Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dai Aceh: Pemimpin Muslim Jati Diri Umat Islam

Rana Setiawan - Sabtu, 15 Oktober 2016 - 09:55 WIB

Sabtu, 15 Oktober 2016 - 09:55 WIB

387 Views

(KWPSI)

Banda Aceh, 14 Muharram 1438/15 Oktober 2016 (MINA) – Dai Aceh Mutiara Fahmi,Lc,MA mengatakan, kepemimpinan Muslim adalah salah satu aspek sangat penting yang menjadi identitas dan jatidiri bagi umat Islam

“Merupakan hal serius dan luas dampaknya dalam menjaga dan menyelamatkan agama. Bahkan karena sangat penting, salah satu bagian dari topik kepemimpinan yang banyak dibahas dalam Al-Quran adalah soal larangan memilih non Muslim untuk memimpin kaum Muslimin yang sangat terang-benderang, ujar Ketua Prodi Hukum Tata Negara/Politik Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry‎‎, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Rabu (12/10) malam.

Ia menegaskan, tidak cukup dengan kalimat bernada anjuran, ayat-ayat yang menjelaskan soal ini bahkan disampaikan dengan bahasa perintah dan larangan yang sangat tegas. Tidak hanya sampai di sana, beberapa ayat bahkan disertai dengan ancaman yang sangat serius bagi yang melanggarnya.

“Ini bukan hal biasa dan jangan dianggap sepele. Kepemimpinan Islam itu bagian dari aqidah dan keimanan seorang Muslim. Bahkan Al-Quran mengancam barang siapa yang memilih pemimpin kafir, maka dia bagian dari si kafir. Jadi bukan masalah sederhana,” ujar Mutiara Fahmi yang juga Wakil Ketua Badan Koordinasi Muballigh Indonesia (Bakomubin)‎ Aceh.

Baca Juga: Guru Tak Tergantikan oleh Teknologi, Mendikdasmen Abdul Mu’ti Tekankan Peningkatan Kompetensi dan Nilai Budaya

Kesepakatan para ulama salaf dalam memahami ayat tersebut juga menunjukkan ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin non Muslim bagi kaum Muslimin telah menunjukkan derajat mutawattir (disepakati), sehingga tidak muncul perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan mereka.

‎Menurutnya, keharaman pemimpin non-Muslim dapat ditemukan bukan hanya dalam Al-Quran tapi juga dari semua sumber hukum Islam yang disepakati yaitu sunnah, ijma’ dan qiyas. Jadi ayat itu bukan multi tafsir seperti yang diklaim selama ini.

Karena memilih pemimpin itu tidak hanya mencakup dimensi duniawi, lebih dari itu juga memiliki dimensi aqidah (ukhrawi). Karenanya, tidak selayaknya seorang Muslim masih menggunakan dasar dan acuan lain selain yang telah jelas dan tegas disebutkan dalam kitab sucinya Al-Quran, jika mereka benar-benar mengaku orang yang beriman.

Ia menjelaskan, dari belasan ayat Al-Quran yang mengharamkan pemimpin non Muslim dipilih oleh orang Islam, salah satunya Surat Al-Maidah ayat 51 menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian), sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa dianta­ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

‎Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggunakan pilihan kata pemimpin dengan kata Walu. Padahal ada begitu banyak padanan kata pemimpin dalam bahasa Arab selain kata wali. Misalnya kata Amir, Raa’in, Haakim, Qowwam, Sayyid dan sebagainya.

Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Ilmu Senjata Terkuat Bebaskan Al-Aqsa

“Mengapa Allah gunakan pilihan kata pemimpin dalam ayat tersebut dengan kata Wali? Karena secara bahasa, kata Wali memiliki akar kata yang sama dengan kata wilaayatan (wilayah/daerah). Karena itu, penggunaan kata wali mengindikasikan definisi pemimpin yang dimaksud ayat tersebut pemimpin yang bersifat kewilayahan. Dengan kata lain, non Muslim yang dilarang umat Islam memilihnya menjadi pemimpin adalah pemimpin yang menguasai suatu wilayah mayoritas kaum Muslimin,” jelas Ustaz Mutiara yang juga unsur pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee.

Jika ditelusuri, pengecualian bolehnya menjadikan pemimpin non muslim hanya dalam keadaan darurat yaitu, jika kaum Muslim dalam kekuasaan/pengaruh kuat Nasrani/Yahudi, dikhawatirkan keselamatan jiwa kaum Muslimin terancam. Maka boleh mengakui pemerintahannya dengan lisan kita, sedangkan hati tidak, serta tidak mengikuti kekafiran mereka.

“Pada masa Daulah Usmaniyah memang pernah mengangkat pemimpin non muslim tapi itu hanya untuk wilayah yang mayoritas penduduknya juga non Muslim,” terangnya.

Sementara itu, terhadap penilaian sejumlah pihak yang mengklaim bahwa selama ini pemimpin non muslim lebih baik kinerjanya dalam pemerintahan ketimbang Muslim, Ustaz Mutiara tidak sepakat dengan pernyataan tersebut.

“Karena, meskipin manusia menilainya baik, tapi tidak ada kemuliaan atas orang yang telah Allah hinakan‎ dengan kekafiran mereka. Jika pun ada satu dua kelebihan pada non muslim dengan keahliannya, maka segera siapkan orang muslim yang lebih mulia di mata Allah, untuk gantikan posisi dan keahlian non Muslim tersebut,” katanya.

Baca Juga: Kunjungi Rasil, Radio Nurul Iman Yaman Bahas Pengelolaan Radio

Karenanya, umat Islam harus istiqamah dalam memilih pemimpin sesuai tuntunan Alquran karena tanpa istiqamah dan teguh pendirian tidak akan ada agama, dan umat Islam juga akan ditindas oleh orang di luar Islam karena tidak patuh perintah Allah.‎ (T/R05/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Transaksi Judi Online di Indonesia Mencapai Rp900 Triliun! Pemerintah Siap Perangi dengan Semua Kekuatan

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
Kolom
Kolom
Indonesia
Kolom