Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dakwah Tapi Sombong, Sebuah Ironi Di Akhir Zaman

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 6 jam yang lalu

6 jam yang lalu

5 Views

Ilustrasi

INILAH akhir zaman. Ada jutaan kebenaran dianggap aneh dan keanehan dianggap kebenaran. Sesuatu yang samar-samar dianggap benar, sesuatu yang benar-benar sunnah di anggap salah. Banyak penyeru di akhir zaman ini seolah menyeru pada kebenaran, tapi kenyataannya penyeru-penyeru itu justru mengajak pada keburukan. Wasapada, jika tidak, maka akan banyak umat manusia terseret jauh dalam kubangan dosa dan maksiat akibat penyeru-penyeru yang mengajak kepada kesombongan.

Dakwah adalah ibadah mulia, ladang pahala yang tiada henti mengalir hingga hari kiamat. Namun, betapa miris jika ladang itu malah menjadi tempat tumbuhnya benih kesombongan. Kita melihat fenomena akhir zaman: para juru dakwah berbicara tentang tawadhu, tapi dirinya sendiri menjulang tinggi dalam keangkuhan. Padahal, setan yang terusir dari surga bukan karena maksiat, tapi karena kesombongan.

Dakwah bukan panggung pertunjukan, bukan arena mencari pujian atau pengakuan. Namun realitanya, banyak yang menjadikan mimbar sebagai tempat memperbesar ego. Mereka bangga dengan followers-nya, terbuai dengan komentar pujian yang meninabobokan. Lupa bahwa dakwah sejatinya hanya untuk mencari ridha Allah, bukan sorak-sorai manusia.

Rasulullah Mencontohkan Tawadhu’

Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling mulia dan paling layak untuk sombong, tapi justru beliau yang paling tawadhu. Dalam hadis sahih, beliau bersabda: “Barang siapa merendah karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim). Maka aneh jika kita yang bukan siapa-siapa malah tinggi hati karena bisa berbicara beberapa menit di depan kamera.

Pakaian dakwah kadang hanya bungkus luar, tidak mencerminkan isi hati. Sorban, gamis, atau jenggot tebal bukan jaminan hati bebas dari penyakit riya dan ujub. Ibnu Qayyim rahimahullah pernah berkata, “Betapa banyak manusia tersesat karena amal kebaikannya sendiri.” Dakwah yang tidak disertai muhasabah, hanya akan melahirkan dai yang gemar menuding tanpa melihat ke dalam diri.

Kita lihat banyak penceramah yang lantang, tapi ucapannya tak menumbuhkan iman—hanya menyulut kebencian. Nada tinggi bukan jaminan hati bersih. Kadang, kekasaran dibungkus dengan kata “ketegasan”, padahal itu bisa jadi tanda hati yang mengeras oleh sombong. Allah berfirman, “Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh, engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan setinggi gunung.” (Qs. Al-Isra: 37)

Dai sombong sering merasa dirinya paling benar, paling suci, paling lurus. Padahal Allah berfirman, “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32). Orang yang merasa paling suci adalah orang yang telah tertipu dengan dirinya sendiri—terperdaya oleh gemerlap popularitas dakwah.

Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah

Waspada Jebakan Setan

Iblis terlaknat karena ia berkata, “Aku lebih baik daripadanya (Adam).” (Qs. Al-A’raf: 12). Bukankah kalimat seperti itu sering muncul di hati para dai yang merasa lebih tinggi dari jamaahnya? Bahkan kepada sesama dai pun, ia merasa paling unggul, paling “alim”, paling senior. Inilah penyakit berbahaya yang bisa membatalkan pahala tanpa disadari.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Kesombongan adalah penyakit hati yang sangat halus, bisa menjangkiti siapa pun, bahkan ahli ibadah.” Termasuk para dai yang tiap hari menyeru kebaikan. Ia menyangka dirinya menyeru kepada Allah, padahal ia sedang menyeru pada pencitraan dirinya sendiri. Ia bicara atas nama agama, tapi tujuannya agar dilihat lebih mulia dari manusia lainnya.

Tidak sedikit yang terjebak dalam ucapan seperti: “Berkat dakwah saya…”, “Kalau bukan saya, mungkin tak akan berubah…”. Kalimat-kalimat penuh aku, aku, aku. Seolah ia lupa bahwa hidayah milik Allah, bukan hasil dari retorika semata. Dakwah yang benar adalah seperti kata Imam Malik: “Saya bisa saja salah, dan orang lain bisa saja benar. Maka mari kita kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah.”

Baca Juga: Zionis Israel Takut kepada Muslim Sejati

Jika ada orang menasihati, ia langsung membela diri. Jika dikritik, ia merasa diserang. Jika jamaah menegur dengan adab, ia merasa dizalimi. Ini bukan lagi dakwah yang menundukkan hati, tapi dakwah yang melahirkan tirani. Betapa jauh dari akhlak Nabi, yang bahkan kepada musuhnya pun tetap mengedepankan kasih sayang.

Kesombongan bisa muncul dalam banyak bentuk: nada bicara, mimik wajah, sindiran di atas mimbar, hingga unggahan media sosial. Semua jadi celah masuknya setan, jika tidak diiringi ketulusan dan tafakur. Umar bin Khattab pernah berkata, “Celakalah orang yang memperbanyak bicara soal agama, tapi hatinya kosong dari rasa takut kepada Allah.”

Dai sejati bukan yang paling banyak viralnya, tapi yang paling besar takutnya kepada Allah. Ia lebih suka menangis di sepertiga malam daripada berdebat di sosial media. Ia lebih banyak memohon ampunan daripada menyebut jasa-jasanya. Ia tak peduli berapa banyak yang menyukai ceramahnya, yang ia pedulikan hanyalah: diterima atau tidak dakwahnya di sisi Allah.

Allah tidak butuh pembicara hebat. Allah butuh hamba yang ikhlas. Berapa banyak orang sederhana, kata-katanya biasa saja, tapi tulusnya membuat banyak hati bertaubat. Sebaliknya, berapa banyak penceramah bersuara emas tapi hatinya berkarat. Karena sesungguhnya dakwah yang sampai ke hati bukan karena retorika, tapi karena keikhlasan.

Baca Juga: Ini Cara Islam Memberantas Judi Online di Kalangan Rakyat Kecil

Menata Niat sebelum Berbuat

Maka wahai para dai, muhasabahlah sebelum naik ke atas mimbar. Jangan membawa serta ego dan rasa paling benar. Turunlah dari menara keangkuhan, kembalilah menjadi hamba yang hina di hadapan Allah. Karena sehebat apapun ceramah kita, jika sombong masih bercokol, itu bukan dakwah… itu pameran!

Jangan merasa aman dari azab hanya karena kita sedang berdakwah. Bukankah Qarun, Iblis, bahkan Bal’am bin Ba’ura punya ilmu tinggi tapi dilaknat? Kata Imam Ibnul Jauzi, “Celakalah orang yang menjadi jembatan ke surga bagi orang lain, tapi ia sendiri masuk neraka.” Dakwah harus jadi jalan keselamatan, bukan jalan kesesatan yang diselubungi ego.

Mari kita kembali pada fitrah dakwah yang bersih. Ikhlas karena Allah, rendah hati di hadapan manusia. Jika ada pujian, kembalikan kepada-Nya. Jika ada makian, bersabar dan terus memperbaiki diri. Karena sesungguhnya, keberhasilan dakwah bukan dinilai dari viralnya, tapi dari sejauh mana ia mengubah diri dan umat menjadi lebih dekat kepada Allah.

Baca Juga: Ini Ciri Agama yang Benar, Punya Kitab yang Terjaga Keasliannya

Di tengah dunia penuh fitnah ini, marilah kita menjadi dai yang bukan hanya mengajak, tapi juga memberi teladan. Bukan hanya menyeru, tapi juga berbenah. Semoga Allah menjauhkan hati kita dari kesombongan, dan meneguhkan langkah kita dalam dakwah yang penuh keikhlasan. Sebab, hanya dakwah yang dibungkus kerendahan hati yang akan mengantarkan kita ke surga yang tinggi.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.” (Qs. Asy-Syu’ara: 215). Inilah jalan para nabi: dakwah dengan cinta, tawadhu, dan penuh rahmat. Bukan dengan arogansi yang menjauhkan manusia dari hidayah.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Tips Mengatasi Kesedihan, Ini Panduan Spiritual dari Para Ulama

Rekomendasi untuk Anda