Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cerita Sedih Di Sebuah Sore Hari

sajadi - Rabu, 17 Mei 2023 - 11:39 WIB

Rabu, 17 Mei 2023 - 11:39 WIB

27 Views

Oleh: Shamsi Ali, Imam/Direktur Jamaica Muslim Center

Hillside Avenue di Jamaica Queens adalah sebuah jalan utama yang cukup masyhur, khususnya di kalangan masyarakat Asia Selatan yang juga dikenal dengan Komunitas IPB (Indian, Pakistani, Bangladesh). Di jalan inilah tumbuh subur dan berkembang bisnis-bisnis yang dimiliki oleh Komunitas Muslim. Dari toko-toko pakaian Muslimah, restoran hingga ke mini market bahan-bahan makanan halal (halal meat, dll).

Sekitar 1.5 blok dari jalan ini terletak Masjid Al-Mamoor atau yang lebih dikenal dengan Jamaica Muslim Center. JMC (Jamaica Muslim Center) adalah salah satu masjid dengan Komunitas terbesar di kota New York. Di Shalat Jumat misalnya yang dilakukan dua kali, penuh dengan jamaah yang tidak kurang dari 2000 sekali putaran. Lebaran terbesar menurut estimasi sebagian orang adalah lebaran yang diorganisir oleh Jamaica Muslim Center.

Sebagai Imam (Community leader) di Komunitas ini, saya sekali-sekali berkeliling menyapa anggota komunitas atau jamaah Jamaica Muslim Center. Biasanya saya lakukan itu pada sore hari menjelang Sholat Magrib. Seringkali sambil menikmati segelas “chay” (Indian masala) dan samoza.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Di sebuah sore hari itulah, saya sedang duduk di sebuah “sweet cafe” (kedai kue-kue manis) sambil menikmati pesanan chay dan samboza. Tiba-tiba tanpa permisi seorang pria tua, dengan janggut putih yang agak kusut, wajah dan dahi yang nampak berkeriput, bahkan matanya seperti sedang terdampak alergi musim semi (merah) duduk di kursi depan saya.

“Kiya munasye?”, sapanya dalam bahasa Bangladesh, sambil mengulurkan tangannya ke arah saya untuk jabat tangan.

Sambil menjabat tangannya saya jawab: “baluasyi”.

Beliau rupanya menyangka jika saya orang Bangladesh. Sudah sedemikian lama menjadi makmum, sering mendengarkan khutbah dan ceramah-ceramah saya. Tapi baru kali ini beliau berkesempatan menyapa langsung. Sehingga setelah sapaan di atas, beliau langsung berbicara dalam bahasa Bangladesh ke saya. Saya langsung respon: “I am sorry but I am not a Bengali” (Maaf saya bukan orang Bangladesh).

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Saya memang telah lama menjadi Direktur sekaligus Imam di Komunitas ini.

Lebih 70 persen jamaahnya memang berlatar belakang Bangladesh. Sayang saya tidak terlalu terdorong untuk mempelajari bahasa mereka. Maka walaupun sejak tahun 2005 saya telah bersama mereka saya hanya mengerti beberapa kata, seperti “kiya munasyi” (apa kabar) dan “baluasyi” (saya baik).

Beliau pun dengan bahasa Inggris yang sangat terbatas mengenalkan diri sebagai Muhammad Rehman. Dan menurutnya ingin menyampaikan sesuatu kepada saya, sekaligus minta didoakan. Satu hal yang menjadi ciri khas warga Bangladesh adalah cukup percaya (trust) dan hormat (respek) kepada ulamanya.

Beliau menyampaikan bahwa dia telah tinggal di negara ini (Amerika) sekitar 15 tahun. Sekarang umurnya Sudah 73 tahun. Sebelum tinggal di Amerika beliau pernah tinggal dan kerja di Riyadh, Saudi Arabia. Di Saudi Arabia beliau bekerja sebagai penjaga rumah keluarga Saudi, yang menurutnya sangat kaya tapi baik.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Ketika saya mengenalkan diri bahwa saya juga pernah tinggal di Saudi, beliau merubah bahasanya dari Inggris ke bahasa Arab yang juga sangat tertatih-tatih. Dengan mata yang nampak merah, entah karena alergi atau karena kurang tidur, beliau menyampaikan pengalaman pahit yang sedang dialaminya.

Muhammad Rehman adalah seorang suami dan ayah dari enam orang anak. Ketika bekerja di Saudi anak isterinya ditinggal di Bangladesh. Hingga sekitar 16 tahun lalu dia mendapatkan green card melalui sistem lottery. Maka keluarga sepakat untuk pindah ke US untuk mengadu nasib di kepulauan impian (land of dream) ini.

Awalnya biasa-biasa saja. Dengan sisa-sisa modal yang ada MR (Muhammad Rehman) menyewa apartmen dua kamar di Brooklyn. Dengan enam anak tentu yang sudah dewasa, apartemen itu cukup padat. Anak-anaknya yang pria memilih tidur di kamar tamu (living room).

Hari-hari pun berlalu dan anak-anak masih taat beragama. Mereka rajin seolah di sekolah umum. Mereka masih ngaji dan shalat. Hingga semua selesai SMA. Bahkan dua di antara anak-anaknya selesai college. Saat itulah terjadi perubahan yang drastis. Seorang anaknya jadi polisi. Satu lagi kerja dengan imigrasi di bandara. Dua orang bahkan menjadi farmasis. Dua lainnya tidak disebutkan apa kerjaannya.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Sejak anak-anak pada bekerja, sang ayah (MR) menjadi gelisah. Anak-anak yang tadinya masih shalat, kini tidak mau lagi jika diingatkan untuk sholat. Bahkan dengan terang-terangan menyampaikan kepada ayahnya: “jangan bersikap kampungan. Kita Sudah tinggal di New York”.

Yang paling menyedihkan lagi, beberapa waktu kemudian isterinya ternyata ikut terpengaruh. Bahkan setiap kali MR berbicara kepada isterinya tentang kegelisahannya, sang isteri menjawab hal yang sama: “kita Sekarang bukan lagi di Bangladesh. Tidak usah terlalu peduli dengan hal-hal itu (shalat dan agama).”.

Berbulan-bulan, bahkan bertahun, MR hanya bisa berdoa dan menangis. Hingga tahun lalu beliau kehilangan sabarnya dan meninggalkan rumahnya. Empat dari anak-anaknya telah duluan keluar dari apartemen itu. Sementara MR hanya bekerja sebagai penjaga grocery (toko kecil) milik warga Bangladesh dengan gaji minimum.

Yang paling menyedihkan adalah ketika meninggalkan apartemen itu sang isteri justeru meminta cerai. Maka di penghujung usianya itu ayah dan Ibu dari enam anak itu juga resmi bercerai. Isteri tinggal bersama salah seorang anaknya. Sementara sang ayah saat ini menyewa sebuah kamar di rumah seorang warga Bangladesh di Jamaica Queens.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Sore itu saya menelusuri Hillside Avenue untuk menyapa sekaligus mengekspresikan dukungan kami kepada jamaah (komunitas). Tapi dengan cerita ini kami bagaikan disambar petit. Seolah ada beban berat yang yang terjatuh dari langit dan menimpa kami. Ada beban dan tanggung jawab moral untuk mencari solusi dari realita yang cukup mengiris hati itu.

Sambil menjabat tangannya saya permisi meninggalkan menuju masjid. Hanya satu pesan: “jangan berhenti doakan anak-anaknya. Semoga Allah memberikan hidayahNya sehingga kembali menjadi anak-anak yang baik dan saleh”. Beliau mengangguk seraya minta: “doakan saya. Semoga saya dikuatkan”.

America, for many is the land of dreams. Walau mimpi itu tidak selamanya manis dan indah. Justeru bisa berubah menjadi “nightmare” (mimpi buruk) bagi sebagian imigran.

Semoga Allah menjaga kita semua! (AK/RE1/P1)

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom