Catatan bagi Pengungsi Rohingya di Aceh

(Foto: Istimewa)

Oleh: Azwir Nazar, Pendiri Cahaya

Saya menghadiri undangan diskusi dengan seorang pejabat dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/IOM) di Banda Aceh, pada Jumat, 27 Januari 2023, yang membahas isu-isu internasional dan pengungsi .

Sejak Januari 2020, lebih dari 791 pengungsi Rohingya telah diselamatkan di lepas pantai Aceh.

IOM Indonesia saat ini membantu lebih dari 7.000 pengungsi di Indonesia dengan perawatan dan bantuan yang komprehensif, termasuk akomodasi, perawatan kesehatan, dukungan kesehatan mental dan psikososial, pendidikan, dan kebutuhan dasar.

IOM telah berkoordinasi Satgas PPLN Nasional dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dalam hal pendaratan yang aman dan akan terus bekerja dengan mitra-mitra terkait untuk memastikan tersedianya layanan kesehatan (termasuk pengujian terhadap COVID-19), tempat tinggal sementara yang memadai, air dan sanitasi, pelindungan dan dukungan kesehatan mental dan psikososial terpenuhi dalam beberapa hari mendatang.

IOM juga bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mencegah dan melawan perdagangan orang, memperkuat pelindungan bagi pekerja migran, meningkatkan pengurangan risiko bencana dan tanggap bencana, serta mendukung sistem manajemen perbatasan terpadu dengan fokus khusus memerangi pandemi COVID-19 saat ini.

Menurut saya ada beberapa hal menjadi catatan dan saya sampaikan dalam diskusi dengan pejabat IOM tersebut.

Sejauh ini rakyat Aceh terutama masyarakat nelayan masih sangat bersimpati dengan apa yang dialami dengan saudara kita Rohingya atas dasar kemanusiaan. Bukan yang lain.

Ada tradisi yang kokoh di masyarakat nelayan Aceh dari masa Kerajaan Samudara Pasai untuk menolong siapapun yang butuh pertolongan di laut, terutama menyangkut keselamatan nyawa manusia. Hal tersebut menjadi prinsip dan diatur dalam aturan Lembaga Hukum/Adat Laut sejak turun temurun.

Kebiasaan di Aceh sebagai masyarakat muslim untuk menyambut tamu minimal selama tiga hari, menjamu dan membantu mereka. Apalagi orang yang teraniaya dan mendapat musibah, dan ini sudah sampai di tanah/rumoh Aceh, maka menjadi kewajiban membantu semampu kita. Hal tesebut ditunjukkan oleh masyarakat di berbagai wilayah dengan memberi makanan, minuman, pakaian. Bahkan beberapa Komunitas menggalang bantuan dan berniat membantu menyekolahkan anak anak tersebut. Mulia sekali.

Namun masyarakat Aceh juga mengalami persoalan ekonomi yang sangat berdampak pada keseharian mereka. Seperti harga-harga yang naik, cuaca melaut yang kadang buruk. Maka ketergantungan masyarakat nelayan pada mencari nafkah di laut ini sangat berimbas pada hasil tangkapan, dan lain-lain, utamanya pasca pandemi yang belum kunjung pulih. Artinya tak selamanya dapat membantu pengungsi Rohingya ini.

Oleh karena itu, penanganan pengungsi Rohingya sebaiknya juga melibatkan tokoh masyarakat, seperti Panglima Laot, Imam Mukim dan para pemangku kebijakan lain dengan kearifan lokal yang ada di Aceh, sehingga ada langkah solutif mulai dari level masyarakat hingga pengambil kebijakan. Sehingga tidak menjadi beban dan masalah baru di Aceh.

Sepertinya kalau melihat data yang ada, tahun 2022 ada sekitar enam perahu Rohingya yang sampai di Aceh, ditambah Januari 2023 ini lagi. Maka kita tak dapat menghindari terdamparnya pengungsi Rohingya ke Aceh, selain karena mereka harus lari dari pengungsian yang keadaannya sangat buruk, ada kasus genosida, perdagangan manusia, dan lain-lain, juga karena letak Aceh yang strategis di Selat Malaka sebagai perlintasan internasional.

Maka dari itu, beberapa dapat dilakukan oleh IOM, ENCHO, dan lembaga internasional lainnya.

Bagi nelayan yang melihat mereka di laut perlu diberi edukasi, apa yang seharusnya mereka lakukan. Bagaimana mekanisme koordinasinya, dengan siapa, dan seterusnya. Sehingga nelayan kita yang ingin menolong ini tidak mengalami dilema. Satu sisi panggilan nurani untuk membantu, sisi lain takut dianggap melanggar hukum, oleh karena ada muncul isu soal perdagangan manusia, migran ilegal, dan lai-lain.  Hal ini perlu ada penjelasan dari pihak terkait dan edukasi bagi masyarakat nelayan sebagai garis depan yang berhadapan pertama sekali dengan para pengungsi tersebut.

Kemudian bila sudah sampai di darat (mendarat), apa dan bagaimana sikap masyarakat yang ingin menolong. Ada tidak SOP Internasional? Masyarakat nelayan karena hatinya bersih dan baik sangat antusias dan spontan menolong dengan naik dalam perahu, berupaya menyelamatkan pengungsi terutama anak-anak dan wanita. Ini seperti Apa seharusnya? Protokol kesehatannya seperti Apa? Sehingga tak terjadi arogansi atau kesalahpahaman di lapangan.

Saat mereka sudah sampai di kamp pengungsian sementara, perlu juga diperhatikan integrasi mereka di masyarakat. Saya melihat orang Aceh dengan Rohingya itu mirip sekali. Jadi seperti melihat diri kita sendiri secara wajahnya mirip persis. Maka Apa yang dialami oleh mereka juga kentara dirasakan oleh masyarakat kita sebagai pelaut. Perlu juga diperhatikan hal ini sehingga tak timbul timbul kecemburuan sosial di kalangan masyarakat.

Selanjutnya perlu ada kamp pengungsian secara permanen untuk mereka ini dan perlu ada penanganan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan pemerintah. Ada kebijakan yang jelas, langkah yang terstruktur dan terkoordinasi.

Pada level pusat perlu di dorong pertemuan tingkat tinggi ‘emergency meeting’ di level regional dengan melibatkan juga negara tetangga seperti Malaysia, Myanmar dan Thailand dalam hal penanggulangan pengungsi Rohingya di kawasan.

Terdapat beberapa kasus, katanya pengungsi ada yang lari, bandel, atau mau kabur ke negara lain, tapi tidak banyak dan sudah ditangani oleh pihak berwajib. Ini juga harus menjadi perhatian, sehingga Aceh ini bukan wilayah transit untuk melakukan kejahatan.

Begitu beberapa hal yang kami sampaikan sebagai pandangan, semoga menambah catatan terutama yang konsen mengenai pengungsi Rohingya tersebut.(AK/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)