Dai Aceh paparkan Sebab Umat Islam Marah Jika Al-Quran Dilecehkan

(Gema Baiturrahman)

Banda Aceh, 12 Rabi’ul Awwal/12 Desember 2016 (MINA) – Umat akan merasa sangat marah dan bereaksi keras melawan pihak-pihak yang melakukan pelecehan dan ‎penistaan terhadap Al-Quran sebagai kitab suci yang merupakan mukjizat terbesar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Lantas apa penyebab umat Islam marah, apalagi jika sampai ada yang mengatakan umat Islam jangan mau dibohongi dengan ajaran Al-Quran, staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry,‎ Ustaz Dr H Mizaj Iskandar Usman Lc LLM ‎memaparkannya dalam pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu malam lalu.

Pengajian yang dimoderatori Teuku Farhan ini mengangkat tema, “Sejarah hancurnya umat dan bangsa maju terdahulu,” demikian keterangan pers yang diterima MINA.

‎Menurut dia, Al-Quran secara sederhana sering didefinisikan sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tidak ada yang salah dengan definisi ini, namun jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya Al-Quran lebih dari sekadar kalamullah.

Menurut Mizaj, Al-Quran merupakan ide-ide dan cita-cita dari Tuhan semesta alam yang diperuntukkan sebagai petunjuk bagi segenap umat manusia (hudan linnas) dan petunjuk bagi orang yang bertakwa (hudan lil muttaqin).

“Tuhan sebagai zat yang maha mutlak, absolut dan distingtif memiliki ide dan cita-cita yang juga mutlak, absolut dan distingtif yang sulit sekali dipahami manusia biasa pada umumnya. Karenanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memilih seorang manusia yang memiliki kemampuan di atas rata-rata manusia yang lain untuk dapat menampung ide dan cita-cita Tuhan Yang Maha Mutlak, absolut dan distingtif tersebut, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,” ujarnya.

Ide dan cita-cita Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut kemudian mengambil dua bentuk melalui lisan atau ucapan Nabi Muhammad Mizaj, yaitu, Pertama, Al-Quran, dan kedua, hadis Mizaj. Kedua-duanya sering dibahasakan oleh ulama sebagai wahyu yang berkelindan di dalam diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

“Dari penjelasan tersebut, dapat difahami secara filosofis-teofanik kenapa umat muslim begitu marah jika Al-Quran dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dilecehkan. Karena Al-Quran sebenarnya tidak sebatas kalamullah yang telah mengambil bentuk di dalam bahasa Arab verbal, namun lebih dari itu merupakan pengejawantahan ide-ide dan cita-cita sejati Tuhan semesta alam untuk makhluknya yang bernama manusia. Namun terkadang manusia tidak menyadari hal itu, sehingga kitab petunjuk tersebut sering diabaikan dan terabaikan,”‎ imbuh Wakil Ketua Bidang Litbang Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh ini.

‎Kemudian, kata Mizaj Iskandar, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai satu-satunya manusia yang mampu menangkap secara langsung semua ide-ide dan cita-cita tersebut merupakan makhluk suci (ma’shum) yang melaluinya kita dapat mengetahui ide-ide dan cita-cita tersebut. “Tanpa mediasi dari Nabi Muhammad sukar bagi kita mengetahui dan mengenal Tuhan Sang Maha Pencipta (law la murabbi ma ‘araftu rabbi).”

Pada periode dakwah Mekkah, Nabi Muhammad menyebarkan ide-ide dan cita-cita tersebut di sebuah rumah dari salah seorang sahabatya, Darul Arqam. Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, Rasulullah membangun Masjid Nabawi yang selain digunakan sebagai tempat ibadah, juga digunakan sebagai sentral penyebaran ide-ide dan cita-cita Tuhan.

Pada tahun 6 Hijriah, terdapat sekitar 80 orang sahabat Nabi yang secara khusus mempelajari ide-ide dan cita-cita Tuhan, salah seorang diantaranya bernama Abu Hurairah. Rasulullah kemudian menyediakan tempat khusus bagi mereka pada empat shaf dari belakang Masjid Nabawi, yang lebih dikenal dengan sebutan Shuffah.

Pada masa Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga, terjadi perluasan Masjid Nabawi, saat itu penuntut ide-ide dan cita-cita Tuhan (penuntut ilmu) “tergusur” dari Shuffah. Sebagai gantinya, khalifah Usman menyediakan pojokan-pojokan (zawiyah, Aceh: dayah) sebagai sentral baru penyebaran ide-ide dan cita-cita tersebut.

Kemudian pada masa dinasti Bani Umayyah berkuasa, kembali Masjid Nabawi diperluas. Perluasan kembali menyebabkan “digusurnya” para penuntut ilmu. Oleh penguasa dinasti Bani Umayyah, para penuntut ilmu ini direlokasi pada suatu tempat yang dikenal dengan ribath, yaitu bangunan khusus yang dinding-dindingya masih melekat dengan Masjid Nabawi.

Pada akhirnya, ketika dinasti Bani Abbasiyah berkuasa, kembali Masjid Nabawi diperluas. Perluasan ini kembali mengharuskan para penuntut ilmu direlokasi dari ribath. Penguasa dinasti Bani Abbasiyah akhirnya membangun funduq-funduq (pondok-pondok) yang bangunannya sudah bergeser jauh dan tidak lagi melekat dengan Masjid Nabawi. Saat ini, funduq-funduq tersebut telah berubah fungsi menjadi penginapan bagi jamaah haji dan umrah (hotel).

Dalam konteks keacehan, ulama-ulama Aceh dulu lebih senang menggunakan istilah dayah (zawiyah) sebagai sentral penyebaran ide dan cita-cita Tuhan. Di mana ulama-ulama di tanah Jawa lebih senang mengambil istilah pondok (funduq) sebagai central penyebaran ide dan cita-cita tersebut. (L/R05/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.