Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang digelar secara serentak di Indonesia masih diwarnai oleh praktik politik uang. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas praktik ini, kenyataannya politik uang masih terjadi di mana-mana.
Kasus praktik bagi-bagi uang menjelang pencoblosan menjadi tantangan besar para petugas penyelenggara dan pengawas pilkada. Hal itu sekaligus menjadi pekerjaan besar bagi proses demokrasi Indonesia.
Direktur Eksekutif Lembaga Peneliti dan Konsultan Algoritma Aditya Perdana, modus politik uang dalam Pilkada 2024 semakin canggih. Praktik ini tidak hanya dilakukan secara konvensional, tetapi juga melalui cara-cara lebih modern, dengan media digital.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengidentifikasi 130 kasus dugaan politik uang yang terjadi selama masa tenang hingga hari pemungutan suara Pilkada 2024.
Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda
Kasus politik uang terdeteksi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan, Kota Depok, Kabupaten Pasuruan, Kota Batu, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kota Kotamobagu. Selain itu, dugaan potensi pembagian uang juga terdeteksi di Kabupaten Mimika, Kabupaten Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Jember, Kota Blitar, Kabupaten Sika, dan Kabupaten Bima.
Ratusan kasus ini mencakup pembagian uang dan barang-barang lainnya untuk dapat mempengaruhi pilihan masyarakat yang diberi. Bawaslu berjanji akan melakukan kajian hukum terhadap kasus-kasus tersebut dalam waktu lima hari ke depan.
Bawaslu sebagai lembaga yang mengawal dan mengawasi jalannya proses pilkada di seluruh Indonesia terus mendorong pengawasan partisipatif dari masyarakat untuk melaporkan praktik politik uang.
Partisipasi masyarakat dinilai sangat penting untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan jujur dan adil. Jika pengawasan diserahkan kepada Bawaslu sendiri, maka tidak akan maksimal karena beberapa keterbatasan.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-13] Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri
Praktik Politik uang tentu akan merusak integritas pemilu dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Selain itu, politik uang juga memperkuat dominasi pemilik modal untuk mendapatkan kekuasaan sehingga ke depan akan sangat rawan terjadi praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Bawaslu telah menetapkan bahwa peristiwa pembagian uang selama Pilkada 2024 akan dikenakan Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada dengan ancaman pidana penjara antara 36 sampai 72 bulan dan denda antara Rp200 juta sampai Rp1 miliar.
Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku politik uang menjadi faktor utama praktik haram itu tetap menjamur. Padahal, menurut undang-undang, baik pemberi maupun penerima politik uang sama-sama dapat dikenakan pidana yang tegas. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam