Oleh: Edy Wahyudi, Site Manager Pembangunan RS Indonesia, langsung dari Gaza, Palestina
Kehidupan di Jalur Gaza diwarnai dengan pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Masyarakat Gaza harus berusaha keras mendapatkan sheikel (mata uang Israel) untuk membeli konsumsi buat diri dan keluarganya.
Memasuki tahun ke-12 blokade terhadap Gaza, tidak hanya udara bahkan darat dan laut pun ditutup Zionis Israel, sehingga sekitar dua juta penduduk Gaza mengalami krisis yang cukup parah.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Salah seorang ulama besar di Gaza Utara bernama Syeikh Yakub Abu Muhammad, saat berkunjung ke Kantor MER-C di Wisma Indonesia di Gaza, Jumat malam, 8 Maret 2019. Ia mengungkapkan, banyak anak yatim dan janda-janda syuhada yang terlantar menunggu bantuan untuk meringankan hidup mereka.
Syeikh Abu Muhammad juga turut mendoakan, semoga menjadi pahala yang terus mengalir bagi seluruh pihak yang terlibat dalam pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza.
Walaupun Gaza dihantui kelaparan dan terkadang bunyi-bunyi serangan udara Israel yang menyeramkan, tetapi rakyat Gaza berusaha sabar dan penuh semangat. Salah satu cara mereka keluar dari kesulitan ekonomi adalah dengan mengadakan Pasar Jumat di sekitar masjid. Disebut Pasar Jumat karena mereka hanya berjualan di sekitar masjid-masjid tertentu setelah shalat Jumat berlangsung.
Pasar tersebut merupakan bertemunya penjual dan pembeli dan adanya transaksi antara barang dan uang Sheikel.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Kegiatan muamalah itu berdasarkan Al-Quran Surah Al-Jumu’ah ayat 10 yang artinya, “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah.”
Syariat mengizinkan untuk melakukan aktifitas duniawi dan mencari rezeki setelah shalat Jumat. Bahkan sebagian ulama memandang jual beli setelah shalat Jumat menjadi sebab datangya keberkahan.
Tidak banyak macam yang dijual. Komoditas sederhana diperjualbelikan, dari minyak wangi, kue-kue, berbagai jenis minuman dan lain sebagainya.
Transaksi yang ada menjadi perantara perputarannya ekonomi masyarakat Gaza. Seperti saat penulis menjumpai setelah shalat Jumat di Masjid Turki di pinggir pantai Gaza, sebelum memenuhi undangan makan siang di hari Jumat dari seorang keluarga bernama Aiz di jalan Umar Mukhtar.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Budaya memuliakan tamu
Selain sibuk menerima tamu, para relawan Rumah Sakit Indonesia di Gaza juga disibukan untuk dijadikan tamu oleh masyarakat Gaza. Mereka berlomba-lomba mengundang makan siang Relawan RSI sesudah shalat Jumat. Ada yang mengundang sebagian ada pula yang mengundang seluruh relawan RSI Tahap 2 yang berjumlah 29 orang.
Relawan RSI Gaza harus mampu menjaga hubungan baik dengan masyarakat Gaza. Maka untuk menghadiri undangan yang cukup banyak dibuatlah waiting list atau mengatur jadwal waktu memenuhi undangan makan siang dari masyarakat Gaza.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Seabagian besar masyarakat Gaza memahami benar akan fadilah atau keutamaan menerima tamu, antara lain: mendapat pahala seperti ibadah haji dan umrah, menghapus dosa tuan rumah, disinari oleh cahaya kebaikan, tauladan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menjadi ladang sedekah, termasuk amalan ahli surga, sebagai bentuk keimanan dan ketakwaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka berlomba-lomba untuk mengundang makan siang para relawan pada hari yang penuh berkah, yaitu hari Jumat. Tanpa memikirkan kondisi ekonomi mereka sendiri yang sedang dalam blokade panjajah Israel.
Beberapa kali para relawan sempat menitikkan air mata karena dalam kondisi rumah dan keseharian yang sangat minim, atau serba kekurangan, mereka mengundang para relawan RSI untuk menjamu dengan makanan yang cukup lengkap untuk ukuran orang Indonesia.
Saat sempat ditanyakan, “Kenapa mereka begitu bersemangat mengundang para relawan RSI?”
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Mereka menjawab, “Walaupun kami dalam kondisi yang kekurangan, kami masih dapat berkumpul dengan keluarga. Akan tetapi kalian datang ke sini dari negeri yang sangat jauh sebagai relawan, meninggalkan anak istri dan pekerjaan sehari-hari kalian di sana untuk membantu kami di sini. Maka kami wajib menghormati kalian sebagai tamu.” (A/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel