Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Redaksi Editor : Bahron Ansori - 19 menit yang lalu

19 menit yang lalu

7 Views

Suroso, cleaning service yang jadi sensei.(foto: Kurnia M H)

Ahad pagi, seorang pria berambut putih dengan sabuk hitam melingkar di pinggangnya terlihat mengawasi murid-murid yang tengah berlatih karate di Pesantren Al-Fatah. Ia adalah Sensei Suroso, salah satu penggerak Perguruan INKADO di Pondok Pesantren Al-Fatah. Namun, di balik sosoknya yang tegas, tersimpan kisah perjuangan panjang yang menginspirasi banyak orang.

Lahir di Adiluwih, Pringsewu, Lampung pada tahun 1963, Suroso tumbuh di tengah peristiwa kelam pembantaian oleh PKI yang terjadi di Indonesia kala itu. Kehidupan masa kecilnya penuh dengan lika-liku, terutama ketika ia harus kehilangan ibunya pada usia lima tahun. Kehilangan ini meninggalkan luka mendalam, dan Suroso kecil pun harus berpindah-pindah, mengikuti ayah dan saudaranya ke Kebumen, Jawa Tengah.

Pindah dari satu desa ke desa lainnya, Suroso mengenyam pendidikan dasar di Kalibening dan Gunungsari, Kebumen. Setelah beberapa tahun, ayahnya menikah lagi, dan Suroso yang masih belia, merasakan kehidupan serba tak pasti.

“Ayah saya pernah menjabat sebagai kepala desa, begitu juga beberapa saudara ayah,” kenangnya. Namun, kehidupan keluarga yang kerap berpindah membuat Suroso bertekad untuk merantau ke Jakarta mencari pekerjaan di usia mudanya.

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

Perjuangan di Jakarta

Di Jakarta, Suroso memulai perjalanan hidupnya sebagai seorang pekerja keras. Tinggal di kontrakan sederhana dekat Hotel Borobudur, ia bekerja dari pagi hingga malam hari. Meski sibuk, semangatnya untuk melanjutkan pendidikan tidak pernah pudar. Suroso memilih untuk sekolah di malam hari, mengikuti program SMP khusus karyawan di Jakarta Pusat. Setiap hari, ia menempuh jarak 3 kilometer untuk mencapai sekolah selepas bekerja.

Selama bekerja, Suroso sempat mengalami berbagai permasalahan. Salah satunya saat bekerja di Departemen Luar Negeri sebagai cleaning service, di mana ia difitnah mencuri peralatan kantor. Peristiwa ini membuatnya kehilangan pekerjaan. Namun, kegigihan Suroso tak pernah surut. Setelah beberapa kali mencoba melamar pekerjaan lain, akhirnya ia diterima di PT Frisian Flag Indonesia.

Membangun Keluarga dan Berhijrah ke Pesantren

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Pada usia 20 tahun, Suroso menikah dan memulai kehidupan berkeluarga. Meski mengalami beberapa kali pindah tempat tinggal, ia dan istrinya selalu berusaha menjalani kehidupan dengan penuh kesabaran. Ketika ajakan untuk lebih mendalami agama datang dari seorang ustaz, Suroso pun memutuskan hijrah ke lingkungan Pondok Pesantren Al-Fatah di Cileungsi. Saat itu, pesantren masih sepi, namun lantunan ayat suci Al-Quran dari para santri dan ustaz menjadi penghibur hatinya.

“Dulu, pesantren ini masih jarang penduduknya,” kenang Suroso. Namun, tekadnya untuk memperdalam ilmu agama semakin kuat. Keputusan untuk tinggal di pesantren menjadi titik balik hidupnya, membawa ia dan keluarganya lebih dekat kepada agama.

Menjadi Sensei di Usia Matang

Di usia 32 tahun, Suroso memulai perjalanan baru dengan belajar karate. Meski terbilang terlambat, ia tak pernah merasa malu. Ayah dari tiga orang anak itu sadar diri betapa pentingnya ilmu bela diri sebagai bentuk pertahanan, terlebih lagi bagi generasi muda. Ketekunannya belajar karate berbuah: ia tercatat menjadi salah satu pendiri Cabang INKADO Karate di Pondok Pesantren Al-Fatah.

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Pada masa-masa awal, ia melatih anak-anak di pesantren meski kala itu karate belum menjadi ekstrakurikuler resmi. Suroso tak gentar meskipun menghadapi banyak tantangan, termasuk kesulitan menemukan perguruan karate yang tepat di Cileungsi. Akhirnya, ia belajar di Institut Karate-Do Indonesia (INKAI) meski alirannya berbeda dengan yang ia ajarkan.

Kehadiran Suroso dan keluarganya turut memeriahkan suasana di Pesantren Al-Fatah. Meski pesantren kala itu hanya memiliki lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) selevel SD dan Madrasan Tsanawiyah (MTs) selevel SMP, suasana religiusnya sangat kental.

“Tinggal di pesantren membuat saya lebih dekat dengan Allah dan kian mudah mendapatkan ilmu agama,” kenang Suroso. Di tengah kesibukannya bekerja, ia juga terlibat dalam dakwah, mengisi khutbah di masjid PT Frisian Flag Indonesia.

Kesederhanaan dan Keteguhan Iman

Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

Meski usianya tidak muda lagi, Suroso tetap bersemangat menghidupkan malam dengan shalat tahajud. Ia pun diberi amanah oleh pimpinan pesantren untuk menjadi muazin, mengumandangkan azan disepertiga malam. Kesederhanaannya dalam menjalani hidup, serta keteguhan imannya menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya.

“Saya bersyukur bisa tinggal di pesantren. Ini adalah perjuangan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki diri,” ucapnya penuh syukur. Bagi Suroso, hidup di pesantren bukan hanya tentang mendalami agama, tetapi juga tentang mengamalkan ilmu yang ia pelajari, termasuk dalam mengajarkan karate kepada santri.

Di usianya yang kini menginjak 61 tahun, Suroso terus menebar manfaat bagi lingkungan sekitarnya, mengajarkan ilmu bela diri sekaligus menanamkan nilai-nilai agama. Perjalanan hidupnya, dari seorang cleaning service hingga menjadi seorang sensei di pesantren, adalah bukti bahwa dengan tekad dan usaha, setiap orang dapat meraih mimpi-mimpinya, seberat apapun jalan yang harus dilalui.[Kurnia Muh Hudzaifah]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau

Rekomendasi untuk Anda