Sejarah panjang palestina/">konflik Palestina dan Israel memiliki akar yang dalam, terutama sejak awal kedatangan para imigran Zionis ke wilayah Palestina pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada awalnya, masyarakat Palestina menyambut kedatangan mereka dengan keterbukaan dan sikap penuh toleransi. Para imigran Yahudi yang melarikan diri dari berbagai persekusi di Eropa menemukan tempat yang relatif aman untuk membangun kehidupan baru di tanah yang telah lama dihuni oleh berbagai komunitas.
Namun, seiring dengan berkembangnya gerakan Zionisme yang bertujuan mendirikan negara eksklusif Yahudi di Palestina, situasi mulai berubah drastis. Kebijakan kolonisasi yang dilakukan oleh Zionis, serta sikap ekspansionis yang mengabaikan hak-hak warga asli Palestina, memicu konflik yang terus berlangsung hingga saat ini. Penguasaan tanah, pengusiran warga, dan pendirian pemukiman ilegal semakin memperparah ketegangan, menjadikan masyarakat Palestina sebagai korban dari ambisi politik Zionisme.
Sikap yang semula bersahabat dari warga Palestina berubah menjadi perlawanan akibat ketidakadilan yang mereka alami. Konflik ini bukan hanya soal agama atau etnis, tetapi juga persoalan hak asasi manusia, keadilan, dan kedaulatan suatu bangsa yang dirampas oleh kepentingan kolonialisme modern. Berikut ini adalah deretan daftar hitam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Zionis Israel terhadap warga Palestina.
Pertama, Penghancuran Rumah Secara Sistematis
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Zionis Israel adalah penghancuran rumah warga Palestina. Berdasarkan laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), sejak 1967 hingga sekarang, lebih dari 55.000 rumah warga Palestina dihancurkan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Alasan yang sering digunakan adalah “keamanan” atau “pembangunan ilegal”, meskipun banyak rumah yang dihancurkan memiliki izin legal dari otoritas Palestina.
Penghancuran rumah warga Palestina oleh Zionis Israel berdampak serius secara psikologis, ekonomi, dan sosial. Proses ini sering dilakukan tanpa pemberitahuan memadai, memaksa warga kehilangan tempat tinggal tanpa kompensasi atau solusi layak. Kebijakan ini bertujuan mengurangi keberadaan warga Palestina di area strategis seperti Yerusalem Timur dan Area C di Tepi Barat, memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Kedua, Pembatasan Kebebasan Bergerak
Pemerintah Israel menerapkan kebijakan pembatasan pergerakan warga Palestina melalui pos-pos pemeriksaan (checkpoints), tembok pemisah, dan izin perjalanan. Tembok pemisah sepanjang lebih dari 700 kilometer memotong akses ke lahan pertanian, sekolah, dan tempat ibadah. Kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 13 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin hak kebebasan bergerak.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Ketiga, Pemindahan Penduduk secara Paksa
Zionis Israel kerap memindahkan warga Palestina secara paksa untuk memperluas pemukiman ilegal Yahudi. Pemindahan paksa ini melanggar Konvensi Jenewa IV Pasal 49 yang menyatakan bahwa kekuatan pendudukan tidak boleh mendeportasi atau memindahkan penduduk asli dari wilayah mereka. Di daerah seperti Sheikh Jarrah dan Silwan, pemindahan paksa menjadi isu besar yang memicu protes internasional.
Kebijakan ini juga berdampak signifikan pada kehidupan warga Palestina, membatasi akses ke tempat kerja, pasar, dan layanan kesehatan. Akibatnya, pendapatan menurun, kesejahteraan memburuk, dan kualitas hidup semakin terpuruk, memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Keempat, Pembangunan Pemukiman Ilegal
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Pembangunan pemukiman ilegal Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki merupakan pelanggaran hukum internasional. Resolusi PBB No. 2334 tahun 2016 menegaskan bahwa pemukiman ini tidak sah menurut hukum internasional. Namun, lebih dari 700.000 pemukim Israel tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, memperburuk konflik dan mempersulit tercapainya solusi dua negara.
Pembangunan pemukiman ilegal ini juga mengakibatkan perampasan lahan milik warga Palestina serta penghancuran rumah dan infrastruktur. Warga Palestina sering dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka tanpa kompensasi yang adil. Selain itu, keberadaan pemukiman ilegal memicu ketegangan dan kekerasan antara pemukim dan warga lokal, serta membatasi akses ke sumber daya penting seperti air dan lahan pertanian, yang memperburuk kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Palestina.
Kelima, Serangan terhadap Jurnalis dan Kebebasan Pers
Kebebasan pers di Palestina dibatasi secara ketat oleh otoritas Israel. Kasus penembakan jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, pada Mei 2022, adalah contoh nyata bagaimana jurnalis menjadi sasaran serangan. Organisasi seperti Reporters Without Borders mencatat lebih dari 144 jurnalis Palestina diserang sejak tahun 2000.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Sepanjang 2023 hingga pertengahan 2024, jumlah jurnalis Palestina yang terbunuh telah mencapai angka signifikan. Sejak 7 Oktober 2023, setidaknya 147 jurnalis telah gugur akibat serangan di Gaza, termasuk di antaranya 100 jurnalis hanya dalam 79 hari pertama konflik tersebut. Konflik ini menjadikan tingkat kematian jurnalis di Gaza dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Jumlah tersebut mencerminkan eskalasi serangan terhadap kebebasan pers dan peliputan konflik di wilayah Palestina, menambah panjang daftar kekerasan yang dihadapi oleh jurnalis di daerah konflik.
Keenam, Penggunaan Kekerasan Berlebihan terhadap Demonstran
Otoritas Israel sering menggunakan kekerasan berlebihan dalam menghadapi demonstrasi damai warga Palestina. Gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam digunakan terhadap demonstran, termasuk anak-anak. Amnesty International melaporkan bahwa antara tahun 2018-2020, lebih dari 200 demonstran Palestina tewas di Jalur Gaza dalam aksi protes “Great March of Return”.
Selain penggunaan gas air mata dan peluru, kekerasan yang diterapkan oleh pasukan Israel juga mencakup penahanan sewenang-wenang dan pemukulan terhadap demonstran, termasuk perempuan dan anak-anak. Selama protes “Great March of Return” pada 2018-2020, selain lebih dari 200 tewas, ribuan lainnya mengalami luka-luka, termasuk tembakan langsung ke arah tubuh, yang jelas melanggar standar hak asasi manusia internasional. Amnesty International dan organisasi hak asasi manusia lainnya mengutuk tindakan ini sebagai pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan hak untuk berkumpul secara damai
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Ketujuh, Blokade Jalur Gaza
Sejak 2007, Israel menerapkan blokade ketat terhadap Jalur Gaza yang membatasi masuknya bahan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar. Blokade ini menyebabkan krisis kemanusiaan akut, dengan lebih dari 2 juta penduduk Gaza hidup dalam kondisi yang mirip penjara terbuka. Blokade ini dikutuk oleh PBB sebagai bentuk hukuman kolektif, yang dilarang dalam hukum internasional.
Blokade Gaza juga menghalangi pembangunan infrastruktur vital seperti rumah sakit, sekolah, dan sistem sanitasi. Keterbatasan pasokan listrik, air bersih, dan akses ke perawatan medis semakin memperburuk krisis kemanusiaan. PBB dan organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch mengutuk blokade ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hukuman kolektif yang menyebabkan penderitaan luas bagi penduduk Gaza
Kedelapan, Penangkapan dan Penahanan Anak-anak
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Israel secara rutin menangkap dan menahan anak-anak Palestina, sering kali tanpa proses hukum yang adil. Setiap tahun, sekitar 500-700 anak Palestina diadili di pengadilan militer Israel. Praktik ini bertentangan dengan Konvensi Hak Anak yang menjamin perlindungan khusus bagi anak di bawah umur.
Pada paruh pertama tahun 2023, lebih dari 570 anak Palestina ditangkap oleh pasukan Israel, termasuk 29 anak di bawah usia 12 tahun. Mereka sering diperlakukan kasar, dengan pemukulan dan ancaman, serta penahanan dalam kondisi yang buruk. Hukum Israel kini memungkinkan penahanan anak-anak di bawah usia 12 tahun, yang bertentangan dengan konvensi internasional yang melindungi anak-anak.
Kesembilan, Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi
Lembaga HAM seperti B’Tselem dan Human Rights Watch telah mendokumentasikan penyiksaan terhadap tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. Metode penyiksaan termasuk pemukulan, isolasi berkepanjangan, dan penundaan akses ke pengacara. Praktik ini jelas melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan PBB.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Pada tahun 2023-2024, penyiksaan terhadap tahanan Palestina di penjara Israel meningkat, dengan lebih dari 40 tahanan dilaporkan meninggal akibat perlakuan buruk seperti pemukulan dan isolasi. Banyak tahanan yang tidak diberi akses ke pengacara, dan penahanan sering dilakukan tanpa dakwaan jelas. Penyiksaan ini terus memicu kecaman internasional atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di fasilitas penahanan Israel.
Kesepuluh, Pembunuhan Ekstra-yudisial
Israel kerap melakukan pembunuhan ekstra-yudisial terhadap aktivis dan warga sipil Palestina yang dicurigai sebagai ancaman. Serangan ini sering menimbulkan korban jiwa dari kalangan warga sipil, termasuk anak-anak. Praktik ini dianggap ilegal oleh hukum internasional karena melanggar hak atas pengadilan yang adil.
Tindakan ini biasanya dilakukan oleh pasukan Israel terhadap warga Palestina yang dicurigai terlibat dalam aktivitas perlawanan. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan menyebutkan bahwa serangan yang menargetkan individu yang dianggap sebagai ancaman terhadap negara Israel sering menyebabkan kematian, termasuk di kalangan warga sipil, bahkan anak-anak. Praktik ini secara jelas bertentangan dengan hukum internasional yang melarang pembunuhan tanpa pengadilan yang sah.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Kesebelas, Diskriminasi Sistemik
Warga Palestina yang tinggal di Israel menghadapi diskriminasi sistemik di bidang perumahan, pendidikan, dan pekerjaan. Undang-undang Negara-Bangsa Yahudi 2018 menegaskan bahwa hanya orang Yahudi yang memiliki hak penentuan nasib sendiri di Israel. Kebijakan ini menciptakan sistem apartheid, memperburuk ketimpangan ini dengan menetapkan bahwa hanya orang Yahudi yang memiliki hak penentuan nasib sendiri, yang menciptakan sistem apartheid, seperti yang dilaporkan oleh Human Rights Watch dan Amnesty Internationalsebagaimana dilaporkan oleh Human Rights Watch dan Amnesty International.
Keduabelas, Pembatasan Akses ke Tempat Ibadah
Zionis Israel sering membatasi akses warga Palestina ke tempat-tempat suci seperti Masjid Al-Aqsa. Pembatasan ini memicu ketegangan dan bentrokan, terutama saat perayaan keagamaan. Kebijakan ini melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh Pasal 18 DUHAM.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Pembatasan akses warga Palestina ke Masjid Al-Aqsa semakin ketat sepanjang 2023-2024, terutama pada periode keagamaan seperti Ramadhan. Kebijakan ini sering memicu bentrokan antara warga Palestina dan aparat Israel. Otoritas Israel, di bawah pemerintahan sayap kanan, membatasi masuknya jemaah dengan dalih keamanan, meskipun badan internasional dan kelompok HAM mengutuk kebijakan ini sebagai pelanggaran kebebasan beragama. Hamas menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk provokasi yang dapat meningkatkan eskalasi konflik di Yerusalem Timur dan wilayah lainnya.
Ketigabelas, Penggunaan Senjata Terlarang
Dalam berbagai serangan militer, Israel diduga menggunakan senjata yang dilarang, seperti bom fosfor putih, yang dapat menyebabkan luka bakar parah pada warga sipil. Penggunaan senjata ini melanggar hukum humaniter internasional yang melarang penggunaan senjata yang tidak membedakan antara kombatan dan non-kombatan.
Pada 2023, militer Israel diduga menggunakan fosfor putih dalam serangan di Gaza dan Lebanon, menyebabkan luka bakar serius pada warga sipil. Meski Israel mengklaim penggunaannya untuk tujuan kamuflase, fosfor putih di area padat penduduk tetap melanggar hukum humaniter internasional. Amnesty International mengecam tindakan ini dan menyerukan penyelidikan atas potensi kejahatan perang.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Keempatbelas, Penggusuran Lahan Pertanian
Ribuan hektar lahan pertanian milik warga Palestina telah dirampas atau dihancurkan oleh Israel untuk kepentingan pemukiman ilegal dan proyek militer. Tindakan ini merampas mata pencaharian warga Palestina dan melanggar hak ekonomi mereka yang dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Sepanjang 2023-2024, penggusuran lahan pertanian Palestina terus meningkat. Ribuan hektar tanah dihancurkan atau dibakar oleh pemukim Israel dan militer untuk proyek permukiman ilegal, terutama di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pohon zaitun, sumber mata pencaharian utama, sering menjadi sasaran penghancuran. Tindakan ini memperburuk krisis ekonomi dan melanggar hak ekonomi warga Palestina yang dijamin oleh hukum internasional.
Kelimabelas, Serangan terhadap Fasilitas Kesehatan
Serangan terhadap rumah sakit, ambulans, dan tenaga medis di wilayah Palestina adalah pelanggaran HAM yang serius. Dalam konflik 2021, serangan udara Israel merusak lebih dari 20 fasilitas kesehatan di Gaza. Serangan ini melanggar Konvensi Jenewa yang melindungi fasilitas medis dalam konflik bersenjata.
Dalam beberapa tahun terakhir, serangan terhadap fasilitas kesehatan di Palestina meningkat signifikan. Pada 2023 dan 2024, serangan Israel terhadap rumah sakit, ambulans, dan tenaga medis di Gaza menjadi perhatian serius lembaga internasional. WHO mencatat lebih dari 300 serangan terhadap fasilitas kesehatan sejak Oktober 2023, termasuk penghancuran rumah sakit Al-Shifa dan RS Indonesia. Serangan ini berdampak buruk terhadap layanan medis dan menyebabkan ribuan warga sipil kehilangan akses ke perawatan kesehatan yang mendesak. PBB mengecam serangan ini sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa, yang melindungi fasilitas medis dalam situasi konflik bersenjata. Para ahli HAM juga mendesak agar serangan ini dihentikan dan pertanggungjawaban ditegakkan segera.
Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina terus menciptakan krisis kemanusiaan yang mendalam. Dari pembatasan kebebasan bergerak hingga serangan terhadap fasilitas kesehatan, serangkaian tindakan ini mengabaikan hukum internasional dan hak dasar warga Palestina. Organisasi seperti PBB dan Human Rights Watch telah berulang kali mengutuk praktik ini sebagai pelanggaran serius yang perlu mendapatkan perhatian dan tindakan tegas dari komunitas internasional.
Untuk mencapai perdamaian yang adil, penting bagi dunia internasional untuk memastikan akuntabilitas melalui sanksi dan penyelidikan independen. Dukungan terhadap hak-hak Palestina harus diperkuat untuk memastikan bahwa pelanggaran ini tidak berlangsung tanpa konsekuensi. Hanya dengan penegakan hukum internasional dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, perdamaian yang berkelanjutan dapat terwujud di wilayah ini.[]
Mi’raj News Agency (MINA)