Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dakwah Itu Memanusiakan Manusia (oleh Shamsi Ali, New York)

Septia Eka Putri - Kamis, 16 November 2017 - 23:45 WIB

Kamis, 16 November 2017 - 23:45 WIB

124 Views ㅤ

(Foto: Istimewa)

(Foto: Istimewa)

Oleh Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation

Dakwah itu adalah ajakan kepada Tuhan (da’wah ilaa Allah). Sehingga esensi utama dari dakwah adalah agar manusia bisa kembali ke jalan Tuhan. Jalan Tuhan inilah yang lebih populer dalam bahasa agama dengan fitrah. Maka dakwah adalah ajakan kepada manusia untuk kembali ke fitrah asalnya. Yaitu mengakui Tuhan dalam hidupnya dan dengan segala konsekwensi, termasuk mentaati ajaranNya.

Maka dalam berdakwah esensi ketuhanan menjadi fokus. Ketuhanan yang mengajarkan kejujuran dan keikhalasan, kesucian, kesakralan, kebesaran, dan kemaha kuasaan dalam segala hal. Ketuhanan juga mengajarkan kecintaan, kasih sayang, kelembutan, kemaafan, dan pengampunan.

Esensi ketuhanan di atas dalam dakwah juga akan terlihat dalam memperlakukan “mad’u” atau obyek dakwah. Satu di antara yang terpenting adalah bahwa dakwah itu memanusiakan manusia. Dakwah bukan merendahkan, bukan menyakiti, bukan menghina, bukan mengusir. Tapi justeru mengajak manusia untuk kembali kepada kemanusiaan sejatinya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Dengan dakwah manusia akan menjadi manusia yang sesungguhnya. Yaitu manusia yang memiliki “nurani” yang senantiasa suci. Dan dengan nurani suci itu manusia akan menjalani hidup dengan pertimbangan kesucian (ketuhanan).

Suatu ketika seorang pemuda meminta izin kepada Rasulullah untuk melakukan kekejian (zina). Rasulullah SAW tidak memarahi, tidak pula merendahkan, apalagi mencaci, menghina dan mengusirnya. Justeru Rasulullah mengajaknya kembali kepada pertimbangan nuraninya. Dengan mengingatkan bahwa nurani manusia (kesucian atau fitrah) menolak untuk melakukan seperti itu. Hanya saja di saat itu nuraninya sedang tertimbun oleh keangkuhan egoisme dan hawa nafsu. Dan oleh karenanya yang perlu dilakukan oleh Rasul adalah membesarkan nuraninya sehingga mampu mengalahkan kecenderungan ego dan hawa nafsunya.

Menurut kisah, pemuda itu menjadi salah seorang pemuda yang paling bertakwa di Madinah.

Di kota New York seorang sopir limo pernah menelpon saya dan menyanpaikan jika salah seorang langganannya ingin belajar Islam. Singkat cerita saya menerima orang itu di kemudian hari, dan terjadilah dialog berikut. Saya menyebutnya “sahabat”.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Saya: Selamat datang. Apa yang bisa saya bantu?
Sahabat: Saya mau belajar Islam
Saya: Agamamu apa?
Sahabat: Saya terlahir Katolik, lalu pindah ke Kristen (Protestan). Tapi saat ini saya mengikuti ajaran Budha.
Saya: Apakah Anda biksu? (Dia memakai baju biksu).
Sahabat: Tidak. Saya bukan biksu.
Saya: Kenapa memakai baju biksu?
Sahabat: Karena saya ingin menghormati Anda sebagai Imam. (Rupanya dia menyangka bahwa menghadap Imam itu harusnya dengan pakaian tradisional agama).
Saya: Terima kasih. Tapi saya memakai pakaian apa saja asal menutup aurat.

Singkat cerita saya tanya teman itu: “Apa yang menjadikan Anda ingin belajar Islam?”.

Jawabnya cukup panjang: “Sebagai seorang Budha, setiap kali saya dahaga secara spiritual (ruh) saya bermeditasi. Setelah itu saya merasa puas. Tapi ketika saya kembali ke duniaku, saya kembali hilang (tersesat). Saya ingin sebuah agama yang bisa membimbing saya 24 jam dalam hidup saya.

Saya kemudian mengambil kendali. Saya paham bahwa orang ini mencari acuan hidup yang riil dan praktis. Maka saya menjelaskan bagaimana Islam membimbing hidup kita dari pagi hingga malam dan dari malam hingga kembali bangun tidur. Semua ada acuannya secara lengkap.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Tapi tiba-tiba saja dia memotong pembicaraan saya: “Sorry, but do you think I can be accepted a Muslim?”.

Terus terang saya menyangka karena dosa-dosa, termasuk tattoo yang memenuhi badannya. “Kalau Anda menerima Islam maka semua kesalahan dan dosa masa lalu Anda akan dimaafkan. Anda bahkan saat itu menjadi lebih baik dari saya,” kata saya.

Dia diam sehingga saya lanjutkan pembicaraan mengenai Islam dan petunjuk hidup. Beberapa menit kemudian dia kembali menyela: “Apa benar saya bisa diterima menjadi seorang Muslim?”

Saya terkejut dengan pertanyaan itu. Maka saya bertanya balik: “Kenapa Anda bertanya seperti itu?”

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Tiba-tiba dengan suara agak besar dia menyampaikan: “Because I a gay!”

Mendengar itu saya diam sejenak. Mencoba menenangkan diri dan menarik nafas. Lalu saya melihat dia dan bertanya: “Sejak kapan Anda merasakan hal ini?”

“Sejak saya memulai bisnis saya,” jawabnya singkat.

“Apa bisnis Anda?” tanya saya.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

“I am a fashion show model,” jawabnya singkat.

Saya kemudian menanyakan masa lalunya sebelum terjun ke dunia bisnis. Ternyata dia pernah punya pacar wanita, bahkan (maaf) telah tidur bersama. Maka saya kemudian mengatakan kepadanya: “Kalau begitu Anda pernah berubah” (dari pria normal ke banci). Saya ingin tanya Anda: “Apakah Anda mau kembali melakukan perubahan?”

Dia nampak diam sejenak dan dengan mengangguk menjawab: “Yes I will.”

Saya kemudian mengatakan kepadanya bahwa menjadi seorang Muslim itu bukan sekedar berpindah agama. Tapi sebuah komitmen untuk melakukan perubahan hidup.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Singkat cerita teman ini mengikrarkan syahadat. Beberapa bulan kemudian di bulan Ramadan beliau menelpon saya dan menyampaikan bahwa dia semakin merasa tenang dalam hidupnya.

Bahkan dua tahun kemudian teman ini betul-betul menemukan kembali jalan hidupnya. Dia menemukan jodohnya melalui biro jodoh internet. Seorang wanita Maroko. Kini dia hidup dengan isterinya di Maroko dan New York. Diapun telah meninggalkan bisnis modelnya dan memulai bisnis baru.

Poin yang terpenting dari cerita ini adalah bahwa dakwah itu memang selalu melihat sisi positif manusia. Jangan pernah merendahkan seseorang karena salah dan dosa sebesar apapun itu. “Dan kasih sayang-Ku meliputi semuanya”, firman-Nya.

Berdakwahlah dengan niat dan pikiran positif. Dengan itikad dan tujuan positif. Dengan penyampaian dan bahasa positif. Dan dengan raut wajah dan karakter positif. Insya Allah hasilnya akan jauh lebih positif. Amin!

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

New York, 16 Nopember 2017

(R07/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

“Saudaraku, bantu wujudkan pesantren pertama di bumi Amerika. Donasi Anda akan menjadi bagian dari perjalanan sejarah dakwah di Amerika. Klik berikut: https://kitabisa.com/PesantrenAmerika”.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Jazakumullah ahsanal jazaa!

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
MINA Health
Kolom
Kolom
Indonesia
Kolom
Kolom
Khadijah