TAK SEDIKIT kita melihat dai-dai hebat di atas podium. Dari lidahnya mengalir fasih ayat-ayat Allah, tapi mengapa wajahnya tak memancarkan kelembutan ayat itu? Sang dai berkisah tentang surga dan neraka, tapi mengapa tetangga sendiri justru merasakan neraka dari perangai buruknya?
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (Qs. As-Saff: 2). Bukankah ayat ini turun bukan untuk orang lain, tapi untukmu juga, untuk kita semua? Jangan sampai lisanmu menyeru kebaikan, tapi tangan dan sikapmu mencabik luka hati sesama.
Sungguh ironis, engkau memekik tentang pentingnya sabar, tapi engkau tak bisa sabar menghadapi kritik. Engkau menjeritkan makna adab, tapi komentarmu di media sosial tajam menghujam sesama aktivis dakwah. Nabi SAW bersabda,
Baca Juga: Dua Cara Allah Menambah Nikmat bagi Hamba yang Bersyukur: Kualitas dan Kuantitas
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Tapi engkau berdakwah tanpa membawa akhlak itu, seakan risalah kenabian tak cukup menjadi cermin. Betapa mudah kita menyeru manusia, tapi betapa lalai kita menyeru diri sendiri.
Jika lidahmu pandai membaca Al-Qur’an, maka hatimu pun harus tunduk pada maknanya. Jangan sampai engkau menjadi seperti Yahudi: ahli kitab yang fasih bicara wahyu, tapi membungkus kesombongan dengan dalil. Allah berfirman,
مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُوا ٱلتَّوْرَىٰةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ
“Perumpamaan orang-orang yang diberi Taurat kemudian mereka tidak melaksanakannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab.” (Qs. Al-Jumu’ah: 5).
Jangan-jangan engkau lebih bangga membawa kitab daripada mengamalkannya. Sungguh, berdakwah bukan tentang seberapa keras suara, tapi seberapa lembut hati yang mendengarnya.
Baca Juga: Taklim Itu Muhasabah dan Penguat Iman
Paradoks Aktivis: Antara Seruan dan Luka
Engkau berdakwah dengan semangat membara, tapi lupa menyiramnya dengan kasih sayang. Rasulullah SAW ketika berdakwah, tak hanya menyampaikan wahyu, tapi juga memeluk orang-orang yang berdosa. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍۢ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam: 4). Ayat ini bukan hanya pujian bagi Nabi, tapi juga sindiran halus bagi kita yang tak pernah belajar dari akhlaknya. Bagaimana mungkin engkau berkata cinta Rasul, tapi membenci saudaramu hanya karena berbeda metode?
Kita menyerukan taat, tapi memaksa dengan marah. Kita menyerukan ukhuwah, tapi memutuskan silaturahim karena ego kelompok. Rasulullah bersabda,
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tapi engkau menzalimi saudarimu dengan prasangka, dengan sindiran, bahkan dengan label sesat yang sembarangan. Dakwahmu menginspirasi, tapi sayangnya akhlakmu membuat orang takut pada Islam.
Mengapa ketika engkau ceramah, orang berdecak kagum, tapi saat engkau bersosialisasi, mereka memilih menjauh? Karena lisannya menyeru kebaikan, tapi wajah dan hatinya penuh kemarahan. Nabi SAW bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tapi engkau justru menghinakan orang yang tak sependapat, seolah dakwahmu adalah satu-satunya jalan ke surga. Sungguh, dakwahmu menawan, tapi dirimu menakutkan.
Bukankah para sahabat berdakwah dengan air mata, bukan dengan amarah? Mereka menunduk saat berbicara, bukan menuding dengan telunjuk. Rasulullah SAW tak pernah membentak orang awam, apalagi mencaci orang bodoh.
Baca Juga: Dakwah Tapi Sombong, Sebuah Ironi Di Akhir Zaman
Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Qs. Ali Imran: 159). Lantas di mana letak kelembutanmu, saat dakwahmu lebih banyak menyakiti daripada menyembuhkan?
Engkau berkata ingin menegakkan syariat, tapi di rumahmu sendiri tak ada cinta. Engkau berteriak tentang amar ma’ruf, tapi engkau lalai membina anakmu dengan kasih. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Qs. At-Tahrim: 6). Jangan-jangan dakwahmu hanyalah alat, bukan amanah. Jangan-jangan kau hanya ingin dikenal, bukan ingin menyelamatkan.
Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah
Berapa banyak yang keluar dari majelismu dengan mata yang menangis, tapi hati yang luka? Bukan karena kebenaranmu menyentuh, tapi karena caramu memukul. Rasulullah SAW bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari). Tapi engkau telah membuat mereka lari—dari masjid, dari kajian, bahkan dari Islam. Dakwahmu mengguncang, tapi akhlakmu mengusir.
Lihatlah para ulama rabbani, mereka dakwah tanpa perlu mencaci. Mereka menunduk rendah saat ditanya, bukan angkuh merasa tahu segalanya. Allah berfirman,
وَلَا تَمْشِ فِي ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong, sesungguhnya engkau tidak akan menembus bumi dan tidak akan mencapai ketinggian gunung.” (Qs. Al-Isra: 37). Tapi engkau berjalan seperti penguasa kebenaran, seolah Allah memberimu kunci surga. Engkau lupa, malaikat mencatat bukan hanya ceramahmu, tapi juga nadamu, dan senyummu—atau ketidakhadirannya.
Baca Juga: Zionis Israel Takut kepada Muslim Sejati
Jangan jadikan dakwahmu sebagai panggung pencitraan. Jangan jadikan lisanmu alat untuk menaikkan status sosial. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan ulama atau memperdebatkan orang bodoh, maka ia di neraka.” (HR. Ibnu Majah). Dakwah bukan tentang memenangkan perdebatan, tapi memenangkan hati manusia. Dan engkau gagal, jika manusia lari saat engkau bicara.
Ketahuilah, umat ini tak hanya butuh ilmu, tapi juga pelukan. Tak hanya butuh dalil, tapi juga kehangatan akhlak. Bukankah Rasulullah SAW pernah memaafkan wanita Yahudi yang hendak meracuninya? Bukankah beliau menunduk ketika dilempari di Thaif? Maka siapa dirimu yang merasa punya hak menghardik hanya karena merasa lebih tahu? Allah mencintai orang-orang yang lembut, bukan yang garang dalam menyampaikan kebenaran.
Berhentilah merasa suci hanya karena kau bisa berkata “taatlah!” kepada orang lain. Tanyakan dulu, sudahkah engkau taat dengan penuh tunduk dan rendah hati? Allah berfirman, “Janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (Qs. An-Najm: 32). Jangan terlalu bangga dengan tausiyahmu, bisa jadi ia tak naik ke langit karena hatimu kotor. Bersihkan dirimu, sebelum membersihkan orang lain.
Dakwah sejati adalah keteladanan yang hidup, bukan hanya retorika yang mencekam. Dakwah adalah kasih sayang yang menyelamatkan, bukan kemarahan yang menyudutkan. Jika engkau ingin menyentuh langit, maka belajarlah merunduk di bumi. Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi). Maka tanyakan pada diri: adakah dakwahmu membuat orang mencintaimu, atau justru menjauhimu?[]
Baca Juga: Ini Cara Islam Memberantas Judi Online di Kalangan Rakyat Kecil
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ini Ciri Agama yang Benar, Punya Kitab yang Terjaga Keasliannya