COVID-19, Selamat Datang di Gaza (Oleh: Sarah Algherbawi, Gaza)

Saya menulis artikel ini di pekan kedua .

Virus corona tiba di pada 22 Maret, ketika ada berita bahwa itu terdeteksi pada dua orang yang kembali dari Pakistan.

Sejak saat itu, dan pada saat penulisan, sepuluh kasus lainnya telah dilaporkan – semuanya sejauh ini di antara orang-orang yang dikarantina.

Jalur Gaza adalah salah satu bagian dunia yang paling padat penduduknya.

Sistem perawatan kesehatannya telah dirusak secara fatal oleh lebih dari satu dekade sanksi dan blokade yang diberlakukan Israel.

Aktivis hak asasi manusia dan pakar kesehatan khawatir akan terjadi bencana kemanusiaan jika pandemi menyerbu ke sini.

Kami mulai mengambil tindakan isolasi bahkan sebelum kami mengkonfirmasi kasus. Namun, jauh sebelum ada yang pernah mendengar tentang virus corona ini, kami, di Gaza, telah dipaksa untuk mempraktikkan “jaga jarak sosial” – atau seperti yang kami sebut sekarang – “jaga jarak fisik” dari seluruh dunia.

Israel memblokade Gaza hampir 13 tahun. Lebih dari setengah juta dari dua juta orang Gaza – populasi kami sangat muda – tidak akan tahu apa-apa selain kesulitan dan keterasingan yang menimpa mereka dengan kekuatan militer yang luar biasa selalu mengebom dan membunuh sesuka hati.

Karena itu, kita semua terbiasa menghabiskan waktu di dalam ruangan, tidak bisa keluar karena takut akan konsekuensi yang mematikan.

Selama agresi besar Israel terakhir pada tahun 2014, saya tinggal di rumah selama 51 hari ketika bom dan rudal menghampiri kami yang menyebabkan kematian dan kehancuran.

Pada hari ke-42, saya tidak bisa menahannya lagi. Saya meminta ayah saya untuk mengajak saya jalan-jalan walaupun hanya beberapa menit. Awalnya, dia menolak, mengkhawatirkan keselamatan kami. Tetapi, ketika dia menyadari urgensi dan desakan saya, dia dengan terpaksa setuju.

Kami berjalan di sekitar lingkungan kami, Gaza City timur, selama sekitar 15 menit. Saya ingin udara segar, tetapi justru mendapatkan udara yang bercampur dengan bau mesiu. Langit tidak bersih dari pesawat militer, tetapi saya menikmati setiap saat.

Kali ini, isolasi berbeda. Kali ini diam.

Mohamed Abu Ali mengadakan pesta pernikahannya di rumah. (Foto: Ashraf Amra/Al Jazeera)

Selamat datang di Gaza

Kali ini, saya tidak merasa punya pilihan untuk memutuskan isolasi saya. Saya seorang ibu dari dua anak sekarang. Tanggung jawab saya adalah tetap di rumah, apa pun yang terjadi.

Saya merasa bahwa penguncian yang dilakukan oleh virus corona terhadap sebagian besar dunia menunjukkan kepada semua orang, seperti apa kehidupan di Gaza.

Tidak dapat mengunjungi negara asing atau bepergian dengan pesawat? Selamat datang di Gaza. Saya hampir berusia 29 tahun dan belum pernah terbang.

Tidak diperbolehkan pindah lebih dari beberapa kilometer dari rumah Anda dengan risiko kemarahan pihak berwenang? Selamat datang di Gaza kecil, wilayah yang batas-batas di darat dan lautnya diberlakukan oleh militer-militer, Mesir juga terlibat, yang tidak pernah komplain dalam penggunaan kekuatan maut untuk mencegah tindakan tersebut.

Tidak dapat pergi ke rumah sakit mana pun karena sistem kesehatan kewalahan dengan keadaan darurat? Selamat datang di Gaza, 2008-09, 2012, 2014 dan sekarang.

Khawatir tentang pasokan obat-obatan, air bersih, makanan, dan listrik? Selamat datang di Gaza, di mana separuh dari semua obat-obatan vital tidak tersedia, menurut kementerian kesehatan di sini, dan setengahnya dengan stok kurang dari sebulan, menurut PBB.

Selamat datang di Gaza, yang sebagian besar air ledengnya tidak layak untuk dikonsumsi manusia, tempat sekitar 70 persen penduduknya rawan pangan, dan tempat listrik tersedia hanya sebentar-sebentar.

Jika sistem perawatan kesehatan paling maju di dunia tidak dapat menangani pandemi, bayangkan seperti apa rasanya bagi sebagian besar dunia, yang sistem kesehatan tidak begitu berkembang.

Kemudian ditambah dalam kondisi pendudukan militer.

Selamat datang di Gaza.

Bagi saya, ada satu perbedaan besar antara penguncian virus corona dan yang dipaksakan oleh pendudukan Israel, yakni: Virus itu tidak terlihat, sedangkan konsekuensi dari blokade Israel jelas untuk dilihat semua orang.

Persiapan

Pihak berwenang di sini telah mencoba untuk mempersiapkan sebaik mungkin. Beberapa orang yang bisa memasuki Gaza dari luar ditempatkan di karantina sejak 15 Maret. Mereka yang dites positif telah diisolasi. Kita semua terkunci.

Kementerian Kesehatan sangat menyadari kekurangan ini.

Ashraf al-Qedra, Juru Bicara Kementerian, mengatakan kepada The Electronic Intifada, pihaknya “kekurangan sumber daya: obat-obatan, peralatan pelindung, alat pernapasan, persediaan laboratorium dan alat sterilisasi.”

Menurut PBB, kapasitas sistem kesehatan Palestina secara umum untuk menangani penyebaran pandemi yang “diperkirakan sangat terbatas,” khususnya di Gaza.

Kementerian di Gaza telah mengajukan permintaan internasional untuk bantuan darurat senilai US$ 23 juta. PBB telah menghitung target bergerak kebutuhan Palestina secara umum, pada 26 Maret, sebesar US$ 34 juta.

Sementara itu, dengan ditutupnya fasilitas pendidikan, kementerian telah mengalihfungsikan gedung sekolah untuk digunakan sebagai pusat karantina. Menurut Al-Qedra, lebih dari 1.700 orang saat ini berada di karantina yang hampir 1.000 orang membutuhkan perawatan medis.

Tiga persen dari populasi Gaza (lebih dari 65 orang) di antara mereka yang paling rentan. Hampir delapan persen menderita hipertensi dan diabetes, kata Al-Qedra.

Mungkin hampir sama bermasalahnya sektor kesehatan dengan situasi ekonomi secara umum di Gaza.

Hampir 50 persen populasi Gaza sudah menganggur, sementara lebih dari 50 persen jatuh di bawah tingkat kemiskinan.

Sekarang, banyak buruh lepas Gaza yang telah melihat penghasilan mereka turun ke nol hampir dalam semalam.

Mantan pegawai Otoritas Palestina (PA) juga berjuang. Pada 2017, PA di yang berpusat di Ramallah memotong gaji orang-orang ini menjadi dua. Sekarang, seperti seorang teman yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa mereka hampir tidak mampu membeli makanan.

“Apa yang tersisa dari gajiku tidak bisa memenuhi kebutuhan keluargaku selama sebulan,” katanya.

Saya mungkin termasuk orang yang beruntung di Gaza. Sejauh ini saya bisa membeli makanan, barang-barang bukan makanan, dan hand sanitizer dan sabun.

Di saat saya dan semua orang yang saya kenal terisolasi sendiri, beberapa orang tidak melakukannya.

Saat saya melihat media sosial, saya melihat banyak orang yang terus berkumpul dengan teman atau keluarganya, bahkan mengatur pernikahan di rumah – itu harus di rumah, ruang pernikahan semua ditutup.

Saya melihat keluar jendela saya dan saya melihat anak-anak bermain di jalan seperti sedang berlibur.

Kelalaian seperti itu – beberapa disebabkan oleh kebutuhan untuk bekerja, mungkin karena tidak menganggap musuh yang tidak terlihat ini dengan serius – mengkhawatirkan saya. Saya merasa kita mungkin harus menderita isolasi untuk waktu yang lama.

Sejauh tahun 2012, PBB memperingatkan bahwa Gaza bisa menjadi tidak layak ditempati oleh manusia pada tahun 2020.

Tampaknya 2020 memiliki rencana sendiri, tidak hanya untuk Gaza, tetapi untuk seluruh dunia. (AT/RI-1/P2)

Sumber: The Electronic Intifada

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.