Tak Akan Kibarkan Bendera Putih
Selama Perang Enam hari, mulai 5 hingga 10 Juni 1967 itu, sebenarnya negara-negara Arab bersatu hendak mempertahankan bumi Palestina. Negara-negara itu terdiri dari Mesir, Suriah, Yordania dan Irak, dengan bantuan teknis dari Lebanon, Aljazair, Arab Saudi, Kuwait, dan tentu tuan rumah Palestina.
Saat itu Mesir bertanggung jawab atas Jalur Gaza. Sementara Yordania bertanggung jawab atas Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.
Isu Palestina mewakili elemen penting dalam konflik Arab-Israel kala itu, yang diwujudkan dalam perang ini, untuk menjaga wilayah Palestina yang tidak diduduki oleh Israel pada tahun 1948.
Luas tanah yang diduduki Israel di Palestina pada tahun 1948 berjumlah sekitar 77%, atau sekitar 20.000 km², dari total luasnya 27.000 km².
Baca Juga: Israel Makin Terisolasi di Tengah Penurunan Jumlah Penerbangan
Pada saat bersamaan, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didirikan tahun 1964, beroperasi dari kamp-kamp pengungsi di negara-negara diaspora, terutama di Suriah, Lebanon, dan Yordania, dan memimpin operasi komando melawan pendudukan Israel.
Adapun penyebab kemunduran atau kekalahan, menurut Departemen Diplomasi dan Kebijakan Publik Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), seperti disebutkan media online Arab48, edisi Ahad, 5 Juni 2022, kekalahan Arab dalam perang disebabkan oleh beberapa alasan.
Di antaranya yang paling menonjol adalah: keunggulan militer pasukan pendudukan Israel, terutama di angkatan udara, yang disokong Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, baik dukungan militer maupun ekonomi.
Alasan lainnya, lobi-lobi politik internasional yang dilakukan Zionis Internasional. Saat itu Eropa melalui pemerintah Prancis meminta Israel dan negara-negara Arab, Mesir, Suriah, dan Yordania, untuk tidak mengobarkan perang dan agar menghentikan persiapan militer.
Baca Juga: Palestina Tolak Rencana Israel Bangun Zona Penyangga di Gaza Utara
Sebelum Perang Enam Hari, situasi Palestina dan sekitarnya memang sedang genting dan mulai ada tindakan militer di beberapa tempat.
Negara-negara Arab rupanya mematuhi himbauan tersebut, demi terciptanya perdamaian kawasan. Namun, pimpinan militer pendudukan Israel, dengan dukungan Amerika Serikat, memanfaatkan kelengahan negara-negara Arab tersebut untuk melakukan agresi mendadak pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967.
Israel menerapkan agresinya dengan meluncurkan serangan udara besar-besaran dan tiba-tiba, di bandara militer Mesir, Suriah, dan Yordania. Ini memungkinkan penerbangan militer Israel untuk memberikan kontrol udara di medan perang selama perang.
Aksi sepihak ini membuat pasukan negara-negara Arab kehilangan keseimbangan dan menyebabkan kerugian besar di jajaran tentara mereka.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Akibat tragisnya, antara 15.000 sampai 25.000 orang Arab tewas dalam perang itu, dengan sekitar 45 ribu terluka. Sementara hanya sekitar 650 hingga 800 orang Israel tewas, dan 2.000 terluka. Demikian data Anadolu Agency menyebutkan.
Akibat lain dari perang itu, menurut statistik Palestina, mengakibatkan perpindahan sekitar 300.000 orang Palestina dari Tepi Barat dan Gaza ke pengungsian Yordania.
Usai perang enam hari itulah, pendudukan Israel semakin memperluas jarahannya, dengan menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai (Mesir) dan Dataran Tinggi Golan (Suriah).
Setelah pendudukan Israel menjarah daerah yang didudukinya sejak 1967 itu, mereka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi wilayah pendudukan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Selain itu, daerah-daerah yang diduduki oleh pendudukan Israel juga memberi keuntungan strategis yang penting di tingkat pertahanan. Ini karena dapat membentuk penghalang alami untuk melindungi kedalaman keamanannya dari serangan Arab atau Palestina.
Perlawanan Terus Membara
Peristiwa Hari Naksah (5 Juni), seperti juga Hari Nakbah (15 Mei), setiap tahun akan selalu diingat dan diperingati generasi Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, pengungsian dan diaspora, serta para aktivis kemanusiaan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Amerika Latin.
