Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dakwah Tanpa Mimbar: Jejak Tuslim Abdul Saeri Mendidik Jalan Menuju Surga

Mujiburrahman Editor : Rana Setiawan - 31 menit yang lalu

31 menit yang lalu

15 Views ㅤ

Tuslim Abdul Saeri, S.Pd.I., M.M..(Foto: Doc Pribadi)

Di tengah dunia yang hiruk-pikuk oleh gelombang ceramah viral, konten dakwah singkat di media sosial, dan panggung-panggung keagamaan yang gemerlap, ada seorang lelaki yang justru memilih jalan sepi, yakni membina jiwa-jiwa muda dari ruang kelas, lorong pesantren, dan forum pelatihan sumber daya manusia.

Namanya tak sering terdengar, wajahnya tak banyak dikenal publik, namun jejak pengabdiannya tertanam dalam di hati para murid yang ia ajar. Ia tidak sedang mengejar popularitas, tapi keabadian makna. Bagi Ustaz Tuslim Abdul Saeri, seorang guru adalah petani masa depan, menanam hari ini, agar esok ada generasi yang bisa membawa dunia menuju cahaya dan semoga, menggandengnya masuk ke surga.

Jejak hidupnya tidak terlepas dari mendidik dalam diam, menanam nilai dalam kelas, dan menyemai harapan lewat generasi. Namanya Tuslim Abdul Saeri, S.Pd.I., M.M., seorang guru, kepala sekolah, dosen, dan manajer berbagai lembaga pendidikan dan sosial yang kini menapaki jalan dakwah melalui pendidikan dengan komitmen yang nyaris tak tergoyahkan.

Menggenggam Amanah, Menabur Nilai

Baca Juga: Teungku Chik Lamjabat, Ulama Besar Aceh Penandatangan Seruan Jihad

Ustaz Tuslim Abdul Saeri bukanlah nama yang sering menghiasi panggung-panggung seminar nasional atau debat publik keagamaan. Namun kontribusinya menjalar hingga ke relung-relung paling mendasar masyarakat, yaitu lembaga pendidikan.

Saat ini, ia dipercaya mengelola tiga institusi strategis, yakni Nizamia Andalusia International School yang berafiliasi dengan sekolah-sekolah internasional, dan Sekolah Nurul Islam di Jakarta Timur. Selain itu, Assyifa Islamic Center di Cikampek, sebuah pusat dakwah dan pendidikan yang membawahi 33 perusahaan dengan lebih dari 560 karyawan.

“Dakwah tidak selalu harus dari mimbar. Bagi saya, pendidikan adalah medan dakwah yang sesungguhnya. Ia sunyi, namun berkelanjutan. Ia lambat, namun membekas,” ujar Ustaz Tuslim saat ditemui wartawan Kantor Berita MINA, Mujiburrahman, di kediamannya di Jakarta Timur, Senin (12/5/2025).

Ustaz Tuslim percaya bahwa dakwah terbaik adalah keteladanan nyata. Di Assyifa Islamic Center, ia merancang dan mengelola program pelatihan spiritual yang tak hanya ditujukan bagi pelajar, tetapi juga para pemimpin perusahaan, staf, hingga karyawan menjelang pensiun. Program itu terbagi dalam empat paket: A, B, C, dan D.

Baca Juga: Abuya Nasir Waly, Ulama Kharismatik dari Labuhan Haji

Paket A dirancang untuk para pemimpin dengan pendekatan Quran Learning, Financial Awareness, dan integritas amanah melalui konsep FAST: Finansial, Amanah, Strong, Trust. “Kepemimpinan bukan hanya soal strategi, tapi juga spiritualitas,” ujarnya.

Paket B ditujukan untuk para staf dan karyawan dengan semangat “bekerja bukan untuk lelah, tapi untuk Lillah.” Dengan pendekatan ini, ia ingin setiap individu menemukan nilai ibadah dalam pekerjaannya.

Sementara itu, Paket C ditujukan bagi karyawan yang hendak pensiun, agar masa purnabakti bukan sekadar akhir perjalanan profesional, tetapi awal dari kehidupan yang bermanfaat secara spiritual dan sosial.

Paket D menyasar pelajar SD hingga mahasiswa, dengan penekanan pada penguatan rohani dan akhlak, agar menjadi insan yang tak hanya cerdas intelektual, tapi juga tangguh secara moral dan iman. Selain itu, paket ini untuk mengembalikan generasi pada fitrahnya memiliki kembali logika, etika dan estetika.

Baca Juga: Allamah Muhammad Iqbal, Penyair Muslim di Balik Kemerdekaan Pakistan

Ustaz Tuslim menyampaikan, paket ini tidak sekadar membentuk karakter, melainkan mengembalikan manusia pada hakikatnya. Di tengah era yang penuh distraksi dan kegaduhan moral, generasi hari ini membutuhkan ruang untuk berpikir jernih, bersikap benar, dan mencintai keindahan dalam makna yang hakiki.

Menurutnya, melalui pendekatan edukatif yang menyentuh akal, hati, dan rasa, program ini berupaya menumbuhkan kembali tiga pilar dasar kemanusiaan: logika agar generasi mampu berpikir kritis dan solutif, etika agar hidup dijalani dengan tanggung jawab dan nilai, serta estetika agar mereka kembali mengenal dan menciptakan keindahan yang membangun, bukan yang merusak.

“Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya soal kecerdasan, tetapi tentang mengasah rasa, menguatkan moral, dan menghidupkan kembali nurani yang sering kali tertidur oleh hiruk-pikuk zaman,” ujar Ustaz Tuslim.

Dari Pesantren Kecil di Cilacap ke Sekolah Internasional

Baca Juga: Abdullah Syafi’ie, Ulama Betawi Pendiri Pesantren Assyafiiyah

Perjalanan Tuslim dimulai jauh sebelum ia dikenal sebagai pengelola institusi besar. Ia pernah mengabdi selama 11 tahun di Pondok Pesantren Al-Fatah, Maos, Cilacap, Jawa Tengah, sebuah pesantren yang lebih dikenal karena kesederhanaannya daripada popularitasnya. Ia juga pernah mengajar, mendampingi santri, dan menulis buku pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk tingkat SD hingga SMA IT Buah Hati Karawang.

“Dulu saya berdakwah lewat papan tulis. Hari ini saya berdakwah lewat manajemen, tapi esensinya sama: membentuk manusia beriman,” kenangnya.

Ketekunan itu kini berbuah. Di bawah manajemennya, Nizamia Andalusia berkembang sebagai sekolah dengan kurikulum terpadu internasional dan Islami, sementara Assyifa Islamic Center menjadi pionir dalam integrasi spiritualitas dan manajemen perusahaan di Indonesia.

Dia meyakini bahwa membangun sekolah sejatinya bukan hanya soal menegakkan dinding dari batu bata, menyusun besi, atau mengokohkan fondasi fisik semata. Sekolah bukan sekadar bangunan, melainkan peradaban. Ia adalah tempat lahirnya pemimpin masa depan, pusat peradaban ilmu, dan medan pembentuk akhlak generasi.

Baca Juga: KH Zainal Mustafa, Ulama Pejuang dari Tasikmalaya

Menurut Ustaz Tuslim, yang terpenting bukan apa yang terlihat, tetapi fungsi yang dijalankan dan kontribusi yang diberikan. Fungsi sebagai taman ilmu yang menumbuhkan karakter. Kontribusi sebagai cahaya yang menerangi masyarakat. Setiap ruang kelas harus bisa menjadi tempat menyalakan mimpi, bukan hanya memenuhi kurikulum. Setiap guru bukan hanya pengajar, tetapi pembangun jiwa.

“Sebab, bangunan bisa retak, tapi nilai dan keteladanan akan melekat kuat dalam sejarah generasi,” katanya.

Mencari Surga dari Kursi Guru

Ustaz Tuslim bukan tipe dai yang merasa pasti dengan amalannya. Justru, ia kerap mengulang sebuah refleksi pribadi yang menyentuh: “Saya tidak yakin amalan saya cukup untuk membawa saya ke surga. Tapi saya yakin, dari ratusan anak didik saya, pasti ada yang Allah pilih menjadi penghuni surga, dan semoga, saya termasuk yang diajak oleh mereka kelak.”

Baca Juga: Inspirasi Prof. Abdul Fatah El-Awaisi untuk Pembebasan Baitul Maqdis

Pernyataan itu tak hanya mencerminkan kerendahan hati, tetapi juga paradigma dakwahnya yang berorientasi jangka panjang, bahwa seorang guru, sesederhana apapun, punya kemungkinan besar menjadi jembatan menuju ridha Allah melalui murid-muridnya.

Jika harus menyebut satu inspirasi dalam hidupnya, Ustaz Tuslim menyebut ayahandanya. “Beliau selalu bilang: sampaikan apa yang engkau kerjakan, jangan cuma teori. Harus ada bukti nyata.” Nasihat itu ia bawa dalam setiap langkah hidupnya. Ia menghindari retorika kosong, dan memilih untuk bekerja dalam diam. “Karena saya yakin, amal yang diam lebih tahan uji dibanding kata-kata yang menggema tapi cepat menguap,” katanya.

Di balik keteguhan langkahnya mendidik dan membina, Ustaz Tuslim Abdul Saeri juga menyimpan satu petuah sederhana yang terus menggemakan keberanian dalam diamnya: “Nek wedi aja wani, nek wani aja wedi-wedi.” Kalimat dalam bahasa Jawa yang bermakna, “Kalau takut, jangan sok berani. Kalau berani, jangan setengah-setengah takut.” Itulah warisan pesan dari sang ayah yang tak pernah pudar dalam ingatannya. Bukan sekadar nasihat, tetapi kompas hidup yang menuntunnya setiap kali dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dalam dunia pendidikan dan dakwah.

Petuah itu pula yang menguatkannya saat harus melangkah ke medan yang tak banyak dipilih oleh para dai: mendidik generasi dari balik meja kelas, mengelola institusi pendidikan, hingga membina karyawan perusahaan dengan nilai-nilai Qurani. Baginya, keberanian sejati bukan tentang lantang bicara di panggung, tapi tentang konsistensi menanam nilai di ruang-ruang yang sepi tepuk tangan.

Baca Juga: Abah Anom, Ulama Sufi Rehabilitator Bangsa

Menurut Ustaz Tuslim, pendidikan memiliki keunggulan unik sebagai media dakwah. Pertama, ia sistematis dan berkelanjutan. Tidak semua nilai bisa disampaikan dalam satu ceramah, tapi pendidikan memungkinkan pembinaan bertahap dan konsisten. Kedua, pendidikan menjangkau semua kalangan. “Dari anak-anak PAUD hingga pemimpin perusahaan, semua bisa disentuh lewat pendidikan,” tegasnya.

Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi transformasi karakter. Dalam konteks dunia Islam kontemporer yang penuh tantangan moral dan ideologis, model pendidikan seperti yang diusung Ustaz Tuslim sangat relevan.

Dia sadar bahwa tantangan dakwah di era modern jauh berbeda dengan masa lalu. Kini, tantangannya adalah menjaga nilai dalam derasnya arus globalisasi. Itulah mengapa ia memadukan manajemen modern dengan nilai-nilai Islam dalam setiap institusi yang ia kelola.

“Seorang direktur butuh integritas seperti Umar bin Khattab, bukan sekadar kemampuan membaca laporan keuangan,” ujarnya suatu kali dalam sesi pelatihan FAST di Assyifa Islamic Center.

Baca Juga: Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional Indonesia

Dakwah yang Membekas

Dalam dunia yang semakin cepat berubah, sosok seperti Ustaz Tuslim Abdul Saeri mengingatkan kita bahwa perubahan sejati selalu dimulai dari pendidikan. Bahwa dakwah tidak harus disampaikan dengan lantang, tapi bisa menancap dalam lewat proses belajar, keteladanan, dan nilai-nilai yang ditanam setiap hari.

Dia bukan ustaz viral. Tidak punya akun jutaan pengikut. Tapi murid-muridnya hari ini, yang tersebar di berbagai lini masyarakat, adalah saksi nyata bahwa pendidikan adalah jalan sunyi yang mengubah dunia, setahap demi setahap, sejiwa demi sejiwa.

“Selama masih ada anak yang bisa belajar, selama masih ada guru yang mau membimbing, dakwah takkan pernah berhenti,” pungkasnya.[]

Baca Juga: Teungku Ahmad Dewi; Orator Ulung Pendiri Dayah Barisan Teuntra Merah

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: RA Kartini Ingin Menjadi Hamba Allah

Rekomendasi untuk Anda