Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Boikot ke Bangkrut, Runtuhnya Bisnis-Bisnis Afiliasi Zionis

Bahron Ansori Editor : Rudi Hendrik - 1 jam yang lalu

1 jam yang lalu

10 Views

DI TENGAH kekuatan ekonomi global, ada tren yang semakin berkembang, yakni boikot terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki afiliasi dengan Zionis, khususnya yang mendukung kebijakan Israel terhadap Palestina. Gerakan boikot ini bukan hanya sebatas langkah politik, tetapi sudah menjadi aksi global yang dipicu oleh solidaritas internasional terhadap perjuangan Palestina. Gerakan ini memunculkan dampak yang luar biasa terhadap bisnis-bisnis besar yang terhubung dengan Israel, dan beberapa di antaranya bahkan mulai merasakan dampak finansial yang signifikan.

Gerakan boikot yang dimulai dengan suara-suara individu hingga mencapai gerakan massal ini dikenal dengan nama BDS (Boycott, Divestment, Sanctions). BDS bukan hanya sekadar aksi konsumen untuk tidak membeli produk-produk perusahaan yang ada hubungannya dengan Israel, namun juga mengajak investor untuk menarik dana dari perusahaan-perusahaan yang mendanai aktivitas-aktivitas yang merugikan rakyat Palestina. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk menekan Israel agar menghentikan kebijakan pendudukan dan perampasan tanah di Palestina.

Salah satu contoh yang paling mencolok dari keberhasilan BDS adalah boikot terhadap Caterpillar Inc., sebuah perusahaan konstruksi yang dikenal menyediakan alat berat yang digunakan oleh militer Israel dalam menghancurkan rumah-rumah Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Boikot ini berhasil mengurangi pendapatan perusahaan yang selama ini mendapatkan kontrak-kontrak besar dari pemerintah Israel. Dalam beberapa tahun terakhir, Caterpillar bahkan mengalami penurunan signifikan dalam permintaan produk dari negara-negara Eropa dan Asia.

Sementara itu, Starbucks, sebuah perusahaan kopi asal Amerika, menjadi target utama gerakan BDS setelah diketahui bahwa pemiliknya, Howard Schultz, secara terbuka mendukung kebijakan Israel. Starbucks, yang sebelumnya menjadi merek internasional dengan pasar luas di berbagai negara, mulai merasakan penurunan penjualan di beberapa negara Timur Tengah dan Eropa. Meskipun perusahaan ini berusaha menghindari keterlibatan langsung dalam konflik Palestina, kebijakan-kebijakan Schultz tetap mencoreng citra perusahaan tersebut di mata konsumen yang pro Palestina.

Baca Juga: Lisan yang Santun, Dakwah yang Menyejukkan, Panduan Adab Seorang Da’i

Selain itu, Ben & Jerry’s, merek es krim yang terkenal, menghadapi boikot setelah pengumuman mereka yang mendukung hak-hak Palestina dan berhenti menjual produknya di wilayah yang diduduki oleh Israel. Langkah tersebut berujung pada reaksi keras dari pro-Israel yang berusaha menghancurkan reputasi Ben & Jerry’s. Meski sempat mengalami penurunan pendapatan di pasar tertentu, mereka tetap bertahan dengan keputusan tersebut karena kesetiaan mereka terhadap prinsip moral yang lebih tinggi.

Namun, dampak boikot terhadap perusahaan-perusahaan besar ini tidak hanya terlihat pada perusahaan-perusahaan Barat. Beberapa perusahaan multinasional yang memiliki hubungan bisnis dengan Israel juga mulai mengalami penurunan laba. Misalnya, HP Inc., yang dikenal memasok perangkat teknologi untuk militer Israel, turut mendapat sorotan tajam dari publik global. Hal ini membuat beberapa negara, terutama di dunia Arab dan Muslim, beralih ke produk-produk yang tidak terafiliasi dengan Israel.

Selain itu, Nestlé, yang memiliki kepemilikan saham pada beberapa perusahaan yang beroperasi di wilayah Israel, menghadapi perlawanan keras di pasar Timur Tengah. Meskipun perusahaan ini mencoba untuk meredakan kecaman dengan menjual saham mereka pada beberapa anak perusahaan yang terhubung dengan Israel, namun citra mereka di kalangan konsumen tetap tercoreng. Bahkan, beberapa toko di wilayah-wilayah tertentu menghapus produk Nestlé dari rak mereka sebagai bagian dari gerakan boikot.

Penurunan bisnis yang signifikan tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan yang terhubung langsung dengan Israel, tetapi juga pada sektor yang lebih luas. Perusahaan-perusahaan di sektor energi, seperti ExxonMobil dan Chevron, yang terlibat dalam proyek-proyek yang mendukung Israel, juga menghadapi tekanan serupa. Masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya mendukung perjuangan Palestina mendorong konsumen untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan lebih mendukung negara-negara yang tidak terlibat dalam pendudukan.

Baca Juga: Refleksi 70 Th KAA di Tengah Pelanggaran Gencatan Senjata di Gaza

Pada tahun 2020, Bank Dunia merilis sebuah laporan yang menunjukkan bahwa ekonomi Palestina, yang sudah tertekan akibat pendudukan dan blokade, semakin terpuruk dengan adanya hubungan bisnis yang terus berjalan dengan perusahaan-perusahaan internasional yang mendukung Israel. Hal ini memperparah ketidakstabilan ekonomi di wilayah tersebut dan semakin mengingatkan dunia akan pentingnya kebijakan ekonomi yang lebih adil dan mendukung hak asasi manusia.

Tentu saja, boikot bukanlah strategi yang sempurna, dan dampaknya dapat bervariasi tergantung pada konteks politik dan sosial di masing-masing negara. Namun, fakta bahwa beberapa perusahaan besar ini merasakan dampak ekonomi yang signifikan menunjukkan bahwa gerakan BDS semakin efektif dalam mempengaruhi keputusan konsumen dan investor. Pada saat yang sama, semakin banyak negara dan organisasi internasional yang mulai mengevaluasi kembali hubungan ekonomi mereka dengan Israel, dan beberapa bahkan mendeklarasikan kebijakan untuk menangguhkan atau menghentikan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Palestina.

Meski begitu, tidak sedikit yang berpendapat bahwa boikot ini hanya memberikan dampak yang terbatas dalam jangka panjang. Israel tetap memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang besar, dan boikot ini mungkin hanya memberi dampak sesaat. Namun, beberapa analis berpendapat bahwa gerakan ini dapat memicu perubahan dalam kesadaran politik masyarakat internasional, dan dapat mengubah pola pikir banyak konsumen di seluruh dunia.

Selain itu, boikot ini juga memberikan peluang bagi negara-negara dan perusahaan yang selama ini menjauhi afiliasi dengan Israel untuk memperluas pasar mereka. Negara-negara yang mendukung Palestina dan perusahaan-perusahaan yang mendukung gerakan ini kini menjadi lebih populer, terutama di pasar negara-negara Muslim dan dunia Arab. Hal ini memberikan dorongan ekonomi yang signifikan bagi mereka yang berani mengambil posisi moral yang lebih jelas.

Baca Juga: Membentuk Generasi Ahlul Qur’an, Tantangan dan Harapan

Dengan semakin banyaknya perusahaan yang terjebak dalam perdebatan politik ini, jelas terlihat bahwa boikot terhadap bisnis-bisnis yang terafiliasi dengan Zionis bukan hanya masalah politik, tetapi juga ekonomi. Seiring dengan berlanjutnya konflik Palestina, aksi boikot ini bisa menjadi senjata ampuh yang dapat meruntuhkan perusahaan-perusahaan besar yang mendukung kebijakan Israel. Meski dampaknya tidak instan, perubahan secara perlahan bisa membawa pengaruh besar pada perekonomian global yang lebih adil.

Bahkan beberapa tahun ke depan, mungkin kita akan menyaksikan dampak yang lebih besar ketika negara-negara lain mulai melakukan langkah yang lebih tegas dalam hal hubungan ekonomi dengan Israel. Dan, pada akhirnya, ini bisa jadi merupakan gerakan yang lebih besar dari sekadar boikot produk; ini bisa menjadi gerakan ekonomi global yang mendukung hak asasi manusia dan keadilan bagi Palestina.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Habis Jahiliyah Terbitlah Nur, Pentingnya Menghapus Kebodohan dalam Cahaya Syariat Islam

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Khadijah
Khadijah
Kolom