Banda Aceh, 14 Jumadil Akhir 1436/3 April 2015 (MINA) – Seorang cendekiawan Aceh mengatakan, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai agama perlu dilakukan untuk mencegah pihak-pihak tertentu mempengaruhi pola pikir masyarakat dari paham radikalisme.
Hal itu dikatakan oleh Juru Bicara Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) Aceh, Muhammad Ifdhal menanggapi penutupan puluhan situs oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), sebagaimana siaran pers KWPSI yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Kamis (2/4).
“Sebenarnya bukan situs yang perlu ditutup, tetapi langkah yang perlu dilakukan adalah memperkuat pemahaman kepada setiap warga negara,” tegas Ifdhal.
KWPSI menyatakan pemblokiran situs media Islam oleh Kemkominfo bukanlah sebuah solusi yang tepat untuk mencegah tindakan radikalisme di masyarakat.
Baca Juga: Pasangan Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma-Kun tak jadi Gugat ke MK
Sebelumnya Kemkominfo telah melakukan pemblokiran terhadap 22 situs yang dinilai radikal atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak Senin (30/3) lalu.
Ia menjelaskan dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai agama maka sulit untuk dipengaruhi oleh pihak-pihak yang ingin merusak citra Islam dan mempengaruhi pola pikir setiap warga masyarakat.
“Jika semua warga memahami dengan kuat nilai-nilai agama maka sulit untuk dipengaruhi baik melalui media sosial atau media lainnya,” katanya.
Ifdhal mengatakan paham radikalisme tidak hanya melalui situs, tetapi juga dilakukan dengan mendatangi warga yang efeknya lebih berat.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Kamis Ini, Sebagian Berawan Tebal
Karena itu, Pemerintah Jokowi-JK perlu melibatkan semua elemen mulai dari guru, orang tua, ulama dan pemangku kepentingan dalam menanamkan nilai-nilai agama sebagai benteng bagi setiap warga negara.
“Kami yakin dengan benteng yang kuat sulit dipengaruhi oleh berbagai paham yang dapat merusak pola pikir dan tindakan dari paham itu,” ungkapnya.
KWPSI juga menilai penutupan situs Islam oleh Kemkominfo atas dasar permintaan BNPT juga bagian dari pelanggaran Undang Undang kebebasan pers dan mengkerdilkan Islam.
“Pemblokiran terhadap situs Islam oleh BNPT telah menutup ruang dakwah bagi umat Islam di Tanah Air. Langkah BNPT telah menciderai semangat kebebasan berpendapat dan menganggap semua yang berbau Islam itu radikal yang harus dilenyapkan,” tegas Ifdhal yang juga Wartawan LKBN Antara Biro Aceh itu.
Baca Juga: Workshop Kemandirian untuk Penyandang Disabilitas Dorong Ciptakan Peluang Usaha Mandiri
Dikatakannya, pemblokiran situs media Islam itu memberangus kebebasan berpendapat warga negara yang merupakan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945. “BNPT tidak melakukan kajian matang atas pemblokiran yang dimintakan ke pihak Kemkominfo,” sebutnya.
Pemblokiran tersebut didasari oleh Surat dari BNPT No.149/K.BNPT/3/2014 kepada Kemkominfo untuk memblokir beberapa situs media Islam online yang disinyalir mengajarkan paham radikal.
Dalam pernyataan tersebut KWPSI meminta BNPT dan Kemkominfo mencabut kembali kebijakan tersebut dan membuka pemblokiran situs-situs Islam.
KWPSI mendesak BNPT merespons setiap persoalan di Tanah Air yang berkaitan dengan kegiatan bahaya radikalisme dengan pendekatan keagamaan, bukan pendekatan permusuhan yang berujung kepada pemberangusan media-media Islam yang mulai tumbuh dan memberikan kontribusi besar bagi pemahaman keagamaan yang baik di dalam masyarakat.
Baca Juga: Update Bencana Sukabumi: Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian
KWPSI yang di dalamnya terdiri dari para wartawan lintas media, akademisi dan ulama itu mengajak semua elemen media Islam di Tanah Air untuk membangun satu wadah bersama menghadapi ketidakadilan bagi Islam dan muslimin di Tanah Air.
BNPT sejatinya memberi solusi akademik, agamis, dan pendekatan kultural bagi penyelesaian persoalan-persoalan faham radikal di Tanah Air. Bukan sebaliknya, melakukan perlawanan dalam kata perang yang hanya akan melahirkan permusuhan berkepanjangan.
Kemkominfo juga harus menjelaskan kepada publik secara jelas dan transparan tentang bagaimana sesungguhnya mekanisme atau prosedur yang berlaku dalam menutup sebuah situs yang dianggap membahayakan.
Karena sejauh ini, ia menilai bahwa berbagai hal tersebut belum tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. “Kalau dilihat dari luar, proses pengambilan keputusan untuk memblokir situs-situs tersebut cenderung dilakukan secara tertutup,” ujar Ifdhal.
Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025
Bila tiba-tiba diblokir tanpa adanya tindakan-tindakan pendahuluan yang lazim seperti peringatan, klarifikasi, lanjutnya, hal tersebut dinilai dapat merupakan salah satu bentuk represif.(T/P004/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Naik 6,5 Persen, UMP Jakarta 2025 Sebesar Rp5,3 Juta