PERANG antara Israel dan Iran yang memanas pertengahan Juni 2025 ini telah mengguncang perekonomian global. Dampaknya cukup signifikan terhadap harga minyak, pasar saham, dan perekonomian dunia.
Serangan Israel terhadap infrastruktur energi Iran, termasuk kilang dan fasilitas gas, dapat menyebabkan lonjakan harga minyak global.
Al Jazeera melaporkan, Sabtu malam, 14 Juni 2025, Israel menyerang beberapa fasilitas minyak dan gas terpenting Iran. Serangan semacam itu menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya konflik dan mengancam kekacauan bagi pasar global.
Kementerian Perminyakan Iran mengatakan, Israel menyerang depot bahan bakar utama. Sementara kilang minyak lain di ibu kota Teheran juga terbakar.
Baca Juga: Al-Aqsa di Tengah Agresi Israel terhadap Iran
Iran dalam langkah darurat diprediksi menghentikan sebagian produksi di ladang gas terbesar di dunia, South Pars, yang dikelola bersama tetangganya, Qatar, setelah serangan Israel tersebut. Ladang South Pars di lepas pantai provinsi Bushehr di selatan Iran itu, merupakan ladang gas terbesar di dunia, dan merupakan sumber dari dua pertiga produksi gas Iran, yang dikonsumsi secara nasional.
Serangan tersebut memicu kerusakan dan kebakaran yang signifikan di fasilitas pemrosesan gas alam Fase 14 dan menghentikan anjungan produksi lepas pantai yang menghasilkan 12 juta meter kubik per hari, demikian dilaporkan kantor berita Tasnim.
Iran tercatat memiliki cadangan gas alam terbesar kedua di dunia dan cadangan minyak mentah terbesar ketiga, menurut Badan Informasi Energi (EIA).
Padahal sebelum konflik memanas, Israel menghindari serangan terhadap fasilitas energi Iran, di tengah tekanan dari sekutunya, termasuk AS, karena berisiko terhadap harga minyak dan gas global dari serangan semacam itu.
Baca Juga: Alasan di Balik Serangan Israel ke Iran
Serangan Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap fasilitas energi Iran tersebut, berpotensi mengganggu pasokan minyak dari Timur Tengah, dan dapat mengguncang harga bahan bakar global.
Menurut catatan New York Times, harga minyak dunia Senin (16/62025) sudah bergejolak, berkisar sekitar US$74 per barel, setelah Israel menyerang beberapa fasilitas minyak dan gas Iran.
Harga minyak normal per barel umumnya berkisar antara US$70 hingga US$80 per barel untuk minyak mentah jenis Brent dan West Texas Intermediate (WTI).
Memang serangan tersebut belum secara signifikan memengaruhi aliran minyak di wilayah tersebut, yang merupakan pusat transit energi utama, kata Tom Kloza, kepala analis pasar untuk Turner, Mason & Company, sebuah firma konsultan energi.
Baca Juga: Semesta Bergerak untuk Gaza
Harga minyak yang naik sekitar 11 persen, jika berlanjut seiring konflik yang terus memanas, berpotensi menyebabkan harga bensin naik sekitar 20 sen per galon dalam beberapa pekan mendatang, menurut ClearView Energy Partners, sebuah firma riset Washington.
Bagaimana Iran menanggapi serangan terbaru Israel akan berdampak besar pada harga minyak dunia. Iran adalah produsen minyak besar dan posisinya di sisi utara Selat Hormuz, jalur utama minyak dan gas alam cair, atau LNG, berarti hal itu dapat mengganggu pasar energi global secara serius.
Jika Teheran menutup jalur perairan Selat Hormuz yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman, bahkan untuk waktu yang singkat, harga minyak dapat naik mulai dari $8 hingga $31 per barel, menurut ClearView Energy Partners.
Selat Hormuz yang memisahkan Iran dengan Uni Emirat Arab terletak di antara Teluk Oman dan Teluk Persia. Selat Hormuz merupakan satu-satunya jalur untuk mengirim minyak keluar Teluk Persia. Selat Hormuz menghubungkan produsen minyak Timteng ke pasar Asia hingga Amerika.
Baca Juga: Berikut Daftar 12 Aktivis Kemanusiaan di Atas Kapal Madleen
Menurut US Energy Information Adminsitration (EIA), setiap hari 15 kapal tanker yang membawa 16,5 hingga 17 juta barel minyak bumi melewati selat tersebut.
Selat Hormuz merupakan titik kritis minyak terpenting di dunia karena volume minyak yang besar mengalir melalui selat tersebut. Pada tahun 2022, aliran minyaknya mencapai rata-rata 21 juta barel per hari (bph), atau setara dengan sekitar 21% dari konsumsi minyak bumi global.
Negara-negara yang berdekatan dengan Selat Hormuz Iran yaitu: Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, Irak dan Arab Saudi.
Jika Iran memblokir selat ini, maka akan berpotensi mengerek harga minyak mentah Brent ke level di atas US$85/barel.
Baca Juga: Teladan Adalah Dakwah Terbesar, Tanpa Itu Dakwahmu Hampa
Iran memiliki insentif ekonomi untuk mengizinkan kapal tanker terus melewati selat tersebut, karena Iran mengirimkan minyak melalui saluran tersebut, sebagian besar ke China.
Amerika Serikat walaupun semakin sedikit membeli minyak dari Teluk Persia, komoditas tersebut diperdagangkan secara global, yang membuat konsumen dan bisnis terpapar pada kenaikan harga. Jika perusahaan minyak AS menanggapi harga yang lebih tinggi dengan mengebor lebih banyak, masih akan butuh waktu berbulan-bulan agar minyak tersebut mulai mengalir.
Namun menurut para analis, opsi penutupan Selat Hormuz, mungkin tidak untuk saat ini, menurut Kristian Kerr, kepala strategi makro di LPL Financial.
“Kami pikir ini tidak mungkin untuk saat ini mengingat kebutuhan Iran untuk mempertahankan penjualan minyak ke China,” kata Kerr.
Baca Juga: Kapal Kemanusiaan Madleen Aksi Menembus Blokade Gaza
Apalagi ekspor minyak mentah Iran memqang dibatasi oleh sanksi Barat dan larangan impor, dengan China sebagai satu-satunya penerima minyak negara itu.
Kenaikan harga minyak tentu akan menimbulkan kekhawatiran inflasi global, terutama di negara-negara pengimpor energi besar seperti India, Jepang, dan negara-negara Eropa, yang sangat bergantung pada pasokan minyak dari Timur Tengah. Termasuk tentu saja Indonesia sebagai negara pengimpor minyak, yang juga bergantung pada pasokan dari Timur Tengah.
Efek domino dari kenaikan harga minyak dunia dapat memicu kenaikan harga-harga lainnya, karena minyak adalah bahan baku penting untuk berbagai industri dan transportasi. Kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya produksi dan distribusi, yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen melalui kenaikan harga barang dan jasa.
Sebagai contoh, pada tahun 2022, ketika konflik Rusia-Ukraina meledak, menyebabkan kenaikan harga minyak dunia yang signifikan dan berdampak pada kenaikan harga berbagai komoditas.
Baca Juga: Tiada Perayaan Idul Adha di Gaza, Ketika Pengorbanan Terputus dari Keadilan
Gejolak Pasar Saham dan Investasi
Perang antara Israel dan Iran juga berdampak pada pasar saham global. Seperti catatan CBS News yang menyebutkan, saham ditutup lebih rendah pada Jumat (13/6/2025). Serangan militer Israel terhadap Iran memicu kekhawatiran investor tentang risiko pecahnya perang di Timur Tengah.
Catatan menyebutkan, S&P 500 turun 68 poin, atau 1,1%, hingga mengakhiri hari di 5.977. Sementara Dow Jones Industrial Average turun 770 poin, atau 1,8%, menjadi 42.198 poin.Nasdaq Composite turun 1,3%.
“Respons awal pasar sebagian besar terkendali, tetapi risiko konflik militer yang lebih luas tentu tidak dapat diabaikan,” kata Jeff Buchbinder, Kepala Strategi Ekuitas di LPL Financial.
Baca Juga: Qurban Bukan Sekadar Menyembelih Binatang, Tapi Wujudkan Solidaritas
Investor pun beralih ke aset safe haven seperti emas, yang harganya naik lebih dari 1%, serta mata uang kuat seperti dolar AS dan franc Swiss.
Sektor-sektor yang sensitif terhadap harga energi, seperti penerbangan dan manufaktur, mengalami tekanan, sementara saham perusahaan energi seperti Exxon Mobil dan ConocoPhillips mengalami kenaikan.
MarketVector Indexes, mencatat penurunan harga bitcoin dan reli saham pertahanan, karena saham maskapai penerbangan jatuh.
Dampak bagi Indonesia
Baca Juga: 58 Tahun Naksa: Al-Aqsa dan Gaza, Ujian Kemanusiaan Tak Kunjung Usai
Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia berisiko menghadapi lonjakan harga bahan bakar dan inflasi, sebagai dampak dari perang antara Israel dan Iran. Ini karena kilang-kilang minyak nasional yang bergantung pada pasokan dari Timur Tengah mungkin perlu mencari sumber alternatif dengan biaya lebih tinggi.
Selain itu, gangguan pada pasokan LNG dari Qatar dan Uni Emirat Arab dapat mempengaruhi sektor industri yang bergantung pada gas sebagai bahan bakar.
Kenaikan harga minyak dunia tentu saja akan berdampak langsung pada perekonomian Indonesia sebagai negara pengimpor minyak bumi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2022, Indonesia mengimpor 22,7 juta kiloliter minyak mentah dan 22,9 juta kiloliter produk minyak jadi.
Dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap impor minyak, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan beban subsidi energi pemerintah dan menekan anggaran negara.
Baca Juga: Haji untuk Palestina
Selain itu, kenaikan harga minyak juga akan mendorong inflasi di dalam negeri, terutama pada sektor transportasi dan industri yang bergantung pada bahan bakar minyak. Hal ini dapat menurunkan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Lonjakan harga minyak akibat konflik Iran-Israel berpotensi mendorong revisi inflasi global lebih lanjut. Hal ini selanjutnya akan berimplikasi pada suku bunga yang lebih tinggi.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan strategi diversifikasi energi dan penguatan cadangan untuk menghadapi potensi krisis energi.
Hal ini seperti diingatkan Komisi I DPR RI tentang potensi kenaikan harga minyak mentah dunia pasca-serangan Israel ke Iran, dan serangan balasannya. Komisi I menilai, gejolak di wilayah Timur Tengah akan memberi ekses besar bagi ekonomi Asia Tenggara.
“Harus ada langkah antisipasi dari pemerintah terhadap potensi kenaikan harga minyak mentah dunia. Eksesnya pasti pada gejolak ekonomi nasional secara menyeluruh,” jelas Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono kepada wartawan, Ahad (15/6/2025).
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak serangan militer Israel ke Iran terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Menurutnya, konflik yang kembali memanas di Timur Tengah dapat memicu lonjakan harga minyak dunia, yang berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.
Airlangga mengakui, pemerintah Indonesia mewaspadai efek domino dari konflik tersebut. Ia juga menambahkan bahwa sejumlah negara penghasil minyak memiliki kepentingan untuk menahan lonjakan harga agar tidak menimbulkan kepanikan global. []
Mi’raj News Agency (MINA)