Jakarta, MINA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menerangkan bicara mengenai halal dan sehat satu hal yang melekat disebutkan dalam Al-Qur’an halalan thoyibah.
“Karena suatu produk belum tentu disebut halal atau haram karena ditengah-tengah syubhat (tidak jelas), Bagi orang yang Wara (berhati-hati) tinggalkan yang syubhat, Jika kita bicara tentang halal lifestyle,” kata Cholil dalam acara seminar tema “Tingkatan Untung Nilai Jual Produk UMKM dengan Sertifikasi Halal” secara zoom virtual, Sabtu (15/8).
Menurutnya, bicara Islam yang kaffah artinya jangan hanya bicara soal ibadah saja tetapi juga bicara mengenai ekonomi umat.
“Berjamaah bukan hanya saat shalatnya saja, tetapi usahanya pun juga harus berjamaah,” tegas Cholil.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Chalil mengatakan, halal menjadi penting karena sudah menjadi gaya hidup, saya pernah ke China ada restoran halal dan disana dan paling mahal harganya di kota Beijing. Sebab yang mendapatkan sertifikat halal selain heginis, thoyib ada nilai plusnya karena halal.
“Di Prancis sendiri restoran halal menjadi bergensi dan lebih mahal karena punya nilai plusnya juga, Ini berada ditengah-tengah negara non muslim tidak mengenal ajaran Islam,” imbuhnya.
Lebih jauh dikatakan, apalagi penduduk Indonesia ada sekitar 270 juta jiwa, 88 persennya mayoritas muslim bicara mengenal gaya hidup halal berarti kembali kepada ajaran agama Islam.
“Karena itu halal dan sehat sudah menjadi melekat dalam ajaran agama yang disebutkan di Al-Qur’an yaitu halalan thoibah,” ujarnya.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Jadi, menurutnya persoalan mengenai halal adalah hak konsumen dan kewajiban produsen. “Halal menjadi hak warga negara sebab amanat konstitusi bahwa negara menfasilitasi umat beragama dalam menjalankan ajaran agamanya,” tegasnya.
Maka dari menjalankan ajaran agama adalah dengan hidup halal, diantaranya makanannya halal, restoran halal, fashion halal dan travel halal.
Halal menjadi hak warga negara yang wajib difasilitasi negara, sebagai amanat Undang-undang Dasar (UUD) dan pengusaha berkewajiban melakukan hal itu.
“Maka kita melakukan mandatory, mestinya bulan Oktober sudah dilakukan sertifikasi halal secara keseluruhan, namun tidak bisa dilakukan karena beberapa faktor teknis terkait merealisasikan UUD tersebut,” tambahnya. (L/R4/RS2)
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Mi’raj News Agency MINA
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal