Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA
Meski konflik Israel-Palestina sudah berlangsung hampir setengah abad – dimulai pada tahun 1967 ketika negara zionis itu menyerang Mesir, Yordania dan Suriah serta berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Suriah), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania) – tetapi tampaknya sampai saat ini perdamaian sepertinya masih jauh dari harapan.
Selain karena Israel dan Palestina bersikeras pada keinginannya masing-masing, juga adanya ketidak-sepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri, di tengah pertempuran yang tidak kunjung mereda. Bahkan gencatan senjata, seringkali dilanggar sehingga tidak membawa kemajuan.
Bahkan baru-baru ini Israel kembali menyatakan menolak inisiatif damai Perancis, dan menegaskan tidak akan menghadiri konferensi perdamaian Timur Tengah yang akan berlangsung akhir tahun ini. Zionis menyebut inisiatif itu adalah gangguan dari upaya pembicaraan langsung dengan Palestina.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Menurut Kantor Perdana Menteri Israel, penasihat keamanan PM Israel Benjamin Netanyahu telah bertemu dengan utusan Perancis Pierre Vimont. “Penasihat PM mengatakan secara jelas dan tegas posisi Israel untuk mempromosikan proses perdamaian dan mencapai kesepakatan hanya melalui perundingan langsung antara Israel dan Otoritas Palestina,” kata Al Jazeera.
Perancis telah berulang kali mencoba untuk memberikan napas baru ke dalam proses perdamaian Israel-Palestina dengan mengadakan konferensi awal pada Juni lalu. Di mana PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara Arab berkumpul untuk membahas proposal perdamaian ini.
Pertemuan pertama tidak melibatkan perwakilan Israel ataupun Palestina. Proposal dalam pertemuan pertama berisi rencana untuk mengadakan konferensi, dengan keterlibatan langsung Israel dan Palestina, dan melihat apakah kedua belah pihak bisa dibawa kembali ke meja negosiasi. Palestina telah menyatakan akan mengadiri konferensi itu.
Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah perseteruan dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekuler yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Dilihat dari sejarahnya, konflik Israel-Palestina ini dimulai setelah perang dunia kedua, ketika masyarakat Israel (Yahudi) berpikir untuk memiliki negara sendiri. Mereka keluar dari tanah Israel setelah Perang Salib karena dituduh pro-Kristen oleh tentara Islam, wilayah itu kemudian ditinggali oleh orang-orang Filistin/Palestina.
Pilihan letak negara tersebut tentu saja adalah tanah leluhur mereka yang pada saat itu merupakan tanah jajahan Inggris karena secara leluhur mereka memilikinya tapi juga secara religius beberapa tempat keagamaan Yahudi ada di sana.
Seruan aneksasi
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Meskipun tidak secara terbuka, negara-negara barat setuju dan mendukung (alasannya karena sebelum orang Palestina tinggal di sana, tanah itu adalah milik Israel). Sebaliknya negara-negara Arab berargumen bahwa adalah karena Jerman yang melakukan genosida maka tanah Jermanlah yang harus disisihkan untuk dijadikan negara Yahudi.
Di balik semua intrik politik, keuntungan dan kerugian politik, strategis dan lainnya, Inggeris secara sukarela mundur dari negara itu dan memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mengklaimnya. Berhubung Israel yang lebih siap pada waktu itu, maka mereka lebih dahulu memproklamirkan negara tersebut.
Sebaliknya orang-orang Palestina yang telah tinggal dan besar di sana tidak mau terima menjadi bagian negara Yahudi, sehingga bangsa Israel kemudian melihat orang Palestina sebagai ancaman dalam negeri, begitu juga dengan bangsa Palestina yang menganggap Israel sebagai penjajah baru.
Hasilnya bisa ditebak, perseteruan antara dua negara semakin rumit dan berubah menjadi konflik antara agama (Yahudi vs Islam) belum lagi stabilitas kawasan Timur Tengah dan ikut campurnya Amerika Serikat dengan kebijakan minyak mereka. Bisa dibilang, masalah dasarnya tidak ada kaitannya dengan orang Palestina itu beragama Islam atau orang Israel itu beragama Yahudi, tapi adalah “Tanah dan Kekuasaan”.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Situasinya makin ruwet karena belakangan ini Menteri Pendidikan Israel, Naftali Bennett malah menyerukan aneksasi terhadap wilayah Palestina yang terdapat pemukiman Yahudi di dalamnya. Ini dilakukan untuk mengantisipasi akan adanya resolusi Dewan Keamanan PBB soal Palestina.
Menurut Bennett, sekarang masih terus berlangsung diskusi mengenai pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, yang dianggap ilegal oleh sebagian besar anggota DK PBB. Dia khawatir, DK PBB pada akhirnya akan mengeluarkan sebuah resolusi, yang berujung pada penghancuran pemukiman Yahudi di tanah Palestina.
Oleh karena itu, saat berbicara dalam sebuah pertemuan, Bennett mendesak Israel segera menganeksasi wilayah Palestina yang terdapat pemukiman Yahudi di dalamnya. Jika wilayah Palestina itu sudah menjadi wilayah Israel, maka menurut Bennett, resolusi DK PBB tidak akan berdampak apapun.
“Ada diskusi yang dalam beberapa bulan terakhir mengenai DK PBB akan memaksakan resolusi terhadap Israel. Jika itu terjadi, kita perlu memiliki respon yang tepat, kedaulatan langsung di Yudea dan Samaria, termasuk Maaleh Adumim, Gush Etzion, Ariel, Ofra dan Beit El,” kata Bennet, seperti dilansir Russia Today.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Resolusi DK PBB harus menjadi pemicu untuk menempatkan rencana ini ke dalam tindakan. Sekarang saatnya untuk memperluas kedaulatan kita di tanah Israel. Menetap dan Zionisme adalah kisah tentang visi besar dan tekad untuk melihatnya menjadi nyata. Langkah selanjutnya setelah 50 tahun, sekarang saatnya untuk untuk memperluas kedaulatan,” katanya.
Dukungan UNESCO
Di tengah sengitnya perebutan wilayah antara Israel- Palestina, UNESCO dalam resolusinya menyatakan Temple Mount di Yerusalem merupakan situs suci hanya milik umat Muslim bukan milik Yahudi. Berdasarkan sebuah teks yang berasal dari pejabat Palestina, resolusi yang diadopsi oleh UNESCO mengakui kompleks di Kota Tua Yerusalem hanya milik umat Muslim.
Keputusan UNESCO itu keluar setelah 24 negara memberikan suara yang mendukung resolusi soal hak akses ke Temple Mount. Enam negara menentang resolusi dan 26 negara lainnya memilih abstain.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Temple Mount selama ini diyakini menjadi situs suci bagi umat Muslim dan Yahudi. Situs itu dianggap suci oleh umat Yahudi karena terdapat bangunan kuil-kuil kuno Yahudi. Sedangkan umat Muslim juga merasa berhak atas situs itu karena di dalamnya mencakup Masjid Al-Aqsa.
Kompleks tersebut oleh orang Yahudi disebut sebagai Temple Mount dan Haram al-Sharif bagi kaum Muslim. Keputusan ini serupa dengan yang dikeluarkan pada 13 Oktober lalu. Sama seperti yang pertama, keputusan terbaru berkaitan dengan pengamanan kota warisan agama. Tentu saja resolusi itu membuat PM Netanyahu berang dan menyebutnya tak masuk akal.
Pemerintah Israel menilai keputusan UNESCO mengampanyekan gerakan anti-semit. ”Untuk mengatakan bahwa Israel tidak memiliki koneksi ke Temple Mount adalah seperti mengatakan bahwa China tidak memiliki koneksi ke Tembok Besar atau Mesir tidak memiliki koneksi ke Piramida,” kata Netanyahu.
Tak hanya Netanyahu yang marah dengan keputusan UNESCO, tapi Presiden Israel, Reuven Rivlin, serta banyak pejabat tinggi negara Yahudi itu juga kesal. Rivlin menyebut keputusan itu “memalukan”. Menteri Kebudayaan Israel, Miri Regev mengecam keputusan UNESCO dengan menyebutnya sebagai keputusan “memalukan dan anti-Semit”.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Walikota Yerusalem, Nir Barkat, juga marah atas keputusan UNESCO yang menyangkal koneksi umat Yahudi atas situs Temple Mount di Yerusalem. Alasannya, sudah ribuan tahun umat Yahudi memiliki akses ke situs suci itu. ”Akankah UNESCO memilih untuk menolak koneksi Kristen untuk Vatikan? Atau koneksi Muslim untuk Makkah.
”Sebaliknya, Faksi Hamas di Jalur Gaza menyambut baik putusan resolusi UNESCO yang menyatakan Temple Mount sebagai situs umat Islam dan mengabaikan keterkaitan umat Yahudi. Juru bicara Hamas di Jalur Gaza, Sami Abu Zuhri Hamas menyebut putusan itu sebagai kemenangan rakyat Palestina, karena membuat Masjid al-Aqsa murni sebagai warisan Islam.
“Keputusan itu merupakan tanda bahwa klaim situs suci Yahudi di Temple Mount oleh Israel sebagai klaim fiksi. Selama ini, warga Yahudi Israel meyakini ada dua kuil kuno Yahudi di situs Temple Mount,” kata Zuhri seperti dikutip Times of Israel.
Wakil Dubes Otoritas Palestina untuk UNESCO, Mounir Anastas, juga menyambut putusan itu sebagai pengingat Israel “bahwa mereka adalah penguasa pendudukan di Yerusalem Timur dan meminta mereka untuk menghentikan semua pelanggaran, termasuk penggalian arkeologi di sekitar situs keagamaan.”
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Banyak upaya sudah dilakukan baik oleh negara-negara Arab maupun dunia internasional untuk mendamaikan Israel-Palestina, tetapi perseteruan tak kunjung usai. Pembangunan pemukiman ilegal oleh zionis terus berlanjut, pembentukan dua negara merdeka dan berdaulat tidak disepakati, kekerasan dan kekejaman tentara Israel terhadap warga sipil Palestina tetap lestari – maka damai tampaknya masih jauh dari jangkauan. (R01/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu