DI TENGAH hiruk-pikuk pasar, di mana uang dan barang berpindah dengan cepat, Islam datang membawa cahaya keadilan. Nabi Muhammad ﷺ sebelum menjadi rasul, adalah pedagang yang dijuluki Al-Amin (yang terpercaya).
Julukan itu bukan sekadar gelar, melainkan cermin bagaimana seharusnya perdagangan dijalankan: jujur, transparan, dan penuh tanggung jawab. Tapi tengoklah pasar hari ini, apakah masih ada sisa-sisa kejujuran itu?
Allah ﷻ berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Baca Juga: Antara Gaya Hidup dan Kebutuhan Hidup: Menyadari Kesalahan yang Sering Tak Disadari
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Ayat ini tegas membedakan antara perdagangan yang halal dan sistem riba yang menghancurkan.
Tapi lihatlah, bagaimana dunia justru dibangun di atas riba! Bank-bank menggurita, kartu kredit menjerat, dan utang berbunga menjadi candu masyarakat.
Padahal, Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan,
Baca Juga: Belajar Menjadi Manusia Bijak dan Rendah Hati
لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ
“Allah melaknat pemakan riba, pemberi riba, dan pencatatnya.” (HR. Muslim).
Dulu, di pasar Madinah, Nabi ﷺ berjalan mengawasi timbangan. Beliau mengingatkan,
وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ
Baca Juga: Sukses Versi Dunia, Tapi Gagal di Akhirat: Masih Mau?
“Timbanglah dengan timbangan yang lurus.” (QS. Al-Isra’: 35).
Tapi sekarang? Barang dipalsukan, harga digelembungkan, dan iklan menipu mata. Pedagang kecil terinjak-injak oleh raksasa korporasi yang memonopoli pasaran, padahal Islam dengan tegas melarang ihtikar (penimbunan).
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“Siapa yang menimbun, ia telah berdosa.” (HR. Muslim).
Baca Juga: Sibuk Cari Cuan, Tapi Tak Sempat Baca Al-Qur’an: Hidup Macet di Akhirat!
Lalu ada nasib buruh, para pekerja yang keringatnya diperas tapi upahnya tak sebanding.
Nabi ﷺ bersabda,
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).
Baca Juga: GIIAS 2025 Tawarkan Inovasi Otomotif
Tapi di pabrik-pabrik modern, upah minimum saja kerap tak cukup untuk hidup, sementara direksi menikmati bonus miliaran.
Lantas, bisakah kita kembali ke perdagangan yang berkah? Islam punya jawabannya: akad syar’i seperti mudharabah dan musyarakah, pasar yang diawasi dengan ketat, serta kesadaran kolektif untuk menolak riba dan kecurangan.
Ini bukan sekadar mimpi, tapi kewajiban. Sebab, seperti sabda Nabi ﷺ,
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
Baca Juga: Kemnaker Pererat Kerja Sama Strategis dengan Prefektur Kumamoto Jepang
“Pedagang yang jujur akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi).
Pilihan ada di tangan kita, terus membiarkan pasar dikuasai ketamakan, atau berjuang untuk mewujudkan perdagangan yang adil, seperti yang diajarkan Islam.
Karena sesungguhnya, di balik setiap transaksi yang jujur, ada keberkahan yang turun dari langit. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Uang, Utang, dan Gaya Hidup Konsumtif