Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, AS
Cinta itu bisa terjadi karena minimal tiga faktor. Rasa (emosi), akal (rasionalitas), dan juga karena ego dan hawa nafsu.
Mencintai Allah itu adalah bagian dari “rasa” yang bermuara dari fitrah sejati. Cinta Allah itu menjadi bagian fitrah, dan karenanya bersifat alami dalam hidup. Sehingga mengingkari, atau kata lainnya tidak mengimani Allah disebut “kufr”.
Kata kufr sejatinya berarti mengingkari “realita” yang paling nyata dalam hidup seseorang. Mengingkari fitrahnya yang sejatinya tidak akan pernah padam dalam batinnya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Kata kufr juga berasal dari kata “kafara” yang juga berarti “menutupi”. Boleh jadi kata “cover” dalam bahasa Inggris diambil dari kata “kafara” ini. Esensinya sama bahwa kufr menutupi sebuah hakikat terbesar dalam hidup manusia.
Dalam konteks inilah “cinta” sebagai substansi paling mendasar dari keimanan kepada Allah terbangun di atas rasa kemanusiaan (fitrah) kita. Cinta terdalam yang seringkali melampaui batas-batas rasionalitas manusia.
Cinta karena dorongan fitrah (alami) tidak berarti rasional. Hanya saja kekuatan rasa emosi menjadikan pertimbangan rasional menjadi minim bahkan tenggelam. Bagaimana mungkin seorang anak rela berhadapan dengan ayahnya dan membunuhnya dalam sebuah peperangan. Tapi cinta kepada Allah menuntut demikian ketika cinta kepada ayah itu merendahkan kecintaan kepada Allah SWT.
Allah menegaskan: “Kamu tidak akan mendapati sekelompok orang yang mencintai siapa yang membenci Allah”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Pada sisi lain, mencintai Rasul itu, khususnya bagi mereka yang tidak satu etnis, apalagi memiliki hubungan keluarga dengan Rasul, pastinya sebuah cinta pilihan. Cinta pilihan (hubb ikhtiyari) ini biasanya terbangun di atas dasar pemahaman. Inilah yang dimaksud sebagai cinta yang terbangun di atas dasar rasionalitas.
Ambillah contoh cinta Umar kepada Rasulullah SAW. Secara alami tentu Umar RA lebih mencintai dirinya dari Rasulullah SAW. Tapi setelah diolah oleh pemikiran yang lebih matang, akhirnya pilihan untuk mencintai Rasulullah SAW mengalahkan rasa emosi yang lebih mencintai dirinya sendiri. Menundukkan rasa emosi ini pada galibnya terjadi ketika pertimbangan rasionalitas menguat.
Selain kedua bentuk cinta di atas, ada lagi satu bentuk cinta yang terbangun di atas dasar ego (hawa nafsu). Sebenarnya cinta karena ego atau nafsu awalnya bukanlah masalah. Hanya saja jika cinta karena ego (nafsu) ini menjadi dominan maka aspek rasionalitasnya menjadi minim.
Pada umumnya pasangan suami isteri itu awalnya karena dorongan cinta tipe ketiga ini. Ada dorongan ego (nafsu) yang terbangun. Hal ini bukan masalah karena memang alami sifatnya sebagai jalan kelestarian generasi.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Yang menjadi masalah ketika cinta karena dorongan ego (nafsu) itu berada di atas segalanya (dominan). Semua kecenderungan terbangun di atas dorongan ego dan nafsu. Maka sendi-sendi rumah tangga yang demikian akan rapuh dan pudar seiring pudarnya faktor-faktor dorongan nafsu manusia.
Kecantikan isteri, atau sebaliknya ketampanan suami akan secara alami mengalami penyusutan seiring bertambahnya umur manusia. Dan kalau itu (cantik/tampan) menjadi dasar cinta keduanya, pudar pula cinta itu seiring pudarnya kecantikan isteri atau ketampanan suami.
Di sinilah salah satu rahasia kenapa Al-Qur’an mengikuti kata “Mawaddah” (cinta) dalam hubungan suami isteri dengan kata “Rahmah”. Ar-rahmah adalah bentuk bentuk kejiwaan (kasih sayang) yang terbangun dengan kesadaran penuh dan pengorbanan tanpa mengenal batas-batas kemanusiaan.
Rasulullah SAW digelari “Rahmatan lil-alamin” karena cintanya memang pilihan dan tanpa mengenal batas. Beliau kasih dan sayang kepada umat yang mengimaninya. Tapi juga masih memilki rasa iba dan kasih kepada umat yang mengkafirinya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Dukungan politik
Dalam dunia politik dukung mendukung adalah sesuatu yang alami. Sebagaimana cinta, dukungan kepada kandidat politik juga kamungkinan terbangun di atas tiga kemungkinan faktor. Boleh karena faktor emosional. Boleh juga karena alasan rasionalitas. Tapi boleh juga karena faktor ego dan hawa nafsu.
Dukungan karena sesama suku, etnis dan ikatan sosial lainnya, termasuk karena agama sejatinya itulah dorongan alami. Artinya ketika seseorang saling mendukung karena ada hubungan ras, etnis, agama dan semacamnya, itu sudah bagian dari tabiat manusia. Dan karenanya dukungan seperti ini bersifat thobi’i (alami) yang terbangun di atas rasa emosi.
Maka tidaklah salah kalau secara alami saya sebagai putra Bugis-Makassar nantinya akan mendukung calon yang berketurunan Bugis-Makassar dalam konteks pemilihan nasional. Atau tidaklah salah jika saudara-saudara kita yang kebetulan Beragama Kristen, atau beretnis China hampir 100% memilih Ahok pada pilkada Jakarta yang lalu. Itu adalah alami dan tidak perlu dipermasalahkan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Jika dukungan karena hubungan alami tadi lebih dominan karena emosi, maka dukungan karena rasionalitas lebih pada penekanan penilaian secara rasionalitas. Misalnya karena kapabilitas, baik dalam keilmuan maupun dalam menejemen. Bisa juga karena aspek integritas (karakter)baik pada tataran pribadi maupun sosialnya.
Idealnya memang adalah ketika dukungan itu didasarkan kepada dua hal di atas. Adanya pertimbangan alami yang memang didukung oleh pertimbangan rasional. Saudara sesuku atau seagama tapi juga memang mumpuni dalam kapabiltas dan integritasnya adalah kandidat yang ideal. Dukungan akan lebih solid karena bersifat alami. Tapi juga sesuai karena tidak semata berdasarkan emosi.
Dukungan karena ego dan nafsu
Yang menjadi masalah adalah ketika dukungan politik itu terjadi karena ego dan nafsu. Pada umumnya dukungan seperti ini rawang pudar di tengah jalan, bahkan tidak jarang berbalik menjadi lawan.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Ada beberapa kemungkinan sehingga terjadi dukungan karena ego dan nafsu ini. Ada yang mendukung kandidat tertentu karena memang ada kepentingan tertentu. Seorang pengusaha misalnya mendukung calon tertentu agar kelak ketika sang calon itu menang maka perusahaannyalah yang akan menadah berbagai proyek daerah atau negara.
Ada juga karena dengan mendukung sang calon dia akan dianggap sebagai pahlawan. Dialah yang menjagokan, mengkampanyekan, sehingga sang calon terpilih. Tentu harapannya adalah pujian. Padahal belum tentu dukungannya itu memberikan dampak positif sedikitpun untuk sang calon.
Atau sebaliknya belum tentu dukungan itu memberikan dampak positif bagi sang pendukung. Setelah kandidat menang pada umumnya para pendukung itu terlupakan atau dilupakan.
Ada juga yang mendukung karena sekedar pelarian. Biasanya dukungan seperti ini diharapkan untuk menutupi kekurangan dirinya sendiri. Atau boleh jadi karena di kubu sebelah ada yang tidak disenangi. Sehingga dukungan itu baginya adalah jalan untuk balas dendam.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Intinya adalah: cinta selain kepada Allah dan rasulnya jangan berlebihan. Sebaliknya benci selain kepada Iblis dan syetan juga jangan berlebihan. Karena boleh jadi mereka Yang kamu cintai hari ini mengecewekanmu di esok hari. Dan mereka yang kamu benci hari ini menjadikanmu jatuh hati di esok hari.
Dalam dukungan politik juga demikian. Jaga batas dan kesimbangan. Toh kedua kandidat juga hanya manusia yang pasti di sana sini banyak kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Mendukung itu hak. Tapi menjaga hati dan kebersamaan itu tanggung jawab dan kewajiban. Jika dukunganmu memecah belah maka simpan saja dulu di bilikmu masing-masing. Pada hari pemilihan barulah kamu bawa masing-masing ke bilik pemungutan suara.
Fair kan? Semoga kita terjaga!
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
(R07/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh