Beijing, MINA – Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengatakan, negeri Tirai Bambu tersebut mendukung faksi-faksi di Palestina untuk dapat melakukan rekonsiliasi.
Hal tersebut disampaikan Lin Jian terkait rencana Hamas dan Fatah, dua faksi besar di Palestina untuk melakukan dialog rekonsiliasi di Beijing pada Sabtu-Ahad (20-21/7), demikian Bernamanews.
“China selalu mendukung faksi-faksi Palestina dalam mencapai rekonsiliasi dan solidaritas melalui dialog dan konsultasi dan siap menyediakan wadah dan peluang bagi semua faksi Palestina untuk melakukan dialog demi rekonsiliasi,” kata Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Selasa (16/7).
China, menurut Lin Jian, ingin memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan Hamas maupun Fatah untuk bekerja sama demi mewujudkan rekonsiliasi internal Palestina.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
“Namun mengenai teknis pertemuan, akan kami sampaikan pada saatnya bila diperlukan,” ungkap Lin Jian.
Ia juga menyerukan, diakhirnya konflik di Gaza. “Kami juga menyerukan diakhirinya konflik di Gaza lebih awal guna menciptakan kondisi yang diperlukan untuk meredakan situasi di tempat lain, termasuk di Laut Merah.
China menentang gangguan terhadap kapal sipil dan percaya bahwa jalur pelayaran di Laut Merah harus tetap aman sesuai dengan hukum internasional,” tambah Lin Jian.
Sebelumnya pemimpin senior Fatah Abdel Fattah Dawla mengatakan Hamas dan Palestina akan bertemu di Beijing sebagai upaya mengakhiri perpecahan internal.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
Fatah sendiri disebut terbuka untuk menyelesaikan dan menghilangkan semua hambatan bagi rekonsiliasi di bawah kondisi sulit warga Palestina di tengah perang genosida di Gaza.
Pada April 2024, pemerintah China juga mengakui ada pertemuan Hamas dan Fatah di Beijing. Sebelum pertemuan tersebut, kedua faksi juga mengadakan pertemuan di Moskow pada Februari.
Perundingan serupa juga pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir di Turki, Aljazair, dan Mesir, namun semuanya gagal menghasilkan terobosan dalam proses rekonsiliasi Palestina.
Wilayah Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza telah terpecah secara politik pasca pemilu 2006 yang memberikan kemenangan kepada Hamas sehingga menguasai Jalur Gaza.
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
Pascapemilu pertikaian antara kedua faksi politik itu tak pernah berhenti dan menyulitkan perjuangan Palestina menjadi negara merdeka.
Pemerintahan gabungan antara dua faksi itu berjalan singkat, yaitu hanya satu tahun. Bentrokan berdarah yang meletus pada 2007 semakin melemahkan perjuangan Palestina.
Hamas kemudian menguasai Gaza. Sementara Fatah yang menjalankan Otoritas Palestina bermarkas di kota Ramallah, Tepi Barat.
Saat ini, otoritas kesehatan di Gaza mengatakan hampir 38.700 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 89.000 orang terluka sejak dimulainya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu.
Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan
Lebih dari sembilan bulan setelah serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan yang melumpuhkan.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang keputusan terbarunya memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militer di kota selatan Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum diinvasi pada 6 Mei.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Polisi Mulai Selidiki Presiden Korea Selatan terkait ‘Pemberontakan’