Oleh Arina Islami, News Anchor Radio Silaturahim 729 Bekasi
Baru saja kita memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 2024 yang jatuh pada 3 Mei, sesuai ketetapan UNESCO sejak 1993 silam. Dicanangkannya peringatan ini guna menghormati komitmen kebebasan jurnalis dalam mengabarkan sebuah berita serta mematuhi prinsip hak asasi manusia; salah satunya ialah kebebasan berekspresi.
Namun, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia ke 31 ini menyimpan catatan kelam. Jurnalis di Gaza bukan hanya kehilangan kebebasan, tapi bahkan kehilangan nyawa.
Kepala Reporter Without Borders (RSF) Timur Tengah, Jonathan Dagher mengatakan pada awal April lalu, “Wartawan Gaza harus dilindungi, mereka yang ingin dievakuasi, dan gerbang Gaza harus dibuka untuk media internasional.”
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
“Beberapa wartawan yang berhasil meninggalkan tempat tersebut menjadi saksi atas kenyataan mengerikan yang sama, yaitu jurnalis diserang, dilukai, dan dibunuh. Jurnalisme Palestina harus dilindungi sebagai hal yang mendesak,” tegas Dagher.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) dan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) melaporkan, lebih dari 100 jurnalis yang mayoritas warga Palestina tewas dalam tujuh bulan agresi brutal Zionis Israel di Gaza, Palestina. Menurut CPJ, sedikitnya 16 jurnalis terluka, 4 hilang, dan 25 ditangkap tentara Zionis. Sementara itu, Kantor Media di Gaza mengatakan, 142 jurnalis dibunuh sejak 7 Oktober 2023.
Ini bukan sekadar angka. Para jurnalis merupakan mata bagi dunia, mereka menjadi garda terdepan dalam melaporkan kebiadaban Zionis. Kematian mereka di “zona konflik” ini seperti dengan sengaja ditargetkan oleh tentara pendudukan Zionis untuk menutup akses keluarnya informasi tentang Palestina.
“Sejak perang Israel-Gaza dimulai, jurnalis telah membayar harga tertinggi—nyawa mereka—untuk membela hak kami atas kebenaran. Setiap kali seorang jurnalis meninggal atau terluka, kami kehilangan sebagian dari kebenaran tersebut,” kata Direktur Program CPJ, Carlos Martínez de la Serna di New York.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Padahal dalam konflik dan peperangan —sebenarnya kondisi di Gaza lebih pantas disebut genosida— jurnalis menjadi salah satu kelompok yang wajib dilindungi, sesuai dengan hukum humaniter internasional. Namun lagi-lagi, Israel benar-benar berada dalam impunitas yang nyata.
“Ketika kita kehilangan seorang jurnalis, kita kehilangan mata dan telinga terhadap dunia luar. Kami kehilangan suara bagi mereka yang tidak bersuara,” kata Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk dalam sebuah pernyataan pada 3 Mei 2024.
“Hari Kebebasan Pers Sedunia ditetapkan untuk merayakan nilai kebenaran dan melindungi orang-orang yang bekerja dengan berani untuk mengungkapnya,” tegasnya.
Salah satu jurnalis Palestina, Diaa al-Kahlout usai dibebaskan oleh Zionis Israel, mengaku mengalami penyiksaan selama lebih dari sebulan dalam tahanan. Diaa al-Kahlout merupakan salah satu dari puluhan warga Palestina yang ditahan oleh pasukan Zionis dan ditelanjangi di Gaza utara pada Desember tahun lalu. Ia kemudian bebas pada Januari 2024.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Saat saya ditahan, tentara Israel berkerumun di sekitar saya, sebelum mereka menyumbat saya dengan selotip sehingga saya tidak dapat berbicara,” kata Kahlout. Pria berusia 37 tahun ini juga mengaku dipukuli dan disiksa oleh Zionis.
Pada 7 Januari 2024, Hamza Dahdouh, putra tertua kepala biro Al Jazeera di Gaza, Wael Dahdouh, ditembakkan oleh rudal Israel di Khan Younis. Hamzah, yang juga berprofesi sebagai jurnalis seperti ayahnya, berada di dalam kendaraan dekat al-Mawasi, kawasan yang dianggap aman yang ditetapkan Israel, bersama jurnalis lainnya, Mustafa Thuraya, yang juga tewas dalam serangan itu.
Menurut laporan koresponden Al Jazeera, kendaraan Hamzah dan Mustafa menjadi sasaran ketika mereka mencoba mewawancarai warga sipil yang kehilangan tempat tinggal akibat pemboman sebelumnya.
Jurnalis Al Jazeera lainnya, Ismail Al-Ghoul pun sempat ditangkap pasukan Israel saat meliput di Rumah Sakit Al Shifa pada Senin (18/3/2024). Ia diseret tentara Israel saat bertugas di rumah sakit. Pasukan Zionis itu juga menghancurkan kendaraan awak media dan alat-alat siaran.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Terbaru, Israel menggerebek kantor Al Jazeera di Yerusalem pada Ahad (5/5/2024). Penggerebekan dilakukan setelah pemerintah memutuskan untuk menutup operasi lokal stasiun TV milik Qatar tersebut. Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menuduh media Al Jazeera mengancam keamanan nasional negara penjajah yang dipimpinnya itu.
Diketahui, Al Jazeera begitu konsisten memberitakan informasi tentang Palestina. Selain mengabarkan aksi kejahatan Zionis, media ini juga sering menunjukkan ketangguhan dan kekuatan para pejuang Palestina.
Rupanya, apa yang dilakukan Al Jazeera dan para jurnalis di Gaza membuat Israel ketar-ketir hingga mengerahkan segala cara untuk membungkam pekerja media ini, mulai dari menangkap, menyiksa, menutup kantornya, hingga tak segan membunuh.
Apa yang dipaparkan di atas, hanyalah sebagian kecil dari seluruh rangkaian kejahatan Zionis terhadap jurnalis. Namun, tampaknya lembaga internasional masih belum bisa menghentikannya.
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Jika terus dibiarkan, kebebasan pers kita akan menuju ambang penghancuran, di mana jurnalis harus membayar sebuah berita dengan nyawanya. Khawatir, ini akan menjadi masa depan suram dunia jurnalistik.
Meski begitu, optimistis harus tetap dibangun. Maraknya dukungan pro-Palestina dari berbagai elemen masyarakat, bisa menjadi angin segar untuk perjuangan Palestina. Semoga ramainya suara solidaritas ini juga dapat meningkatkan perlindungan internasional kepada para jurnalis yang bertugas di Palestina.
Yang terhormat para jurnalis, yang pulang sebagai syuhada, damailah di surga, tugasmu selesai, namamu abadi.[]
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Mi’raj News Agency (MINA)