New York, MINA – Universitas Columbia (Columbia University) di New York saat ini berada dalam sorotan setelah menolak permintaan pemerintah federal Amerika Serikat untuk membantu mengidentifikasi aktivis pro-Palestina yang terlibat dalam demonstrasi di kampus.
Penolakan ini memicu ketegangan antara universitas dan pemerintahan Presiden Donald Trump. Al-Jazeera melaporkan, Selasa (11/3).
Ketegangan meningkat setelah penangkapan Mahmoud Khalil, seorang aktivis Palestina dan mantan mahasiswa Universitas Columbia, oleh agen Imigrasi dan Bea Cukai (ICE).
Khalil, yang merupakan penduduk tetap AS dengan kartu hijau dan memiliki istri warga negara AS, dituduh oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) terlibat dalam aktivitas yang sejalan dengan para pejuang Palestina.
Baca Juga: ICJ Beri Perpanjangan Waktu untuk Israel Ajukan Pembelaan terkait Kasus Genosida
Penangkapannya memicu kecaman dari kelompok-kelompok hak sipil yang melihatnya sebagai serangan terhadap kebebasan berbicara.
Sebagai tanggapan atas penolakan Universitas Columbia untuk bekerja sama, pemerintahan Trump membatalkan dana hibah dan kontrak federal senilai $400 juta (sekitar Rp6,5 triliun) untuk universitas tersebut.
Situasi ini menyoroti ketegangan yang berkembang antara kebebasan berbicara, hak untuk memprotes, dan upaya pemerintah untuk menindak aktivitas yang dianggap mendukung kelompok yang dianggap sebagai teroris.
Kasus Khalil dan respons Universitas Columbia terhadap tekanan pemerintah federal menjadi pusat perdebatan nasional tentang batas-batas kebebasan sipil dan peran institusi pendidikan dalam isu-isu politik yang kontroversial. []
Baca Juga: Presiden Rusia Bertemu Sandera Israel, Putin Ucap Terima Kasih kepada Hamas
Mi’raj News Agency (MINA)