Aksi perlawanan bersenjata, kini mulai marak di berbagai kota dan desa di Tepi Barat. Dari Jalur Gaza, roket-roket terkini, terus siaga siap menyala menerobos Iron Dome ke pemukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan Palestina.
Baca Juga: Hamas Kutuk AS yang Memveto Gencatan Senjata di Gaza
Para penjaga Masjid Al-Aqsa, baik dari kalangan pria (Murabithun) maupun perempuan (Murabithat) selalu on time siaga setiap waktu menghadang para pemukim Yahudi ekstremis yang seringkali menyerbu kompleks Al-Aqsa dalam kawalan pasukan pendudukan.
Aksi-aksi solidaritas terus merebak di berbagai belahan dunia, yang menunjukkan Tahun Solidaritas Palestina tahun 2023, seperti digerakkan oleh Lembaga Kemanusiaan Aqsa working group (AWG), berbasis di Indonesia. Ini kelanjutan dari Bulan Solidaritas Palestina tahun 2022, Pekan Solidaritas Palestina 2021, dan Hari Solidaritas Palestina 2020.
Gerakan ini akan terus menyebar hingga ke negara-negara kawasan Asia Tenggara, Asia, hingga Eropa dan dunia secara lebih luas pada masa-masa mendatang.
Pendudukan Israel hakikatnya semakin terjepit dan terisolasi di pentas dunia. Ini akibat pendudukan Israel sendiri yang tidak menerima logika perdamaian, menolak resolusi-resolusi PBB, menentang piagamnya, dan melanggar prinsip-prinsipnya.
Baca Juga: Ikut Perang ke Lebanon, Seorang Peneliti Israel Tewas
Dalam kancah politik dalam negeri Palestina sendiri, dengan semakin kuatnya rekonsiliasi yang harus terus kita mantapkan, faksi-faksi dan lembaga-lembaga resmi Palestina mendesak komunitas internasional untuk “meminta pertanggungjawaban pendudukan Israel atas pelanggarannya terhadap warga Palestina dan bekerja untuk mengakhirinya.”
Ini pernyataan terkini oleh Wasel Abu Yousef, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), seperti dirilis Anadolu Agency, Senin, 5 Juni 2023.
Pada peringatan 56 tahun Hari Naksah, Abu Youssef mengatakan, “Rakyat Palestina telah hidup sejak kemunduran tahun 1967 dalam pertempuran terus-menerus dengan pendudukan, pada saat masalah tersebut mengalami perubahan yang sulit, tetapi tetap hidup dan berjuang.”
“Orang-orang masih terus berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan, berpegang teguh pada hak untuk kembali bagi para pengungsi yang diusir pada tahun 1948, dan hak untuk mandiri menentukan negara Palestina dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya,” ujarnya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Dalam kaitan ini, Perdana Menteri Palestina Muhammad Shtayyeh mengatakan pada awal sesi mingguan Dewan Menteri Palestina di Ramallah, “Peringatan kemunduran telah berlalu, dan Israel masih mempraktikkan terorisme negara terorganisir, dan terus melakukan kejahatannya melawan orang-orang kami.”
Untuk itu, kita yang berada di luar Palestina, terutama yang di Indonesia, marilah terus melakukan aksi-aksi nyata memperjuangkan pembebasan Masjid Al-Aqsa dan kemerdekaan Palestina. Mulai dari aksi orasi, longmarch, baca puisi, gowes sepeda, pengibaran bendera Palestina dan Indonesia, mengenakan syal Palestina, dan membentangkan poster-poster solidaritas Palestina.
Termasuk gerakan literasi penerbitan buku dan seminar, sosialisasi melalui training-training (daurah), aksi penggalangan dana yang kangsung dikirimkan ke Palestina, hingga perlawanan melalui perang media massa, sebagai bentuk perang abad informasi dan digital.
Itu semua sudah cukup menjadi tanda-tanda kemajuan perjuangan pembebasan Al-Aqsa dan kemerdekaan Palestina, dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allahu Akbar! Al-Aqsa Haqquna !!! (A/RS2/P1)
Baca Juga: Palestina Hadapi Musim Dingin, Lazismu Kirimkan Pakaian Hangat
Mi’raj News Agency (MINA)