Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Catatan dari Gaza: Diari Tarneem Hammad (Bagian 4)

Rudi Hendrik - Senin, 22 April 2024 - 09:03 WIB

Senin, 22 April 2024 - 09:03 WIB

9 Views

Tarneem Hammad, Instruktur Bahasa Inggris di Gaza, Palestina; penulis di We Are Not Numbers. (Foto: Palestine Deep Dive)

Oleh: Tarneem Hammad, Instruktur Bahasa Inggris di Gaza, penulis  di We Are Not Numbers

Akankah Gaza hilang?

Ini belum selesai. Saya berjuang untuk tetap hidup sampai hari berikutnya, setiap hari.

Memang menyakitkan untuk berbagi emosi, tetapi membuat catatan harian (diari) memudahkan saya menulis serta memproses pengalaman dan perasaan ini, termasuk rasa takut yang menjalar dalam diri saya.

Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina

Pertanyaannya adalah: bagaimana kami bisa hidup normal kembali?

Dalam enam bulan terakhir, kita telah mengalami jumlah tertinggi anak yang diamputasi, krisis kelaparan yang berkembang paling cepat, khususnya di kalangan anak-anak, dan penargetan serta pembunuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pekerja bantuan dan jurnalis, serta keluarga mereka.

Pasukan Israel secara sistematis meledakkan setiap universitas dan rumah sakit di Gaza, lebih dari 200 sekolah, dan membual tentang pembunuhan massal dan kelaparan terhadap anak-anak.

Mereka telah melakukan pelecehan seksual dan mengejek perempuan Palestina serta membagikan kejahatan perang mereka di TikTok, yang semuanya bersifat tidak proporsional, tidak pandang bulu, dan bersifat genosida.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Sepanjang hari, setiap hari, selama enam bulan terakhir, saya tersesat dalam berita yang acak-acakan. Di setiap wilayah di Gaza yang diserbu militer Israel, terjadi rollercoaster emosional yang sama: rasa muak terhadap kengerian dan kehancuran yang ditinggalkan tentara.

Saya terus-menerus merasa lelah dengan betapa banyaknya pembunuhan yang tidak masuk akal ini diterima.

Bagaimana kabar semua orang? Saya bangun dengan lelah, dan saya tidur dengan lelah. Apakah Gaza akan hilang selamanya? Kita mungkin tidak akan pernah pulih dari dampak emosional perang ini.

Saya dan saudara perempuan saya duduk berdampingan, dengan hati berat dan mata lelah, merenungkan dampak perang berkepanjangan di Gaza, merasa lelah dan putus asa.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

“Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya merasa benar-benar damai.” Kakak perempuanku mengakui, suaranya sarat kelelahan.

“Saya juga tidak bisa,” gumamku, mengenang masa-masa sederhana dan pelarian penuh kebahagiaan yang biasa saya dapatkan dalam tidur.

Setiap kali saya mempunyai masalah atau kekacauan dalam hidup saya, saya akan tidur nyenyak dan berjam-jam lamanya, lalu kemudian bangun dengan perasaan segar untuk menyelesaikan masalah tersebut dan melanjutkan hidup saya.

Saya belum bisa tidur dengan tenang atau nyenyak selama enam bulan terakhir. Kalau bukan karena suara bom dan drone yang tak henti-hentinya, maka itu adalah kegelisahan dan pemikiran berlebihan saya mengenai perang.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Kakak perempuan saya menceritakan bagaimana dia biasa menemukan kenyamanan dalam hangatnya pemandian air panas, menjadi segar dan tangguh setelah satu jam berendam dengan tenang. Namun kini, tempat perlindungan ini telah terkikis oleh kekejaman perang yang tak terbayangkan dan terjadi kelangkaan air.

Kami kemudian tertawa karena dua kenyamanan sederhana ini dirampok. Kami berdua lelah, badan kami letih, tetapi hati kami masih dipenuhi harapan dan tekad.

Saya duduk terjaga di larut malam, gelisah, menulis kata-kata ini di kegelapan malam dengan soundtrack mesin, drone, dan ledakan. Hiruk-pikuk agresi yang kejam.

Saya terus mengingatkan diri sendiri bahwa ini belum berakhir. Saya tidak tahu apakah saya akan hidup cukup lama untuk membaca kata-kata ini lagi dan merenungkannya, tetapi saya terus menulis apa yang saya rasakan. Saya masih memiliki keyakinan. Saya masih punya harapan.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Saya harap kami bisa selamat dari ini. Saya berharap dunia yang indah, damai, dan bahagia yang pernah saya alami akan kembali setelah kami bisa pulih. Saya ingin mendengarkan musik lagi, tertawa, mencintai, tidak memikirkan kengerian dan kekacauan yang kita alami saat ini.

Akankah kita bisa bertahan atau pulih sepenuhnya? (Tamat)

 

Sumber: Middle East Eye (MEE)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda