Xinjiang, 7 Ramadhan 1434/15 Juli 2013 (MINA) – Kelompok-kelompok HAM menyeru pemerintah pusat Cina untuk mengangkat pembatasan yang mereka berlakukan mencegah Muslim Uygur di wilayah Xinjiang dalam menjalani Ramadhan sejak bulan suci yang dimulai pada Selasa (9/7).
Mereka mengatakan tindakan keras keamanan Beijing setelah wabah kekerasan baru di wilayah bergolak telah membuat umat Islam berkecil hati untuk menunaikan ibadah di masjid dan mengganggu puasa siang hari yang mereka perlukan, media online scmp.com melaporkan yang dikutip Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj News Agency), Senin (15/7).
Juru bicara Kongres Uygur Dunia, Dilxadi Rexiti mengatakan bahwa para pejabat pemerintah telah memasuki rumah Uygur untuk memberikan mereka buah dan minuman di siang hari, ketika umat Islam seharusnya menjauhkan diri dari aktivitas makan, minum dan seksual.
Sementara itu, Karamay Daily melaporkan bahwa pihak berwenang telah melarang pendidikan terorganisir berteks agama dan tempat-tempat keagamaan ditempatkan dalam pengawasan ketat, termasuk “sekitar jam” pemantauan masjid di utara kota Karamay.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
Dr Katrina Lantos Swett, Komisi AS dalam Kebebasan Beragama Internasional (US Commission on International Religious Freedom/USCIRF), mengatakan langkah tersebut tidak akan mengurangi kerusuhan etnis.
“Diluncurkan atas nama stabilitas dan keamanan, kampanye Beijing menindas Muslim Uygur, termasuk penargetan pertemuan pribadi yang damai untuk studi agama dan pengabdian,” kata Lantos Swett.
Namun, Juru Bicara Daerah Otonomi Xinjiang Luo Fuyong membantah bahwa pemerintah telah memberlakukan pembatasan pada penjalanan Ramadhan.
“Kami menghormati keyakinan agama dan adat (Uygur), kami sangat jelas mengenai hal ini,” kata Luo. Namun, ia mengakui bahwa murid Uygur, terutama di sekolah dasar, putus asa dari berpuasa selama bulan Ramadhan karena masalah kesehatan.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Dalam laporan tahunan USCIRF, Muslim Uygur terus menjalani hukuman penjara karena terlibat dalam kegiatan keagamaan independen. Pegawai pemerintah, dosen dan mahasiswa didenda jika mereka berpuasa.
Laporan lain dari Asosiasi Amerika Uygur (Uygur American Association/UAA) yang berbasis di Washington, pada bulan April mengutip pemilik restoran Uygur dari Hotan yang mengatakan saat Ramadhan merupakan sebuah kesempatan bagi umat Islam untuk menangani perbaikan dan redekorasi dalam bisnis mereka. Tapi setiap restoran yang tutup untuk perbaikan selama sebulan, mungkin didenda.
“Pembatasan agama yang sangat agresif dan mengganggu kehidupan pribadi Uygur oleh pemerintah Cina, hanya akan semakin memancing kemarahan rakyat Uygur,” kata Presiden UAA Alim Seytoff. “Kekerasan bisa meletus lagi karena tindakan represif yang sistematis.”
Dr Reza Hasmath, seorang peneliti Oxford yang fokus pada etnis minoritas Cina, mengatakan bahwa perjuangan terhadap pemerintah atas kebebasan beragama telah menjadi simbol identitas Uygur.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
“Langkah-langkah ini hanya akan memperkuat jarak antara etnis di Xinjiang,” katanya.
Ahli lain memperingatkan bahwa situasi di Xinjiang lebih dari masalah keamanan lokal.
“Cina perlu mengelola minoritas yang lebih baik,” kata Ronan Gunaratna, Kepala Pusat Internasional untuk Penelitian Kekerasan Politik dan Terorisme di Singapura. “Pada titik ini, ancaman utama terhadap pemerintah berasal dari etnisnya.”
Untuk saat ini, respon Beijing sering menindaklanjuti pembangkang dengan memperketat keamanan, kadang-kadang menyalahkan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Turki yang dianggap menghasut apa yang disebut ekstremisme agama dan terorisme.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
“Selama beberapa minggu terakhir, pimpinan pusat hanya memiliki satu ide yang digunakan sebanyak mungkin untuk keamanan,” kata Kerry Brown, Direktur Sydney University’s China Studies Centre. “Dan itu strategi yang sangat dipertanyakan.”
Ia mengatakan, pendekatan saat ini adalah “lingkaran setan” yang hanya menciptakan lebih banyak kebencian.
“Pemerintah memiliki pola pikir paranoid, tapi ini adalah masalah nyata yang tidak ada hubungannya dengan pihak luar,” katanya.
Dia menambahkan bahwa Xinjiang yang kaya sumber daya, dianggap rentan terhadap pemberontakan massa yang berpotensi tumpah pada tingkat regional atau bahkan nasional.
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
“Cina bisa meledak di mana saja, tapi Xinjiang berada di barisan depan,” kata Brown. “Ini adalah badai yang sempurna.” (T/P09/R2).
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan