Catatan 567 Tahun Pembebasan Konstantinopel

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

 

Sebuah replika tembok Contantinople era Bizantium yang terkenal didirikan di luar bangunan bersejarah Hagia Sophia pada hari Kamis (28/5/2020). Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun mengumumkan bahwa doa bersama akan dilantunkan untuk menandai peringatan 567 pembebasan .

Doa diadakan di lokasi tersebut pada Jumat, 29 Mei 2020, tepat 567 tahun saat pertama kali Konstantinopel dibebaskan oleh Panglima Mehmed II atau dikenal dengan Sultan Muhammad Al-Fatih, pada 29 Mei 1453.

“Saya akan ambil bagian dalam acara meriah di ini untuk memperingati ulang tahun pembebasan Konstantinopel,” kata Erdogan dalam pidato yang disiarkan televisi pada Kamis malam. Seperti dilaporkan Greek Euro Reporter.

Pada malam harinya, Surat Al-Fatihah dibaca, dan doa diadakan di Hagia Sophia.

Di sini Erdogan sedang mengingatkan kembali makna sejarah kejayaan Islam. Ketika pasukan Turki Utsmaniyah () menaklukkan Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur. Konstantinus XI selaku raja pun terbunuh, dan lahirlah cikal-bakal Istanbul. Sebuah simbol kemenangan umat Islam sesuai namanya “Islambul” yang memiliki arti “Negeri Islam”. Islambul yang kemudian disebut dengan Kota Istanbul.

Jatuhnya Konstantinopel menandai akhir Perang Salib yang panjang, sejak 1096.

Hagia Sophia

Rencana Erdogan membuat acara pembacaan Al-Quran dan doa di Hagia Sophia telah membuat Athena protes bahwa situs Warisan Dunia UNESCO itu saat ini berfungsi sebagai museum, bukan masjid.

Dibangun pada abad ke-6, Hagia Sophia yang berarti Kebijaksanaan Suci dalam bahasa Yunani, adalah Gereja Ortodoks Yunani selama hampir seribu tahun.

Itu tetap demikian sampai diubah menjadi masjid setelah pembebasan Konstantinopel pada tahun 1453.

Kemudian, pendiri Turki sekuler mengubah masjid menjadi museum pada tahun 1935, dan menarik jutaan wisatawan setiap tahun.

Sebuah mahakarya arsitektur Bizantium, bangunan ini memiliki kubah besar yang disangga oleh pilar-pilar besar. Semuanya dilapisi dengan marmer dan dihiasi dengan mosaik.

Sebuah tanggapan pada VoA News edisi 29 Mei 2020 menanggapi langkah Erdogan di tengah gagapnya perekonomian Turki, tentang Hagia Sophia bertujuan untuk menggalang basis pemilihnya, memenuhi permintaan lama oleh kelompok Islam di negaranya yang bertekad mengubah status situs sejarah yang ditetapkan UNESCO untuk kembali menjadi masjid.

“Ini adalah tindakan putus asa dan tidak akan menghasilkan apa-apa,” kata Elmira Bayrasli, Direktur Program Globalisasi dan Urusan Internasional di Bard College.

Pengumuman Erdogan datang saat hubungan antara Yunani dan Turki sedang memburuk. Sementara keduanya adalah sama-sama anggota  NATO.

Yunani telah secara agresif meningkatkan keamanan perbatasannya sejak Ankara membuat kebijakan apa yang para pejabat Yunani sebut sebagai “ofensif migran.” Sebuah kebijakan yang memungkinkan lebih dari 150.000 pengungsi bepergian dengan bebas ke Eropa.

Tatanan Dunia Baru 

Terlepas dari perbedaan sudut pandang Hagia Sophia, bagaimanapun pembebasan Konstantinopel, atau kemudian menjadi Istanbul. Bani Turki Utsmaniyah (Dinasti Ottoman) membangun tatanan dunia baru, menggantikan satu kerajaan abad pertengahan yang paling penting untuk mewarisi posisi dan peran mereka.

Tentu banyak perbedaan dalam asal, budaya dan agama, yang memiliki dampak besar pada pembentukan kembali aspek politik, budaya dan sosial bagian timur Eropa.

Arnold J. Toynbee (1889-1975), sejarawan Inggris terkemuka, yang menulis buku A Study of History,  mengatakan tahun 1453 M menjadi simbolisme Utsmani sebagai akhir dari kebijakan penyatuan struktur utama Kristen Ortodoks Timur.

Kedaulatan yang menjangkau luasnya wilayah pada waktu itu, termasuk penduduk Yunani, Georgia, Bulgaria, Bulgaria dan Serbia.

Al-Fatih mampu menjadikan kota dalam waktu singkat sebagai pusat perdagangan, ilmu pengetahuan dan seni di sepanjang garis ibukota negeri-negeri Islam. Ia berkontribusi untuk membangun peradaban manusia dari kawasan Baghdad, Kairo hingga Cordoba.

“Sebuah wilayah nyaman untuk semua suku, ras, sekte dan kebangsaan dari semua bagian bumi, yang mewakili masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis Toynbee. Seperti dikutip Dr. Ahmed Salem Salem dalam artikelnya Fi Dzikri Fath al-Qosthanthiniyyah (Mengenang Pembebasan Konstantinopel) pada media Al-Quds al-Araby edisi 30 Mei 2018.

Toynbee menambahkan, saat itu masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai pada masa setelah orang-orang dilecehkan dan dibunuh karena kepercayaan mereka yang berbeda.

telah berkontribusi sebagai ibukota negara dunia baru dan negeri-negeri Islam yang menjadi salah satu kekuatan terbesar. Wilayahnya pun membentang melintasi benua dunia, dengan mencapai Eropa untuk pertama kalinya.

Prof. Bernard Lewis (1916-2018) sejarawan Yahudi Inggris-AS yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Guru Besar Kehormatan bidang Timur Tengah di Universitas Prineton, New Jersey, AS, mengatakan, Sultan Al-Fatih telah meletakkan pondasi persatuan dua benua pada masanya.

“Potongan terakhir Kekaisaran Bizantium jatuh ke posisi yang seharusnya, dan Sultan meletakkan pada persatuan dua benua. Sultan telah berkontribusi pada pencairan mereka dalam satu wadah,” ujar Lewis, yang dikenal sebagai sejarawan Kesultanan Utsmaniyah.

Ia selanjutnya menambahkan, tidak sedikit dari para sejarawan menganggap sejarah pembebasan ini sebagai akhir dari abad pertengahan dan awal zaman modern. Pengaruhnya yang melintasi cakrawala dan fondasi era baru, menjadikan Konstantinopel sebagai tatanan ideal untuk kota-kota abad pertengahan.

Al-Fatih dan Nubuwwah

Jika merunut pada tanda kenabian (nubuwwah) yang pernah disampaikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sesungguhnya pembebasan Konstantinopel itu pernah disampaikan Nabi.

Nabi pernah menyatakan, yang artinya, “Sesungguhnya akan dibuka Kota Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin saat itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang saat itu.” (HR Ahmad).

Maka, sejak saat itu pula dari generasi ke generasi banyak yang kemudian menjadikan sabda Rasulullah sebagai salah satu impian terbesar mereka untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah.

Hingga akhirnya terlaksana oleh Mehmed bin Murad atau dikenal dengan sebutan Al-Fatih (Sang Pembuka atau Pembebas) dari Dinasti Utsmaniyah.

Al-Fatih dikenal dengan didikan yang tegas membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, berintelektual tinggi, dan pemberani. Beberapa pencapaian luar biasanya sewaktu masih kecil yaitu kemampuannya dalam berbicara multibahasa seperti Bahasa Yunani, Latin, Persia, dan Bahasa Arab.

Tidak hanya itu, ia juga telah mampu menghafal Al-Quran yang berisikan 30 juz secara fasih dan lancar, sejak anak-anak.

Ia juga mendapatkan berbagai ajaran keislaman melalui para ulama terkemuka pda masanya.

Di sini tentu bukan hendak mengungkapkan strategi perangnya yang sangat terkenal itu. Perlu bab tersendiri.

Hanya ingin menekankan seperti disampaikan Presiden Turki Erdogan pada peringatan Pembebasan Kostantinopel. Konstantinopel memiliki sejarah panjang dan cahaya kecemerlangan peradaban Islam yang membawa nilai-nilai kedamaian, keamanan dan persaudaraan antar berbagai komponen. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.